Selasa, 15 Juli 2008

Apa yang bisa kita buat untuk Indonesia?

(San Antonio, Agustus 2003)
Patriotisme dan semangat nasionalis menjadi istilah yang jarang terdengar sekarang di Indonesia. Sedangkan semangat kesukuan, otonomi daerah dan istilah “Putra Daerah” menjadi semakin didengung-dengungkan. Bermacam gerakan yang mendasarkan diri pada kelompok suku, agama dan kedaerahan muncul bagaikan jamur di musim hujan di mana-mana. Presiden Magawati mengingatkan bahaya perpecahan jika perbedaan yang ada semakin diperuncing. Akan berjalan ke manakah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta?
Mungkin kita bisa belajar dari Negara Amerika Serikat. Di samping banyak hal-hal negatif di negera ini, ada juga hal positif yang bisa kita hargai. Negara ini juga kurang lebih sama seperti kita, bangsa Indonesia, yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, mulai dari yang datang beberapa abad yang lalu sampai yang datang bulan lalu. Dengan cepat mereka menyebut dirinya African-american, Chinese-american, Mexican-american dan sebagainya … semua menjadi American dan memang dengan cepat pula mereka merasa diri sebagai bagian dari bangsa Amerika.
Jika kita berjalan-jalan di lingkungan, setiap hari kita akan melihat bendera-bendera dipasang di rumah-rumah pribadi dan juga di mobil-mobil atau paling tidak ada stiker bendera atau pita dengan tiga warna merah-putih-biru, warna bendera Stars and Stripes. Demikian juga di jalan-jalan utama kita akan menemukan poster atau tulisan “God bless America”. Mulanya saya mendapat kesan ada semacam kesombongan dari tulisan itu, tapi semakin saya mengenal Amerika, saya menyadari bahwa tulisan tersebut merupakan doa dan harapan. Setiap orang yang membacanya seakan-akan berdoa: semoga Tuhan memberkati Amerika. Di setiap gereja yang saya kunjungi, selalu terdapat bendera di salah satu sudut di dalam Gereja, sendirian atau bersama bendera Vatican. Singkat kata, kita bisa melihat bagaimana bangsa ini mencintai Negara dan bangsanya.
Pada tanggal 14 Juni setiap tahun merupakan Day Flag, yang bagi mereka menjadi kesempatan khusus untuk menghormati bendera dan menanamkan semangat kebangsaan. Tahun ini pada hari itu, sebuah perusahaan Catholic Life Insurance memasang sebuah bendara raksasa dengan ukuran 33.5 x 16.7 meter di gedung perusahaan mereka di San Antonio, Texas. Ukuran ini merupakan rekor nasional, menurut koran lokal.
Bendera merupakan simbol kemerdekaan dan kebebasan individu bagi mereka. Bahkan jika kebebasan itu digunakan untuk membakar bendera itu sendiri sebagai unjuk rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah hal ini masih bisa diterima. Sebaliknya suatu usaha untuk membuat undang-undang Flag Protection sudah empat kali dibatalkan oleh Senat. Dikatakan, cara yang pantas untuk menghormati bendera adalah dengan menolak rancangan undang-undang yang melarang pengunjuk rasa membakar bendera.
Mengalami situasi seperti ini di Amerika Serikat, saya berhayal dan berandai-andai. Mencermati apa yang berkembang sekarang ini di Tanah Air, ketika rasa kesatuan sebagai satu Bangsa semakin memudar, ketika bahaya perpecahan mengancam, maka alangkah baiknya jika kita memulai suatu gerakan cinta Bangsa dan Tanah Air. Hayalan saya adalah bahwa gerakan ini merupakan suatu kebiasaan baru untuk menumbuhkan kembali rasa kebangsaan kita. Saya berhayal seandainya hal ini bisa dimulai dari Gereja kita, dari paroki-paroki dan kemudian menularkannya ke mana-mana; suatu gerakan seperti yang dicanangkan di Keuskupan Banjarmasin oleh Mgr. FX. Prajasuta MSF dengan gerakan Budaya Kasih. Tapi saya rasa hal ini tidak cukup jika hanya dicanangkan di Gereja, didoakan dan dinyanyikan dalam setiap kesempatan di lingkungan kita sendiri. Kita perlu sesuatu yang memasyarakat secara luas.
Saya membayangkan gerakan itu sebagai suatu kebiasaan sederhana, seperti yang saya amati di sini, yaitu kebiasaan memasang bendera di kendaraan, seperti yang kita lakukan umumnya kalau kita merayakan HUT Proklamasi, tapi kali ini dilakukan sepanjang tahun. Di Palangkaraya saya mengenal Bapak Goris yang melakukan ini di vespanya. Kalau hal ini menjadi kebiasaan kita, paling tidak pada awalnya kita akan saling mengenal sebagai umat katolik, jika kita berpapasan di jalan dengan bendera di kendaraan kita. Saya berharap seandainya kebiasaan ini kemudian menular ke siapa saja yang melihatnya dan mengikutinya, apalagi jika didukung oleh pasar yang menjual bendera dan tongkat mini yang bisa di pasang pada jendela di bagian luar mobil atau di sepeda motor. Lalu khayalan saya hal ini akan menjadi budaya …semakin banyak orang menghargai bendera merah putih yang dengan sendirinya menjadi tanda cinta Bangsa dan Negara. Bendera merah putih dapat sungguh menjadi identitas kita.
Ada ungkapan: semakin saya mengenal manusia, semakin saya mencintai anjing saya. Ungkapan ini memang bernada sinis terhadap sikap dan tingkah laku manusia. Tapi dengan hayalan saya di atas saya mau mengungkapkan: semakin saya mengenal bangsa-bangsa, semakin saya mencintai Indonesia. Dengan ungkapan ini saya mau menunjukkan rasa bangga saya sebagai bangsa Indonesia sekaligus rasa optimis dan harapan saya bahwa bangsa dan negara kita dapat semakin baik dan berkembang.
Ketika saya masih bertugas di Madagascar pada tahun 1996, saya menempuh tiga hari perjalanan ke Tananarivo untuk mengikuti perayaan 17 Agustus di KBRI. Itulah ungkapan cinta saya terhadap Bangsa dan Negara Indonesia. Tetapi sesudah bermacam-macam gejolak terjadi di Tanah Air pada tahun 1999 saya berkesempatan berziarah ke Tanah Suci dan waktu itu kami bertemu dengan satu kelompok dari Negara lain, salah seorang dari mereka menanyakan: Kalian dari mana? Dengan rasa malu dan rendah diri saya menjawab: dari Indonesia. Tapi ini fakta. Baik buruknya Indonesia, itu adalah kita! Kita yang menentukannya. Kita bisa menghancurkannya tapi kita juga bisa membuatnya menjadi Negara yang dapat dibanggakan. Mari kita mulai, entah dengan cara bagaimana. Hayalan saya adalah suatu gerakan yang menjadi kebiasaan, suatu budaya yang memasyarakat luas.
Menurut ajaran Gereja, iman yang hidup harus membudaya, artinya iman terwujud dalam bentuk suatu gaya hidup dan kebiasaan yang diwarnai oleh nilai-nilai agama (injili). Suatu gerakan cinta Tanah Air juga merupakan bagian dari perwujudan iman kita. Karena tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan rasa kesatuan, yang akhirnya akan menciptakan kedamaian yang menjadi syarat mutlak untuk perkembangan menuju kebaikan dan kesejahteraan bersama. Kalau kita tidak memulai, siapa lagi yang kita harapkan? Kita tidak akan membiarkan keadaan menjadi semakin buruk. Kita ikut bertanggungjawab terhadap Bangsa dan Negara, juga jika kita tidak berbuat apa-apa. Maka sebelum terlambat mari kita melakukan sesuatu … sesuatu yang sederhana. Berhasil atau tidak, biarkan Roh yang berkarya. Kita melakukan apa yang dapat kita lakukan, selanjutnya Tuhan akan menyelesaikannya. Seandainya ada lagi bentuk lain yang dapat disumbangkan untuk memperkaya gerakan ini?

Iman dan Budaya (Masalah Inkulturasi)

Sudah semenjak jamannya Mgr. Soegijapranata dan bapak I.J. Kasimo disadari perlunya menjadi 100% katolik dan 100% Indonesia, suatu ungkapan untuk menghayati iman katolik di dalam dan sesuai dengan budaya kita Indonesia. Tetapi karena Indonesia itu begitu kaya dan luas, demikian juga budayanya, maka kalau kita berbicara tentang budaya dalam arti konkrit adalah budaya kita, entah itu di Jawa atau di Kalimantan atau di mana saja di Indonesia.
Budaya adalah kenyataan hidup, sesuatu yang dinamis sebab budaya merupakan cara hidup kita (ways of life of living human persons). Budaya diwariskan, bukan secara genetic, melainkan melalui proses belajar dan meniru. Budaya tidak pernah “jadi” tetapi selalu “menjadi”, berproses dan sambil menyerap unsur-unsur baru dari kehidupan. Demikian juga inkulturasi iman selalu berproses dalam kenyataan hidup kita dan tidak pernah sampai pada akhirnya. Inkulturasi adalah suatu relasi dinamis antara pesan injili dengan budaya tertentu; suatu proses masuknya hidup Kristen ke dalam budaya; suatu proses berlanjut dengan saling menerima dan memberi, dengan penyesuaian dan saling terlibat secara kritis.
Perlunya kesadaran berinkulturasi.
Beberapa kali terjadi dalam hidup kita sebagai umat katolik, misalnya yang terjadi di Palangkaraya dan juga di tempat lain, ketika kita menghadapi situasi genting, situasi konflik, lalu tampaklah aslinya kita. Iman katolik bagaikan hanya di kulit, seperti pakaian yang bisa ditanggalkan sementara dan kembali ke “pakaian lama” yang dianggap dan dipercaya lebih efektif, lebih sakti, untuk menghadapi situasi genting tersebut. Jika semuanya sudah berlalu, kita kembali mengenakan pakaian katolik kita. Bukankah iman kita hanya sebatas kulit dan belum sungguh-sungguh masuk sampai ke tulang sum-sum? Karena itu saya ingin mengajak semua untuk menyadari betapa pentingnya proses inkulturasi ini, agar kita bisa menghayati iman kita dengan benar dan penuh suka cita. Proses inkulturasi bukan tugas Uskup dan para pastor, bukan juga tugas para ahli, melainkan tugas semua umat katolik. Karena proses inkulturas harus dimulai dari bawah, bukan didiktekan dari atas, maka peran para katekis di stasi-stasi menjadi sangat penting. Para katekis dianggap sebagai orang yang lebih dalam pengetahuannya mengenai iman katolik di kalangan umat dan sekaligus mereka adalah bagian dari umat itu sendiri yang menghayati dan hidup dalam budaya setempat.
Beberapa penjelasan tentang proses inculturasi.
Proses inkulturasi mengalami beberapa tahap. Pertama, tahap translation, yaitu tahap belajar Bahasa dan nilai-nilai budaya setempat sementara juga injil diterjemahkan ke dalam Bahasa setempat. Tahap ini adalah tahap saling mengenal dan memahami. Tahap kedua adalah tahap transformation. Sesudah mencapai taraf tertentu untuk memahami berbagai unsur dalam budaya lokal dan juga dalam menyampaikan pesan-pesan injil, maka dimulailah suatu proses yang panjang yang ditandai dengan discernment, purifikasi dan penemuan bentuk baru untuk mengungkapkan unsur-unsur dari tradisi Gereja. Tahap ketiga adalah tahap terbentuknya suatu komunio yang baru, yaitu kesatuan gereja local dengan budaya dan umat, dan pada saat yang sama, kesatuan ini terbuka untuk semua atau dengan kata lain: ia bersifat universal juga. Paus Johanes Paulus 2 memberi dua kriteria dasar untuk proses inkulturasi ini, yakni: selaras dengan Injil dan kesatuan dengan gereja universal.
Apa yang terjadi dalam proses inkulturasi.
Proses inkulturasi dapat disamakan dengan proses masuknya seorang anak ke dalam budaya orang-tuanya. Pertama, Anak bertumbuh di dalam budaya. Ia menjalani proses belajar sampai seorang anak mampu hidup di dalam budayanya. Bagi gereja, tahap ini adalah waktu untuk menjalin ikatan dengan umat dan pada saat yang sama menghayati nilai-nilai kekatolikannya. Kedua, proses berlanjut ketika anak semakin mampu memahami setiap situasi dalam kehidupannya kemudian dan semakin mampu juga menyesuaikan cara hidup dan cara berfikirnya. Proses ini berlangsung seumur hidupnya dengan penyesuaian dan penemuan baru yang tidak pernah bisa dikatakan selesai. Suatu budaya adalah kenyataan hidup dan selalu dalam proses berubah. Katiga, ketika seorang anak sudah menjadi matang, ia sudah menguasi pola dasar dan nilai-nilai budayanya. Sekarang ia mampu untuk menghadapi bentuk dan aturan baru yang muncul dalam dirinya sebagai hasil dari kesadarannya yang berkembang dan kebebasanya yang makin besar. Ia sudah mempelajari bagaimana berfungsi di dalam budayanya dan sekarang ia dapat menghadapi situasi baru dengan hati dan pikiran yang lebih mandiri.
Richard G. Cote OMI, membandingkan proses inkulturasi seperti apa yang terjadi dalam sebuah pernikahan. Pertama, masa romantis, ketika laki-laki dan perempuan baru bertemu dan saling menerima. Mereka dikuasi oleh cinta yang membara dan sukacita. Pada tahap ini dalam proses inkulturasi, gereja mengesampingkan semua ketakutan akan ambiguitas dan sinkretisme, namun tetap menjaga ketat nilai-nilai moral dan ajaran dogma. Selanjutnya kedua pribadi masuk dalam perkawinan, keduanya saling memberi dan menerima dan secara publik mereka menyatakan harapan akan masa depan mereka bersama. Dalam proses inkulturasi, hal ini tiba saat iman dan budaya menyadari bahwa mereka sudah ada ikatan relasi yang dialami di dalam kebersamaan, saling memberi dan menerima; ditandai dengan tanggungjawab dan pengorbanan. Dan semuanya itu dijalani demi satu harapan akan masa depan yang lebih baik. Mereka akan menemukan satu terhadap yang lain itu sebagai pribadi yang unik dan sederajat. Hakekat dari misi tidak lagi disamakan dengan penyebaran agama melainkan kemampuan utk melihat tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam budaya dengan tuntunan Roh Kudus. Gereja akan lebih kreatif menghargai “hubungan sacramental” antara liturginya dengan kehidupan budaya. Ketiga adalah tahap ketika perkawinan sungguh-sungguh menjadi sakramen bagi gereja dan Gereja sendiri menjadi sakramen begi dunia. Perkawinan menampakan hubungan Kristus dengan Gerejanya dan Gereja memperlihatkan rahmat Allah yang berkarya di dunia.
Apa yang dapat kita lakukan?
Iman yang hidup adalah iman yang membudaya. Karena hidup kita adalah budaya kita. Tantangan bagi kita umat katolik adalah bagaimana membuat hidup ini sungguh-sungguh berciri katolik, bukan hanya segi lahiriah tetapi sesuatu yang lahiriah sebagai ungkapan yang batiniah, iman dan kepercayaan kita.
Salah satu contoh, kita bisa belajar dari saudara-saudara kita kaum Muslim dalam hal menggunakan kata: Bissmillah. Hal ini sudah menjadi budaya mereka, setiap kali mereka mau memulai sesuatu, seperti naik ke bus, menstater mobil dan lain sebagainya. Kita juga mempunyai bissmillah yaitu dengan tanda salib. Tapi masih banyak orang katolik yang malu atau segan atau malah takut membuat tanda salib di tempat umum. Kalau mereka makan di restoran, mereka membuat tanda salib di bawah meja, atau tanda salib sekecil 2 cm di dada.
Tantangan bagi para katekis di stasi-stasi atau di pedalaman, seperti di Keuskupan Palangkaraya, adalah bagaimana mereka bisa mencari bentuk penghayatan iman katolik dalam dituasi dan budaya mereka sehingga “kegiatan katolik” bukan hanya waktu misa atau waktu kumpul rosario saja. Misalnya, hiasan di rumah, selain salib dan gambar santo-santa: di beberapa tempat lain, orang katolik menempatkan patung Bunda Maria di halaman rumah; kebiasan doa bersama dalam keluarga. Bagaimana mengungkapkan iman kita dalam situasi atau kesempatan-kesempatan tertentu: membuka ladang, panen, mendirikan rumah dll. Di salah satu keuskupan di Madagaskar, mereka mempunyai suatu pesta panen yang sudah menjadi katolik. Dalam perayaan itu mereka membawa hasil panen mereka untuk dipersembahakan dalam perayaan ekaristi. Sesudah Ekaristi mereka berpesta dengan nyanyian dan tari-tarian. Hasil panen tersebut kemudian diberikan kepada katekis dan sebagian dibawa pulang pastor untuk kegiatan pertemuan/pembinaan rutin bagi para katekis. Mereka mengenal full-timer katekis, yang disebut visiteur, yang tidak bekerja di ladang tetapi berkeliling mengajar, mempersiapkan penerimaan sakramen perkawinan dan komuni pertama dan membina katekis lokal; dan mereka digaji oleh keuskupan dengan sangat terbatas, sehingga umat mendukung hidup katekis dengan membawa hasil panen setahun sekali.
Sekali lagi saya menekankan pentingnya peran para katekis dalam usaha inkulturasi ini. Mereka harus jeli mengamati (melihat dan mendengar) budaya setempat, menghargai nilai-nilai yang mau diungkapkannya dan menyelaraskannya dengan penghayatan iman katolik. Dengan bekerja sama dengan pastor paroki, kemudian mereka dapat membicarakannya bersama sesama katekis di satu dekenat yang sewarna, lalu dalam pertemuan keuskupan apa yang mereka temukan sebagai pengalaman dapat dibagikan, untuk dicermati, dievaluasi dan diteguhkan.

The Method and Process of Inculturation

Cultures are living realities because they are the ways of life of living human persons. They are inherited but never fixed, ever in motion and experiencing new infusions of life. So, too, is the process of inculturation of faith within a given way of life. That is why it is so necessary that appropriate care be given to nourishing the life of faith within one’s culture.[1]
The relation between the Church and Cultures has developed in many ways in many countries along the history of the Church. Gerald A. Arbuckle, SM divided the Church’s interaction with the Culture in two periods:[2]
- Evangelization and Cultures to Vatican II: from flexibility to in flexibility
- Evangelization and Cultures since Vatican II: ‘inculturation’ re-emerges
In the late nineteenth century, there were efforts to replace the European-centred cultural and individual/soul-oriented model of missionary action. People were now encouraged to reflect on human nature and society as a way of discovering key insights about life and culture, even about the divine nature itself. During this period, the terms ‘adaptation’, ‘accommodation’ and ‘indigenization’ became familiar in missionary writings, together with vigorous written support for the rights of people to maintain their own cultures.
Vatican II gave the foundation for inculturation, even though the term itself emerged in 1970s. Vatican II said that the object of evangelization is the whole person, soul and body.[3] Salvation is not a matter of individual but of community. ‘Evangelizers must raise up congregations of the faithful’ who ‘everyday must become increasingly aware and alive as communities of faith, liturgy and love’,[4] and the oneness of the Catholic Church is understood not as a uniformity but as a fraternity of local churches ‘each of which seeks to give life to universal Church, in accordance with the native genius and traditions of its members’[5]; because God has been active in every culture and there must be ‘a living exchange between the Church and the diverse cultures of people’.[6]
So what is inculturation? It is the dynamic relation between the Christian message and culture or cultures; an insertion of Christian life into a culture; an ongoing process of reciprocal and critical interaction and assimilation between them.[7]
How is the process happening? There are three moments that Arij Roest Crollius mentioned in his 1991 working paper: What is new about Inculturation that can be characterized: as translation, assimilation and transformation. “The entire process of inculturation is one of integration, both in the sense of an integration of the Christian faith and life in a given culture and of the integration of a new expression of the Christian experience in the life of the universal Church.[8] In another paper of “Inculturation,” Following Christ in Mission (1996) Arij Roest gave a little difference of the three stages of inculturation process. The first stage is the translation, a period of learning the values of the new culture; the second stage is the stage of transformation, after having gained sufficient ability in understanding the various elements of the local culture and also a degree of competence in expressing the Christian message on various levels of this culture. This second stage is signified by a long process of discernment, purification and creation of new forms to adequately explain and express elements of the Church’s tradition. The third stage begins with the establishment of a new communion, the communion of the local church with the culture of its people and at the same time this communion opens itself to all humanity.[9] Pope John Paul II gives two basic criteria for inculturation. Inculturation must be “compatible with the Gospel and communion with the universal church.”[10]
What happened in a process of inculturation? Arij Roest makes an analogy between Inculturation and Enculturation. They are different but they have also some similitude. Enculturation is a process of an individual becomes inserted into his own culture. The difference is the individual does not yet have a culture. In inculturation, the Church has already linked with elements of another culture(s). But several points of resemblance in both concepts can help us to see the process of inculturation.
The growth into one’s culture. This is the learning process which a person achieves competence in his culture. For the Church, it is a time for seeking to establish with the people and at the same time to live in virtue of their catholicity.
An ongoing process. A more comprehension of every situation in later life and makes adjustments in ways of thinking and acting. The process continues throughout life with exploration and assimilation that never be said to have reached its fulfillment. A culture is a living reality, in a continuous process of change. The changes that take place in the local culture, in its customs and values, represent new choices for the Church.
Cultural stability and change. In this stage, a man has become accustomed to the basic patterns and values of his own culture. He grows to maturity and now he can confront the new norms and forms of culture that present themselves to him with an increased degree of reflection and a greater freedom of choice. Because he has learned how to function within his culture, he can meet these new situations with a more independent mind.[11]
Richard G. Cote, O.M.I.[12] compares metaphorically the process of Inculturation with what happened in a marriage. Quoting St. Thomas Aquinas, he writes “theology ought to be expressed in a manner that is metaphorical, that is, symbolic or parabolic.”[13] Along with a journey of a marriage He gives the three-phase structure of inculturation that happened in the Catholic Church of America:
The phase of courtship and acceptability. This is the romantic phase when the two individuals accept one another with passionate love and joy. In this phase of the inculturation process, the Church must put aside the fear of ambiguity and syncretism, as well as its insistence on excessive purity in both moral and doctrinal matters.
The phase of Ratification. When two individuals publicly make a public statement about their hope in a future together. In the process of inculturation, this coming together of faith and culture in wedded hope in companionship, helpfulness and obligingness. They will come to discover one another as unique subjects, equal in dignity and equally transcendent. The missionary essence of the church is not to liken faith with religious expediency but to be able to read the signs of God’s Kingdom in its local cultural environment, by the guidance of the Holy Spirit. The Church can be more creative in appreciating the “sacramental connection” between its own liturgy and the cultural life of a given society, between its own symbol system and the mobilizing symbols that gave rise to Culture.
The Phase of Establishment. In this phase the nuptial metaphor suggests marriage as the “sacrament of the church” and the church can be called the “sacrament of the world”. The Church shows the world that God’s grace already operative within it.
In his speech in Hong Kong, Cardinal Ratzinger said, “we should no longer speak of inculturation but of the meeting of cultures or ‘interculturality,’ to coin to a new phase.”[14] If cultures are opened to each other in dialogue, they can be mutually enriched. This “can be only the shared truth about man, which necessarily brings into play the truth about God and reality as a whole.”[15] In and through the dialogue, the diversity of cultures reveals itself as a synthesis of inalienable originality and communicable universality.[16] The activity of dialogue is expressed in many ways. The document Dialogue and Proclamation sums up the principal forms of dialogue.[17]
Bibliography


Arbuckle, Gerald A., Earthing the Gospel, An Inculturation Handbook for Pastoral Worker. Maryknoll, Orbis Books, 1990.

Azevedo, Marcello de Carvalho S.J., Inculturation and the Challenges of Modernity. Rome, Pontifical Gregoriana University, 1982.

Costa, Ruy O. (Ed), One Faith, Many Culture. Inculturation, Indigenization, and Contextualization. Maryknoll, Orbis Books, 1988.

Cote, Richard G. O.M.I., Re-Visioning Mission, The Catholic Church and Culture in Postmodern America. New York, Paulist Press, 1996.

Flannery, Austin O.P. (Ed), “Liturgy” in Vatican Council II. Collegeville, The Liturgical Press, 1987.

Flannery, Austin O.P. (Ed), “Missionary Activity” in Idem.

Flannery, Austin O.P. (Ed), “The Church in the Modern World” in Idem.

John Paul II, Redemptoris Missio, Desember 7, 1990

Karotemprel, S. (Chief Ed.), Following Christ in Mission. Boston, Daughters of St. Paul, 1996.

Ratzinger, Cardinal, “Christ, Faith and the Challenge of Cultures” in Origin, March 30, 1995. p. 679-686.

Roest Crollius, Arij A., (Ed), Building the Church in Pluricultural Asia. Rome, Pontifical Gregoriana University, 1986.

Roest Crollius, Arij A. S.J. and Nkeramihigo, T. S.J., What is so new about Inculturation. Rome, Pontifical Gregoriana University, 1991.

Yuhaus, Cassian, O.P. (Ed), The Catholic Church and American Culture. Mahwah, Paulist Press, 1990.




[1] Donald S. Nesti, C.S.Sp., “Preface” in Cassian Yuhaus, C.P. (Ed), The Catholic Church and American Culture (New York, Paulist Press, 1990) p.viii-ix.
[2] Gerald A. Arbuckle, S.M., Earthing The Gospel (New York, Orbis Books, 1990), p. 9-22.

[3] See “The Church in the Modern World” in Autin Flannery, O.P. (Ed), Vatican Council II (Collegeville, The Liturgical Press, 1992) p. 914.
[4] See “Missionary Activity” ibid, p. 829.
[5] See “Sacred Liturgy” ibid, p. 13-15.
[6] See “The Church in the Modern World” ibid, p. 962-963.
[7] Marcello de Carvalho Azevedo, S.J., Inculturation and the Challenges of Modernity (Roma, Centre “Cultures and Religions” – Pontifical Gregorian University, 1982), p. 11.
[8] Arij Roest Crollius, S.J. “What is so new about Inculturation” (Roma, Centre “Cultures and Religion” – Pontifical Gregorian University, 1991), p. 14.
[9] Arij Roest Crollius, S.J. “Inculturation” in Following Christ in Mission (Boston, Daughters of St. Paul, 1996) p. 152-153.
[10] Redemptoris Missio, 54
[11] Arij Roest Crollius, S.J., “What is so new about Inculturation” – p. 7-13.
[12] Richard G. Cote, Re-Visioning Mission, The Catholic Church and Culture in Postmodern America (New York, Paulist Press, 1996) p. 53-67.
[13] Idem, p. 53. In I Sent. Prol., q.I, a.v.
[14] Cardinal Ratzinger, “Christ, Faith and the Challenge of Cultures” (in Origins, March 30, 1995) p. 681 col. 1.
[15] Idem, p. 681 col. 3.
[16] Arij Roest Crollius, S.J., “Inculturation and the Meaning of Culture” (in What is so new about Inculturation) p. 50.
[17] Marcello Zago, O.M.I., “Interreligious Dialogue” (in Following Christ in Mission), p. 142.