Senin, 18 Mei 2009

"Kita adalah Satu Tubuh" - Bab 7

«"Hai saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah, apa yang hendak kukatakan kepadamu sebagai pembelaan diri." Ketika orang banyak itu mendengar ia berbicara dalam bahasa Ibrani, makin tenanglah mereka. Ia berkata: "Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah sama seperti kamu semua pada waktu ini. Dan aku telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara. Tentang hal itu baik Imam Besar maupun Majelis Tua-Tua dapat memberi kesaksian. Dari mereka aku telah membawa surat-surat untuk saudara-saudara di Damsyik dan aku telah pergi ke sana untuk menangkap penganut-penganut Jalan Tuhan, yang terdapat juga di situ dan membawa mereka ke Yerusalem untuk dihukum. Tetapi dalam perjalananku ke sana, ketika aku sudah dekat Damsyik, yaitu waktu tengah hari, tiba-tiba memancarlah cahaya yang menyilaukan dari langit mengelilingi aku. Maka rebahlah aku ke tanah dan aku mendengar suatu suara yang berkata kepadaku: Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku? Jawabku: Siapakah Engkau, Tuhan? Kata-Nya: Akulah Yesus, orang Nazaret, yang kauaniaya itu. Dan mereka yang menyertai aku, memang melihat cahaya itu, tetapi suara Dia, yang berkata kepadaku, tidak mereka dengar. Maka kataku: Tuhan, apakah yang harus kuperbuat? Kata Tuhan kepadaku: Bangkitlah dan pergilah ke Damsyik. Di sana akan diberitahukan kepadamu segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu. Dan karena aku tidak dapat melihat oleh karena cahaya yang menyilaukan mata itu, maka kawan-kawan seperjalananku memegang tanganku dan menuntun aku ke Damsyik. Di situ ada seorang bernama Ananias, seorang saleh yang menurut hukum Taurat dan terkenal baik di antara semua orang Yahudi yang ada di situ. Ia datang berdiri di dekatku dan berkata: Saulus, saudaraku, bukalah matamu dan melihatlah! Dan seketika itu juga aku melihat kembali dan menatap dia. Lalu katanya: Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar. Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan! Sesudah aku kembali di Yerusalem dan ketika aku sedang berdoa di dalam Bait Allah, rohku diliputi oleh kuasa ilahi. Aku melihat Dia, yang berkata kepadaku: Lekaslah, segeralah tinggalkan Yerusalem, sebab mereka tidak akan menerima kesaksianmu tentang Aku. Jawabku: Tuhan, mereka tahu, bahwa akulah yang pergi dari rumah ibadat yang satu ke rumah ibadat yang lain dan yang memasukkan mereka yang percaya kepada-Mu ke dalam penjara dan menyesah mereka. Dan ketika darah Stefanus, saksi-Mu itu, ditumpahkan, aku ada di situ dan menyetujui perbuatan itu dan aku menjaga pakaian mereka yang membunuhnya. Tetapi kata Tuhan kepadaku: Pergilah, sebab Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain."(Kis 22:1-21)»


7 “Hai Suami Kasihilah isterimu, sebagimana Kristus Mengasihi Gereja dan telah menyerahkan diri-Nya baginya[1]

Dalam Surat Efesus,[2] sesudah menyampaikan unsur terpenting bagi persatuan[3] dan kesucian[4] dalam hidup umat Kristen Paulus menyampaikan nasehat bagi kehidupan keluarga.[5]
Pertama-tama ia berbicara tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur semua relasi dalam keluarga Kristen: “Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.”[6] Kemudian dia terus menerapkan prinsip ini pada relasi yang ada diantara berbagai anggota sebuah keluarga: suami dengan isteri,[7] anak-anak dengan orangtua[8] dan – pada jaman itu – para budak dengan tuan mereka.[9]
Kepada para isteri ia mengajarkan ketundukan kepada para suami mereka: “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.” Dalam Surat Kolose, Paulus menyatakan dengan ungkapan sederhana alasan dari nasehatnya ini – “sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”[10]
Akan tetapi dalam Surat Efesus, Paulus mengembangkannya lebih lanjut, dengan memperkenalkan pengajarannya tentang kesatuan Kristus dan Gereja-Nya sebagai model kesatuan yang harus ada antara suami Kristiani dengan isteri dalam perkawinan: “Karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.”[11]
Pernyataan Paulus, “Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh,” dipakai dalam Ensiklik Mystici Corporis demikian: “Sebab dalam kata-kata ini kita memiliki alasan sebenarnya mengapa Tubuh Gereja diberi nama Kristus, yakni, bahwa Kristus adalah Penyelamat Ilahi dari Tubuh ini. Perempuan Samaria benar dengan menyebut Dia “Penyelamat dunia” (Yoh 4:42), sebab Dia sungguh dan sepatutnya dipanggil “Penyelamat seluruh umat manusia,” meskipun kita harus menambahkan seperti Paulus: ‘khususnya para beriman’ (1 Tim 4:10) sebab, dihadapan semua yang lain, Ia telah membayar dengan Darah-Nya anggota-anggota-Nya yang membentuk Gereja (lih. Kis 20:28) […] Untuk itu ketika Tuhan begantung di salib, Dia terus tanpa henti ditengah-tengah sukacita surgawi: ‘Kepala Kita,’ demikian menurut St. Agustinus, ‘menjadi perantara kita: beberapa anggota yang Ia terima, yang lain Ia hukum, yang lain lagi Ia bersihkan, yang lain lagi Ia hibur, yang lain Ia ciptakan, yang lain lagi Ia panggil, yang lain Ia ingatkan, yang lain lagi Ia perbaiki, yang lain pula Ia perbaharui’ (Expositions on the Psalms, 85,5). Tetapi hal ini bagi kita berarti ikut bekerjasama dengan Kristus dalam karya keselamatan, ‘yang datang melalui Dia karena Dialah sang Juru Selamat’ (St. Clement dari Alexandria, Stromateis, 7, 2).[12]
Gereja adalah mempelai Kristus; Dia “telah mengasihinya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.”[13]
Dalam kutipan ini Paulus menekankan dua ide: bahwa Kristus (sang Mempelai laki-laki) menyucikan Gereja (Mempelai perempuan) dan membuatnya satu dengan Diri-Nya.
Kristus mengasihi Gereja sebab ia adalah Tubuh Mistik-Nya. Maka sebagai Kepala Tubuh, Dia akan mengasuh dan merawat anggota-anggota-Nya.[14]
Bagi Paulus, kasih Kristus bagi Gereja menjadi model ideal bagi kasih para suami isteri Kristen. Seturut dengan kemampuan mereka, para suami harus melakukan semua yang Kristus telah lakukan untuk Mempelai-Nya. Mereka harus mengasihi isteri mereka “sebagaimana mereka mengasihi tubuhnya sendiri,” sebab mereka dengan isteri mereka membentuk satu tubuh: “Mereka menjadi satu daging.”[15]
Sama seperti seseorang tidak mengalami kesulitan untuk mengasihi dirinya sendiri, seorang suami seharusnya juga tidak mengalami kesulitan mengasihi isterinya. Sungguh, “tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya.” Karena itu, “kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.”[16] Dalam pikiran Paulus, jika ikatan perkawinan yang terjalin antara Kristus dengan Gereja dipakai sebagai model bagi kesatuan suami isteri Kristen, maka perkawinan kristiani dapat dipakai sebagai gambaran mistik dari hubungan Kristus dengan Gereja: “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”[17]
Karena seorang isteri menjadi satu daging dengan suaminya, sama seperti Gereja, bukan seperti mempelai duniawi melainkan mempelai rohani menjadi satu dengan Mempelainya dalam roh yang sama.
Dengan menggunakan gambaran dari sebuah keluarga, Paulus memperlihatkan Gereja, yang diangkat ke dalam Yerusalem surgawi, “Ibu kita,”[18] – sebuah perbandingan yang kemudian dikembangkan Tradisi menjadi “Bunda Gereja yang Kudus,” – yang melalui rahimnya yang tanpa noda, dengan kuasa Roh Kudus, orang-orang Kristen baru dilahirkan, sebagaimana St. Leo Agung menyatakan: “Putera Allah, lahir dari Bunda Perawan oleh Roh Kudus, membuat Gereja tanpa noda berbuah melalui Roh yang sama, sehingga Pembaptisan dapat melahirkan kumpulan anak-anak Allah yang tak terbilang banyaknya.”[19]
Konsili Vatikan Kedua menyamakan Gereja dengan Maria: “dengan menerima Sabda Allah dengan setia (Gereja) menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal abadi putera-puteri yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah. Gereja pun perawan, yang dengan utuh murni menjaga kesetiaan yang dijanjikannya kepada Sang Mempelai.”[20]
Suatu kerjasama mistik antara Kristus, Adam Kedua[21] dan Gereja, Hawa yang Baru, melahirkan orang-orang Kristen baru. Methodius dari Olympia, yang menjadi martir di Eubea pada tahun 311, menulis bahwa “Rasul Paulus menerapkan semua ciri Adam pada Kristus. Dapat dikatakan bahwa Gereja dilahirkan dari tulang dan daging-Nya. Demi kasih-Nya kepada Gereja, sang Sabda meninggalkan Bapa di sorga dan turun ke bumi sehingga Dia dapat bersatu dengan Mempelai-Nya. Dalam penderitaan-Nya, Dia terbaring mati, mati demi pilihan bebas-Nya sendiri karena kasih, sehingga Ia dapat ‘menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. (lih. Ef 5:26-27). Gereja, dari pihaknya, terbuka untuk menerima benih-benih rohani yang Dia sendiri taburkan dalam jiwa yang terdalam. Gereja sebagai Mempelai menerima benih dan memberi bentuk kepadanya sampai kemudian benih itu dilahirkan, dirawat dan dipelihara.” Methodius menekankan kesejajaran antara Adam dan Hawa dengan Kristus dan Gereja: “Setiap pertimbangan mengenai Adam dan Hawa dapat diterapkan pada relasi antara Kristus dan Gereja.” Dan lagi katanya: “Paulus menunjuk secara langsung apa yang berkaitan dengan manusia pertama dan Hawa […] kepada Kristus dan Gereja.”[22] St. Siprianus mengingatkan bahwa: “tidak mungkin kita memiliki Allah sebagai Bapa tanpa memiliki Gereja sebagai Bunda.”[23]
Dalam Perjanjian Lama Israel sering disebut sebagai Mempelai Yahwe.[24] Karena itu dapat dimengerti kalau Perjanjian Baru meneruskan pemakaian simbol perkawinan ini.
Dalam jamannya, Yesaya memakai gambaran perkawinan untuk menggambarkan kedatangan Mesias.[25] Sesungguhnya, kedatangan Kristus ke dalam dunia adalah untuk merayakan pernikahan-Nya dengan seluruh umat manusia. Gambaran ini harus ada dalam benak kita jika kita membaca perumpamaan tentang sepuluh gadis: “Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki.”[26]
Dalam perumpamaan ini Kristus digambarkan sebagai mempelai laki-laki bagi jiwa pribadi-pribadi; Dia datang untuk menikahi jiwa pada waktu kematian dan bersatu dengannya dalam kemuliaan kekal. Tetapi Kristus juga adalah Mempelai laki-laki yang datang ke dalam dunia untuk menikahi keseluruhan umat manusia melalui penebusan dan pengudusan. Karena alasan ini, Yohanes Pembaptis yang menyerukan perutusannya disebut “sahabat Mempelai laki-laki yang berdiri dan mendengarkan-Nya.”[27]
Ketika diskusi terjadi diantara orang-orang Farisi[28] dan pengikut-pengikut Yohanes Pempabtis[29] mengenai praktek puasa dua kali seminggu, Yesus mengatakan: “Dapatkah sahabat-sahabat Mempelai laki-laki (Yesus) berdukacita selama Mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang Mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”[30]
Pernikahan rohani dimulai dengan Inkarnasi, ketika Kristus menikahi kemanusiaan dengan mengambil kodrat manusia. Mempelai perempuan yang sesungguhnya dalam pernikahan ini adalah Maria dari Nazaret, sebagaimana Ensiklik Mystici Corporis menyatakan dengan mengutip kata-kata dari St. Thomas Aquinas:[31] “Atas nama seluruh umat manusia, dia (Maria) memberikan persetujuannya ‘untuk sebuah pernikahan rohani antara Putera Allah dengan kodrat manusiawi.’”[32] Pernikahan mistik ini berlanjut dalam Penebusan di Kalvari, ketika Kristus menikahi Gereja.[33] Pernikahan ini akan mencapai puncak abadi di sorga nanti. Dalam Kitab Wahyu, salah seorang dari tujuh malaikat berkata kepada Yohanes: “Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan, mempelai Anak Domba."[34] Dan Yohanes menulis: “aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.”[35]
Yehezkiel memberikan gambaran yang ringkas bagaimana Allah (Memperlai laki-laki) mendandani Israel (mempelai-Nya): “Aku mengenakan pakaian berwarna-warna kepadamu dan memberikan engkau sandal-sandal dari kulit lumba-lumba dan tutup kepala dari lenan halus dan selendang dari sutera. Dan Aku menghiasi engkau dengan perhiasan-perhiasan dan mengenakan gelang pada tanganmu dan kalung pada lehermu. Dan Aku mengenakan anting-anting pada hidungmu dan anting-anting pada telingamu dan mahkota kemuliaan di atas kepalamu. Dengan demikian engkau menghias dirimu dengan emas dan perak, pakaianmu lenan halus dan sutera dan kain berwarna-warna; makananmu ialah tepung yang terbaik, madu dan minyak dan engkau menjadi sangat cantik, sehingga layak menjadi ratu. Dan namamu termasyhur di antara bangsa-bangsa karena kecantikanmu, sebab sangat sempurna adanya, oleh karena semarak perhiasan-Ku yang Kuberikan kepadamu."[36] Nabi Yesaya menyampaikan hal yang sama ketika ia berbicara tentang pernikahan Allah dengan umat manusia yang dirayakan dalam jaman Mesias.[37]
Hal ini jelas bahwa kedua nabi ini memperlihatkan keindahan batiniah dan bukan yang lahiriah; Allah tertarik hanya pada keindahan rohani. Paulus mengambil alih pemikiran Yehezkiel dan Yesaya, dengan menyatakan secara jelas, bahwa Kristus mengasihi Gereja-Nya dan memberikan diri-Nya untuk membuatnya kudus. Kekudusan batiniah yang diterima Gereja dari Mempelai laki-lakinya adalah kekudusan sang Mempelai sendiri.
[1] Lih. Ef 5:25.
[2] Lih. Ef 4:1-5:20.
[3] Lih. 4:1-16
[4] Lih. Ef 4:16-5:20.
[5] Lih. Ef 5:21-6:9.
[6] Ef 5:21.
[7] Lih. Ef 5:22-31.
[8] Lih. Ef 6:1-4.
[9] Lih. Ef 6:5-9.
[10] Kol 3:18.
[11] Ef 5:22-23.
[12] Pius XII, Mystici Corporis, 59.
[13] Ef 5:25-27.
[14] Lih. Ef 5:29.
[15] Kej 2:24.
[16] Ef 5:29, 33.
[17] Ef 5:32.
[18] Gal 4:26; lih. Why 12:17.
[19] Lih. St. Leo Agung, Sermons, LXVIII, 6.
[20] Lumen Gentium, 64.
[21] Lih. Rom 5:15-21; 1 Kor 15:22, 45.
[22] Methodius of Olympia, On Virginity, 8-10.
[23] St. Cyprian, On the Unity of the Catholic Church, 6-7.
[24] Lih. Hos 2:21.
[25] Lih. Yes 54:5; Yeh 16:8; Zak 8:2.
[26] Lih. Mat 25:1-12.
[27] Yoh 3:29.
[28] Lih. Luk 18:12.
[29] Lih. Luk 5:33
[30] Mat 9:15; lih. Mrk 2:19-20; Luk 5:34-35.
[31] St. Thomas Aquinas, III,q.30,a.1.c.
[32] Pius XII, Mystici Corporis, 110.
[33] Pius XII menyatakan bahwa istilah “Gereja” harus dimengerti dalam arti seluas mungkin: “Karena Gereja, Mempelai Kristus, adalah satu; namun juga begitu luas kasih dari pasangan ilahi terhadap mempelainya sehingga mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali. Penyelamat kita menumpahkan darah-Nya yang berharga supaya Dia dapat mendamaikan manusia dengan Allah melalui salib, dan dapat mendesak mereka untuk bersatu dalam satu Tubuh” (Mystici Corporis, 96)
[34] Why 21:9-10.
[35] Why 21:2; lih. 19:7-8; 22:17.
[36] Yeh 16:10-14.
[37] Lih. Yes 62:1-5.

Tidak ada komentar: