Senin, 18 Mei 2009

“Kita adalah Satu Tubuh” - Bab I

Pengantar
Sejak dulu dan selalu dimana-mana manusia selalu hidup dalam dunia yang terpecah-belah. Dorongan kekuatan yang membuat sesorang melawan yang lain, sebagaimana yang Kain lakukan terhadap saudaranya Habel,[1] tinggal tetap di dalam hati manusia, sumber dari “segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.”[2] Inilah misteri kejahatan yang tidak mudah dipahami!
Paulus mengenal dengan baik kecenderungan misterius ke arah kejahatan dalam diri pribadi sesorang: “Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat [...] Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” sebab “aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.”[3] Jauh sebelumnya, Ovid membuat penilaian yang sama tentang jiwa manusia: “Saya menemukan hal-hal yang lebih baik dan saya setuju dengannya, namun saya mengikuti hal-hal yang lebih buruk.”[4] Kecendrungan ini, yang dapat dilihat dalam banyak contoh sepanjang sejarah, adalah apa yang membuat pribadi-pribadi menjadi “serigala bagi sesama.”[5]
Dengan bermacam-macam cara,[6] semua agama mewartakan damai sebagai kebaikan tertinggi bagi pribadi-pribadi dan seluruh masyarakat yang didasarkan pada kebersamaan dan kesetaraan.
Dalam agama Yahudi, “Tuhan hendak berbicara tentang damai”[7] “kepada yang jauh dan yang dekat.”[8] Nabi Yesaya menyerukan: “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat.”[9] Mesias yang datang disebut “Raja Damai;”[10] apabila Ia datang, “serigala akan tinggal bersama domba”[11] dan “mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak.”[12] Namun damai hanya datang jika setiap orang dapat menghayati ajaran berikut ini: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”[13]
Dalam agama Kristen, ketika Yesus dilahirkan, para malaikat berseru: “damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya."[14] Sebab “Kristus adalah damai kita.”[15] Sama seperti ia memaklumkan “berbahagialah orang yang membawa damai”[16] pada malam perjamuan terakhir Yesus menyampaikan sabda perpisahan dengan mengatakan: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu.”[17] Dalam Perjanjian Baru, Paulus adalah yang paling setia meneruskan seruan damai ini.[18] Bagi orang Kristen, damai adalah buah dari kasih abadi: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi."[19]
Dalam agama Islam, satu dari “nama-nama yang paling indah” untuk Allah adalah Damai.[20] Quran melanjutkan: “Jika dua kelompok orang beriman berselisih satu terhadap yang lain, usahakanlah damai diantara mereka dengan keadilan; dan bertindaklah dengan adil, sebab Allah mengasihi orang benar. Semua yang percaya adalah saudara. Maka usahakanlah damai diantara kamu sesama saudara dan takutlah akan Allah, jika kamu menghendaki Allah menunjukkan belas kasih-Nya bagimu.”[21]
Sayangnya, seruan ini seperti terabaian. Berabad-abad kita menyaksikan banyak peperangan yang memecah-belah dunia dan tindakan-tindakan sederhana yang telah memecah-belah umat manusia, kerapkali atas nama salah satu dari tiga agama besar yang sebenarnya mengakui Abraham sebagai bapa bersama. Dalam agama-agama itu sendiri terdapat keretakan-keretakan yang tidak dipulihkan di antara penganut iman yang sama, berikut dengan perpecahan dan pertengkaran.
Dalam agama Kristen, perpecahan diantara pengikut Kristus terjadi sejak awal mula, meskipun Lukas menggambarkan dengan bagus suatu komunitas ideal, dimana suatu “persekutuan”[22] yang akrab, yang membuat mereka “sehati dan sejiwa.”[23] Namun jelas ada perpecahan dalam jemaat di Yerusalem dan di Korintus.
Jemaat di Yerusalem pada mulanya terdiri dari kelompok Yahudi Palestina yang disatukan oleh bahasa Aram dan kebiasaan yang sama. Jumlah murid-murid Yesus bertambah terus dari hari ke hari.[24] Meskipun pendatang-pendatang baru kemudian terutama dari Yahudi, ada juga beberapa dari kalangan Yunani di antara mereka, yakni mereka yang lahir dan tinggal di Diaspora. Penulis Kisah Para Rasul membuat daftar panjang orang-orang ini diantara para pendengar kotabah Petrus pada hari Pentakosta[25] dan mereka yang menyerang Stafanus.[26]
Orang-orang Ibrani memandang mereka yang dari kebudayaan Yunani sebagai warga kelas dua. Tidak diragukan bahwa pandangan ini dibawa juga ke dalam Gereja ketika mereka menjadi Kristen. Diantara orang-orang Kristen-Yunani, para janda mereka terutama diabaikan. Mereka bukan hanya telah kehilangan suami-suami mereka, tetapi juga sarana-sarana untuk menunjang keluarga mereka, sebab mereka tidak dapat kembali ke daerah asal mereka yang jauh, dan tidak juga bisa masuk ke sinagoga untuk mendapat bantuan.
Situasi yang sebenarnya bisa jadi lebih rumit daripada yang digambarkan dalam Kisah. Ini salah satu petunjuk awal bahwa sebuah komunitas Kristen sangat beraneka ragam. Kedua kelompok itu, yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, merasa tidak senang dibawah pengaturan satu kelompok. Mereka, “orang-orang pinggiran” yakni kaum Yunani menuntut otonomi yang lebih besar dalam komunitas, untuk menjaga identitas dan kebebasan mereka mengungkapkan diri dalam bahasa dan budaya mereka.
Oleh sebab itu “timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani.”[27] Meskipun “pembagian makanan” juga penting, namun pastilah itu bukan satu-satunya masalah atau yang paling penting. Keluhan mereka “diabaikan” begitu serius sehingga sungut-sungut mereka mengancam kesatuan komunitas. Dalam menggambarkan kejadiannya, Lukas menggunakan kata sungut-sungut gonghysmós yang dulu digunakan bangsa Ibrani bersungut-sungut memberontak melawan Musa di padang gurun.[28]
Dengan pemilihan tujuh diakon,[29] orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani menjadi sebuah kelompok yang terpisah dari kelompok Yahudi, bahkan jika hanya soal “pembagian jatah makanan.” “Dewan Tujuh Diakon” ini dibentuk disamping “Kelompok Dua Belas” walaupun posisinya agak dibawah. Jadi meskipun semua tergantung pada Sabda yang sama, setiap kelompok memiliki fungsi khas dan “dilayani” sesuai dengan “jabatan”nya masing-masing.
Selanjutnya disamping perpecahan yang disebabkan oleh pengabaian pada para janda dari mereka yang berbahasa Yunani dalam jemaat di Yerusalem, ada masalah lain yang menimbulkan perdebatan serius, seperti masalah yang menjengkelkan apakah laki-laki yang bertobat menjadi Kristen perlu disunat.[30] Masalah ini diselesaikan, sekurang-kurangnya “secara resmi” dalam Konsili Yerusalem,[31] bersama dengan masalah aturan Yahudi tentang makanan yang dilarang, yang menyebabkan perpecahan lebih lanjut dalam komunitas Kristen awal.[32]
Perpecahan lain yang terjadi dikalangan pengikut-pengikut awal Kristus terekam dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus.
Dalam masanya Paulus, Korintus adalah sebuah kota kosmopolitan tempat orang-orang Yunani, Romawi,[33] sejumlah kelompok Yahudi dari Diaspora[34] dan banyak suku bangsa minoritas lainnya tinggal, karena alasan perdagangan yang maju. Keberagaman orang menimbulkan beragam bahasa, kebiasaan dan terutama agama.[35]
Selama satu setengah tahun ia tinggal di Korintus (51-52 Masehi), Paulus mendirikan sebuah komunitas Kristen yang jelas menggambarkan sifat sebuah kota kosmopolitan. Sesungguhnya, sebagaimana dinyatakan Paulus dalam suratnya, mereka terdiri dari orang-orang Kristen Yunani yang aslinya kafir dan dari kelas bawah[36] dan orang-orang Kristen Yahudi.[37] Maka tidaklah mengherankan perpecahan dapat muncul dalam lingkungan seperti ini. Paulus sungguh menyadari adanya ketegangan antara kelompok Yahudi dan Yunani ini,[38] antara budak dan orang-orang merdeka,[39] antara laki-laki dan kaum perempuan[40] dan antara kaya dan miskin.[41]
Perpecahan-perpecahan di atas bukanlah satu-satunya ancaman terhadap komunitas di Korintus. Beberapa kelompok perlahan-lahan mulai terbentuk di sekitar tiga pemimpin Kristen yang berpengaruh: Petrus, Paulus dan Apolos, “seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci,” yang telah mengunjungi Korintus[42] dan yang diundang lagi kemudian oleh Paulus.[43]
Paulus menulis: “Aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas,” Jawaban Paulus terhadap kelompok-kelompok yang berselisih adalah: “Aku dari golongan Kristus!”
Paulus menunjukkan seriusnya perpecahan dengan mengajukan empat pertanyaan refleksif: “Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?”[44] Untuk menyimpulkannya ia bertanya kepada mereka: “Karena jika yang seorang berkata: ‘Aku dari golongan Paulus,’ dan yang lain berkata: ‘Aku dari golongan Apolos,’ bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?”[45] Dengan membuat pernyataan-pernyataan ini, jemaat di Korintus meniadakan keselamatan yang diperoleh hanya oleh Kristus.
Paulus sungguh tidak dapat menerima bahwa “Kristus” terbagi-bagi, yakni, “Tubuh Kristus, Gereja.”[46] Sehingga ia dengan sepenuh hati mendesak jemaat di Korintus: “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.”[47] Sebab Kristus telah meruntuhkan “tembok pemisahan” yang memisahkan Yahudi dan bangsa lain, dan membuat mereka menjadi satu,[48] “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus;”[49] “baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh.”[50]
Ketika orang-orang Korintus bertanya kepada Paulus tentang karisma untuk bernubuat atau berbicara dalam bahasa Roh dalam keadaan sukacita yang mendalam adalah karisma yang paling penting, Paulus mengungkapkan pendapat pribadinya tentang karisma-karisma tersebut, sebab itu lebih berguna untuk pembangunan jemaat.[51] Namun dengan cepat ia menambahkan: “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua. Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.”[52] Kiranya lima kata yang dimaksudkan Paulus “lebih suka berbicara ditengah jemaat” adalah mengenai masalah kasih.
Berkaitan dengan hal ini, ketika Paulus menulis kepada jemaat yang terpecah di Korintus, ia menyusun sebuah madah dan sekaligus teologi yang paling mengesankan bukan hanya dalam seluruh suratnya melainkan juga dalam semua tulisan-tulisan rohani yang pernah ada – yang terkenal dengan Madah Kasih: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”[53]
Tanpa kasih manusia tidak berarti apa-apa walau apa yang ia katahui, atau ia miliki, atau ia percaya maupun apa yang ia lakukan: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.”[54]
Inilah pesan Paulus bagi dunia yang terpecah-belah saat ini: “Kejarlah kasih itu,”[55] sebab kasih adalah karunia paling tinggi diantara semua karisma dan penopang untuk setiap orang. Hanya melalui kasih perpecahan dapat diatasi; hanya melalui kasih damai dapat lahir di hati; hanya melalui kasih umat manusia dapat menjadi satu keluarga yang besar.
Sama seperti yang dilakukan oleh Menenius Agrippa di masa Roma Kuno dengan dongeng yang terkenal ia menunjukkan perlunya solidaritas diantara kelas-kelas sosial, Paulus mengetengahkan kasih secara teologis melalui penerapan kiasan tubuh kepada Gereja: “maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh.”[56]
Paulus menemukan “keseluruhan Kristus,”[57] yakni Tubuh Kristus dan Kristus, Kepala Jemaat, pada saat pertobatannya. Ketika ia bertanya kepada suara misterius dari sorga “Siapakah engkau?” Dia mendengar jawaban: “Akulah Yesus yang engkau aniaya.”[58] Kata-kata ini menunjukkan bahwa Kristus menyamakan diri-Nya dengan para pengikut-Nya, sebagaimana St. Agustinus mencatat: “Tuhan sendiri berseru dari sorga atas nama Tubuh-Nya: ‘Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?’ Tidak ada seorang pun yang pernah menyentuhNya secara pribadi, tetapi sang Kepala berseru dari sorga mewakili Tubuh-Nya yang menderita di bumi.”[59] Saulus bukan menganiaya Pribadi Kristus, yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya, Kristus sudah bangkit dan karena itu tidak dapat dijamah lagi. Tetapi ia mencari untuk memenjarakan orang Kristen yang dapat dilihatnya.
Yesus sekali lagi menjelaskan pernyataan langsung identifikasi diri-Nya dengan para murid-Nya: “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”[60]
Origenes yang mengomentari kiasan Paulus tentang tubuh manusiawi, memperhatikan bahwa “keseluruhan Kristus” tidak dapat diwujudnyatakan tanpa kesatuan antara Dia dan anggota-anggota Gereja: “Jika kamu sebagai anggota Gereja merasa tidak bahagia atas hilangnya anggota yang lain, betapa lagi Tuhan dan Penyelamat, yang adalah Kepala dan dan Penguasa dari seluruh Tubuh akan merasa tidak bahagia.”[61]
Untuk memperingati saat ketika Paulus menemukan “keseluruhan Kristus,” kami mempersembahkan dalam buku kecil ini berbagai gambaran yang berkaitan dengan pertobatan[62] dan pewartaan pesannya yang terus menerus masih relevan untuk dunia jaman sekarang ini, yang tercabik oleh peperangan di berbagai negara[63] dan yang terpecah-pecah oleh karena suku, agama, budaya, politik dan ekonomi.

Roma, 4 Oktober 2004

+ Francesco Gioia, Archbishop
Pontifical Administrator
Of the Patriarchal Basilica of St. Paul.



« Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: "Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga. Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia. Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati." (Kis 17:22-31)»


“Ketika Anggota-anggota Tubuh Belum Bertindak sebagai Satu …”[64]

Tubuh manusia menarik perhatian sebab anggota-anggotanya yang banyak dan harmonis. Kedua ciri ini telah menginspirasi banyak pengarang membuat perbandingan antara tubuh dan masyarakat manusia, sebab keduanya memakai kesatuan organis di dalam struktur, walaupun banyak bagian-bagian dan beragam fungsi yang mengerjakan tiap bagiannya. Menenius Agrippa dan Seneca menerapkan tubuh pada masyarakat negara pada masanya dan Paulus melakukan hal yang sama, ketika ia berbicara tentang komunitas Kristen yang membentuk Gereja.[65]
Pada tahun 509 SM, kondisi yang sudah kritis dari kehidupan rakyat jelata di Roma diperparah dengan adanya perang melawan Porsenna yang legendaris, Raja Etruscan dari Chiusi dan sekutu-sekutunya.[66] Untuk bertahan hidup, kepala-kepala keluarga-keluarga harus berhutang dalam jumlah yang besar. Ketika mereka tidak mampu untuk membayar, seluruh keluarga dijadikan budak. Dipaksa oleh keadaan putus asa, mereka memutuskan untuk berhenti bekerja dan melarikan diri ke Mons Sanctus (Gunung Suci), dekat Anio.
Pada saat yang sama, bangsa Volcius sedang bersiap-siap untuk meduduki Roma. Titus Livius (59 SM – 17 Sesudah Masehi) mengatakan bahwa para bangsawan, yang tidak mampu melawan perang ini seorang diri, mencoba meyakinkan rakyat jelata untuk kembali ke kota dan memutuskan untuk mengirim kepada mereka seorang utusan, Menenius Agrippa, seorang konsul Roma pada tahun 503 SM, yang menaklukkan Sabines pada tahun 494 SM, dan yang dianggap “seorang yang fasih berbicara dan diterima oleh orang-orang desa, karena ia sendiri berasal dari desa.”
Menenius, “dalam gaya yang sederhana yang umum untuk orang-orang jaman itu,” menceritakan dongeng yang terkenal tentang bagian-bagian dari tubuh, yakni para penduduk desa memberontak melawan perut, yang mewakili para bangsawan, yang akibatnya menyakiti seluruh tubuh, yang melambangkan negara.[67]
Pada saat ketika semua bagian dari tubuh manusia tidak bertindak sebagai satu kesatuan, setiap anggota mencari dirinya sendiri dan memiliki pikirannya sendiri. Anggota-anggota ini, dengan marah melihat bahwa semua yang dicapai melalui usaha, pekerjaan dan pelayanan mereka lari ke perut, sementara itu perut tenang-tenang di tengah dan tidak berbuat apa-apa selain menikmati kenikmatan yang telah disediakan. Lalu para anggota bersekongkol. Tangan tidak mau membawa makanan ke mulut; mulut pun tidak mau menerima jika disuapi; dan gigi tidak mau mengunyah. Akan tetapi dalam kebencian dan keinginan mereka untuk membuat lapar perut supaya takluk, para anggota sendiri menderita, dan seluruh tubuh menjadi tidak berdaya sama sekali. Hal ini menjadi jelas bahwa perut bukannya tidak menyumbangkan pelayanan dengan bermalas-malasan, dengan diberi makan sebagai gantinya ia menyediakan sari makanan bagi seluruh bagian-bagian dari tubuh dengan mencernakan makanan dan menyalurkannya daya hidup dan kekuatan melalui urat nadi bagi setiap bagian.”
Titus Livius menyimpulkan: “Dengan menggunakan kiasan ini, dia menunjukkan bagaimana penyelewengan di dalam dari berbagai bagian dari tubuh menyerupai darah jelek seperti orang-orang desa yang melawan para bangsawan, dan, pada akhirnya, berhasil memenangi para penontonnya.”[68] Pada kenyataannya, para penduduk desa begitu terkejut dengan dongeng ini sehingga mereka menyadari bahwa korban pertama dari protes mereka adalah diri mereka sendiri. Perut bukanlah satu-satunya yang terhukum, tetapi seluruh tubuh. Mereka berjanji untuk kembali ke Roma dengan syarat hutang-hutang mereka dibatalkan dan sebuah tubuh yang demokratis dibentuk untuk menjaga hak-hak mereka (pengadilan rakyat).
Seneca (50 SM – 40 Ses. M), orang yang sebaya dengan Paulus, bersandar pada gambaran tubuh yang sama, ketika ia menegaskan perlunya solidaritas diantara manusia demi hidup yang tenang. Tetapi ia menambahkan sebuah sisi yang menggelitik.
Ia mengajukan pertanyaan: “bagaimana kita memperlakukan sesama. Apa tujuan kita? Aturan apa yang kita tawarkan? Haruskah kita tawar-menawar supaya jangan terjadi pertumpahan darah? Mudah untuk tidak melukai seseorang yang seharusnya engkau tolong! Adalah berguna memperlakukan sesama dengan baik! Haruskah kita memberi nasehat supaya orang mengulurkan tangan bagi pelaut yang kapalnya karam, atau memberi tahu arah jalan bagi orang yang sedang tersesat atau berbagi sekeping roti bagi seorang yang kelaparan? Ya, semoga saya dapat mengatakan pertama-tama kepadamu, apa yang seharusnya dibagikan dan apa yang harus disimpan. Sementara itu saya dapat menetapkan sebuah aturan untuk seluruh umat manusia, sebuah hukum, menyangkut kewajiban-kewajiban kita dalam relasi-relasi kita: semua yang harus kamu lihat, yang terdiri dari baik Allah maupun manusia, adalah satu – kita adalah bagian dari sebuah tubuh yang besar. Alam melahirkan kita, maka kita berhubungan satu dengan yang lain; dia menciptakan dari sumber yang sama dan untuk tujuan yang sama. Dia melahirkan afeksi yang saling timbal balik di dalam diri kita, dan membuat kita siap untuk membentuk persahabatan. Dia mengadakan kejujuran dan keadilan; menurut aturannya, adalah lebih celaka menyebabkan penderitaan daripada sendiri menderita luka-luka. Sebagai jawabannya, biarlah tangan kita siap untuk menolong semua yang membutuhkan [...] Marilah kita menempatkan semua milik kita tersedia bagi sesama, sebab dalam kelahiran, kita berbagi kehidupan yang sama.”[69]
Awalnya, harus ditunjukkan bahwa kesatuan yang dibela oleh Menenius Agrippa dan Seneca secara mendalam berbeda dengan kesatuan yang Paulus minta pada para pengikut Kristus, ketika ia menggunakan kiasan yang sama dari tubuh manusia, sebagaimana yang akan kita lihat kemudian.
Kenyataannya, kesatuan dari berbagai bagian dari masyarakat, sebagaimana yang digambarkan dalam dongeng Agrippa dan tulisan-tulisan Seneca, adalah kesatuan eksternal, yang pada dirinya sendiri perlu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, seperti, berfungsinya secara mulus suatu struktur organisasi, untuk menjamin kehidupan yang pantas dan damai. Menenius juga sadar hal ini, dalam pernyataannya dengan jelas ia mengatakan bahwa pemberontakan melawan perut terjadi “ketika anggota-anggota tubuh tidak lagi bertindak sebagai satu kesatuan, tetapi masing-masing mencari untuk dirinya sendiri dan memiliki pendapatnya sendiri.”
Kesatuan yang Paulus bicarakan adalah kesatuan hakiki untuk Gereja, yang menjadi kodratnya. Tanpa kesatuan ini komunitas Kristen tidak dapat ada.
Yesus berdoa kepada Bapa-Nya bagi para murid-Nya dan “juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu.” Dalam doa ini Ia mengungkapkan ciri asli yang mutlak dari kesatuan yang harus ada diantara para anggota Gereja. “sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita […] supaya mereka sempurna menjadi satu.” Dan Ia menunjukkan juga maksud sesungguhnya dari kesatuan ini: “agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.”[70]
Paus Yohanes paulus II mengamati: “Kesatuan ini, yang telah dianugerahkan Tuhan bagi Gereja-Nya dan yang diharapkannya menyebar ke semua orang, bukanlah sesuatu yang ditempelkan, tetapi sesuatu yang berdiri pada jantung misi Kristus. Sifat itu bukan pula tambahan pada sifat komunitas para murid. Ia terutama unsur hakiki dari komunitas ini. Allah menghendaki Gereja, sebab Dia menghendaki kesatuan. […] Mempercayai Kristus berarti menginginan kesatuan; mengingini Gereja berarti mengingini kesatuan dari rahmat yang berkaitan dengan rencana Bapa sejak segala abad. Itulah makna dari doa Kristus: ‘Ut unum sint.’”[71]
Kesatuan yang dimohonkan kepada Bapa-Nya adalah bahwa yang ada diantara ketiga Pribadi dari Trinitas. Sayangnya, kesatuan yang seperti ini tidak dapat sepenuhnya dicapai oleh umat manusia dalam kehidupan ini. Namun demikian, Yesus memberitahukan kepada para pengikut-Nya bahwa jalan menuju kesatuan berkelanjutan; mereka hanya perlu ambil bagian di dalam komunio yang menjadi ciri dari Trinitas: “Komunio orang-orang Kristen tidak lain daripada pengejawantahan dalam diri mereka rahmat yang dengannya Allah membuat mereka berbagi satu sama lain di dalam komunio ...”[72]
Kesatuan yang akrab dari orang-orang Kristen dengan Kristus juga mendapat ungkapannya dalam gambaran pokok anggur dan cabang-cabangnya. Yesus membuat sebuah seruan nyata: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.”[73] Tanpa komunio dengan pokok ini, yakni Kristus, cabang tidak berbuah; ia menjadi layu dan diperuntukan bagi api.






















[1] Lih. Kej 4:8.
[2] Mat 15:19; bdk. Mrk 7:21-22.
[3] Rom 7:15, 19, 21.
[4] Ovid, Metamorphoses, VII, 20 (Video meliora proboque, deteriora sequor).
[5] Plato, Asinaria, II, 8 (Homo homini lupus). Filsuf Thomas Hobbes (1588-1679) memakai ungkapan ini sebagai topik utama dalam teori moralnya: manusia bertindak hanya keluar dari kepentingan dirinya dan menciptakan masyarakat hanya melarikan diri dari kekejaman yang terus menerus membuat semua orang saling bermusuhan (Bellum omnium contra omnes) dan kemudian menyelamatkan dirinya sendiri
[6] St. Agustinus merumuskan dengan tajam beberapa aspek dari damai dengan cara berikut ini: “Kedamaian tubuh terdiri dari pengaturan yang semestinya dan sewajarnya dari bagian-bagiannya. Kedamaian dari jiwa yang irrasional adalah penempatan yang harmonis dari nafsu-nafsu, dan dari jiwa yang rasional adalah keseimbangan antara pengetahuan dan tindakan. Kedamaian tubuh dan jiwa adalah hidup dan kesehatan yang teratur dan harmonis dari makhluk hidup. Damai antara manusia dan Allah adalah ketaatan iman yang tertib terhadap hukum abadi. Damai antara manusia dengan sesama adalah kerukunan yang tertata. Kedamaian dalam rumah tangga adalah kerukunan yang tertata antara semua dalam keluarga, antara mereka yang memimpin dan mereka yang mentaati. Kedamaian dalam masyarakat adalah kerukunan diantara warganya. Kedamaian dalam kota surgawi adalah sukacita yang teratur dan harmonis secara sempurna bersama Allah, dan satu dengan yang lain di dalam Allah. Kedamaian dari segala sesuatu adalah keheningan dari keteraturan. Keteraturan adalah pembagian dari bermacam-macam hal, yang sama dan tidak sama, masing-masing pada tempatnya sendiri.” (The City of God, XIX, 13).
[7] Mzm 85:8.
[8] Yes 57:19; Lih. Dan 3,98; 6:26.
[9] Yes 52:7; . bdk. Nah 2:1. Salam damai adalah tema yang terus berulang dalam Perjanjian Lama (lih. Est 4:18; Hak 6:23; 1 Sam 25:6; 1 Taw 12:19; Tob 12:17; 1 Mak 7:33; 2 Mak 1:1; Mzm 125:5; 128:6; Sir 50:23).
[10] Yes 9:5
[11] Yes 11:6; bdk. 65:25.
[12] Mik 4:3.
[13] Im 19:18.
[14] Luk 2:14; lih. Ef 2:17.
[15] Ef 2:14.
[16] Mat 5:9.
[17] Yoh 14:27; bdk. 16:33.
[18] Beberapa seruan termasuk: “Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.” (1 Kor 7:15); “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu.” (Kol 3:15; bd. Flm 4:7, 9; Rom 1:7; 15:13, 32); “Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya terus-menerus, dalam segala hal, kepada kamu.” (2 Tes 3: 16); “Hiduplah dalam damai.” (2 Kor 13:11; bd. Rom 12:18; 1 Tes 4:11; 5:13); “Berusahalah hidup damai dengan semua orang.” (Ibr 12: 14; bdk 2 Tim 2:22); “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya.” (1 Tes 5:23; bdk. Ibr 13:20); “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera.” (Rom 14: 19; bdk. 2:10; 2 Tes 3:12); “Buah Roh ialah: damai.” (Gal 5:22; lih. Rom 8:8; 4:17; Ef 4:3).
[19] Yoh 13:34-35.
[20] Quran, Sura 59,23.
[21] Quran, Sura 49,9-10. Bdk Sura 3,103: “Ingatlah akan manfaat yang Allah telah curahkan atas kamu: dahulu kamu bermusuhan dan dia telah menyatukan hati-hatimu dan melalui rahmatnya kamu telah menjadi saudara.”
[22] Lih. Kis 2:42.
[23] Kis 4:32
[24] Lih. Kis 6:1.
[25] Lih. Kis 2:7-11.
[26] Lih. Kis 6:9.
[27] Kis 6:1.
[28] Lih. Kel 14:11-12; Bil 11:1-6.
[29]Angka “7” itu dapat diperdebatkan. Para diakon jelas semuanya orang-orang Kristen dari kalangan Yunani, dengan memperhatikan nama-nama mereka, dengan kekecualian untuk Nikolaus, yang adalah “seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia” (Lih. Kis 6:5).
[30] Lih. Kis 11:12; 15:1-2; 21:21; Gal 2:11-15.
[31] Lih. Kis 15:8-29.
[32] Lih. 1 Kor8-10; Kis 15:20,29; 21:25.
[33] Lih. Cicero, Tusculan Disputations, 3, 5, 3.
[34] Lih. Philo dari Alexandria, The Legatio ad Gaium, 281-282; Kis 18, 4.7-8.
[35] Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa Paulus orang sangat berpengaruh di kalangan bangsa Yahudi (18:6), sehingga Krispus pemimpin sinagoga di sana ditobatkan menjadi Kristen (18:4, 7-8) dan bahwa seorang yang belum percaya, Titius Yustus menerima dia di dalam rumahnya dekat sinagoga. Pemujaan terhadap Dewi Aphrodite Pandemos (= dari semua bangsa) menjadi sangat penting pada waktu itu.
[36] Lih. 1 Kor 1:26; 8:7; 10:114-20; 12:2.
[37] Lih. 1 Kor 1:22-24; 10:32; Kis 18:8.
[38] Lih. 1 Kor 12:3.
[39] Lih. 1 Kor 7:21-23; 2:13.
[40] Lih. 1 Kor 7:-40; 11:3-15; 14:34-35.
[41] Lih. 1 Kor 1:21-22.
[42] Lih. Kis 18:24-19:1.
[43] Lih. 1 Kor 6:12.
[44] 1 Kor 1:11-13.
[45] 1 Kor 3:4.
[46] Kol 1:24; 1 Kor 12:12.
[47] 1 Kor 1:10.
[48] Lih. Ef 2:14.
[49] Gal 3:28.
[50] 1 Kor 12:13.
[51] Lih. 1 Kor 14:5, 12.
[52] 1 Kor 14:18-19.
[53] 1 Kor 13:4-8. Dicatat di sini bagaimana Kasih adalah pokok dari sejumlah 15 kata kerja, yang digambarkan Paulus sebagai hakekat kasih terhadap sesama, dan bagaimana istilah “segala sesuatu” yang diulang empat kali memberi belas kasih sebuah dimensi yang meliputi semuanya. Tambahan pula, bahkan jika kasih dihayati di sini sekarang di bumi, ia tidak terikat waktu dan tempat tetapi juga mengarah kepada keabadian: “kasih tidak berkesudahan.” Sebaliknya melalui pertentangan-pertentangan yang logis Madah ini juga mengungkapkan perasaan-perasaan yang berlawanan dari kasih, yang siap menjadi benih yang meracuni kehidupan.
[54] 1 Kor 13:1-3.
[55] 1 Kor 14:1.
[56] 1 Kor 10:17. Karya ini yang menerapkan metafora tubuh manusia kepada Gereja menurut pemikiran St. Paulus mencakup 249 bagian dari surat-suratnya (dalam bentuk kutipan atau hanya referensi), dan, dalam keseluruhan konteks, 94 bagian diambil dari berbagai buku dari Kitab Suci (35 dari Perjanjian Lama dan 59 dari Perjanjian Baru), sebagaimana terlihat dalam Indeks Keselurhan Kitab Suci ada 343 kutipan.
[57] St. Agustinus, Expositions on tha Psalms, XVII, 51; XC II,1. Bagi Origenes, “Keseluruhan Kristus” dibentuk bukan hanya oleh Pribadi Kristus dan mat manusia, tetapi juga oleh “keseluruhan ciptaan” (Commentary on the Psalm 36,1)
[58] Kis 9:5.
[59] St. Agustinus, Expositions on Psalms, CXXX, 6
[60] Mat 25:40. Dalam hal ini, Origenes mengamati bahwa penderitaan umat adalah juga penderitaan Kristus. “Dalam diri para murid-Nya yang sejati, Yesus selalu ada di atas salib, terhubungkan dengan para pelaku kejahatan, dan menanggung hukuman yang sama seperti yang Ia alami ketika masih hidup di dunia.” (Against Celsus, II, 44).
[61] Origenes, Homily VII on Leviticus, 2.
[62] Kerap kali Paulus menunjuk pengalaman pertobatannya di dalam surat-surat dan pewartaannya (lih. 1 Kor 15:9-10; Gal 1:13-23; Flp 3:6; 1 Tim 1:12-14; Kis 9:1-9; 22:1-21; 26:9-18).
[63] Tidaklah mengherankan bahwa Pius VII mengundang dunia Kristen untuk merefleksikan Gereja sebagai “Tubuh Mistik” Kristus, yang diterbitkan dalam Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943, “ketika konflik yang luar biasa besar telah menyalut api hampir di seluruh dunia dan menyebabkan begitu banyak kematian, penderitaan dan kesulitan, … Dalam masa yang paling sulit ini, saudara-saudara yang terkasih, ketika tubuh-tubuh disiksa dengan kesakitan dan jiwa-jiwa ditekan dengan kepedihan, setiap individu harus bangkit menuju amal kasih yang mengatasi kodrat sehingga dengan segala usaha yang bersatu dari semua orang yang berkehendak baik berusaha keras mengalahkan satu sama lain dalam kasih dan belas kasihan – Kita tahu khususnya, mereka yang terlibat dalam karya pertolongan manapun – kebutuhan umat manusia yang luar biasa, baik yang rohani maupun yang jasmani, dapat diringankan, dan kemurahan hati yang tulus, berkat yang tidak habis-habisnya dari Tubuh Mistik Kristus, dapat bersinar dengan cemerlang di seluruh dunia.” (Mystici Corporis, 106 dan 96; lih. 5-6)
[64] Titus Livius, The History of Rome, Vol. I, Book 2,32.
[65] Tidak diketahui apakah Paulus sebagai warga Roma (lih. Kis 16:37; 22:25-27; 23:27), mengenal dongeng Menenius Agrippa.
[66] Menurut tradisi Etruscan, Raja Roma Tarquinius yang sombong, yang terbuang dari kota, berbalik kepada Porsenna dan beberapa kota di Etruria untuk meminta bantuan mengambil alih tahtanya. Porsenna menyerang Roma dan menaklukkannya, tetapi sebagai imbalan nya, ia menetapkan syarat-syarat yang berat untuk perdamaian. Menurut tradisi Roma, kepahlawanan Horatius Coacles (disebut demikian karena ia bermata satu), Mucius Scaevola dan Clelia memaksa Porsenna untuk meninggalkan pengepungan terhadap kota dan kembali ke Chiusi. Tetapi, apa yang dicatat tentang pahlawan-pahlawan ini kemungkinannya hanyalah penulisan kembali dari sejarah untuk menyembunyikan fakta bahwa kota sudah ditaklukkan.
[67] Pribadi Menenius Agrippa mungkin berasal dari cerita rakyat. Karena itu sulit untuk memberikan kebenaran historis pada dongeng ini atau sebuah dasar yang masuk akal ntuk menempatkannya pada permulaan abad ke 5 SM dalam sejarah Roma
[68] Titus Levius, The History of Rome, Volume I, Book II, 32.
[69] Seneca, Moral Epistle to Lucilius,XCV, 51-53.
[70] Yoh 17:20-23.
[71] Yohanes Paulus II, Ut Unum Sint, 9.
[72] Ibid, 9
[73] Yoh 15:4-6.

Tidak ada komentar: