Selasa, 15 Juli 2008

Iman dan Budaya (Masalah Inkulturasi)

Sudah semenjak jamannya Mgr. Soegijapranata dan bapak I.J. Kasimo disadari perlunya menjadi 100% katolik dan 100% Indonesia, suatu ungkapan untuk menghayati iman katolik di dalam dan sesuai dengan budaya kita Indonesia. Tetapi karena Indonesia itu begitu kaya dan luas, demikian juga budayanya, maka kalau kita berbicara tentang budaya dalam arti konkrit adalah budaya kita, entah itu di Jawa atau di Kalimantan atau di mana saja di Indonesia.
Budaya adalah kenyataan hidup, sesuatu yang dinamis sebab budaya merupakan cara hidup kita (ways of life of living human persons). Budaya diwariskan, bukan secara genetic, melainkan melalui proses belajar dan meniru. Budaya tidak pernah “jadi” tetapi selalu “menjadi”, berproses dan sambil menyerap unsur-unsur baru dari kehidupan. Demikian juga inkulturasi iman selalu berproses dalam kenyataan hidup kita dan tidak pernah sampai pada akhirnya. Inkulturasi adalah suatu relasi dinamis antara pesan injili dengan budaya tertentu; suatu proses masuknya hidup Kristen ke dalam budaya; suatu proses berlanjut dengan saling menerima dan memberi, dengan penyesuaian dan saling terlibat secara kritis.
Perlunya kesadaran berinkulturasi.
Beberapa kali terjadi dalam hidup kita sebagai umat katolik, misalnya yang terjadi di Palangkaraya dan juga di tempat lain, ketika kita menghadapi situasi genting, situasi konflik, lalu tampaklah aslinya kita. Iman katolik bagaikan hanya di kulit, seperti pakaian yang bisa ditanggalkan sementara dan kembali ke “pakaian lama” yang dianggap dan dipercaya lebih efektif, lebih sakti, untuk menghadapi situasi genting tersebut. Jika semuanya sudah berlalu, kita kembali mengenakan pakaian katolik kita. Bukankah iman kita hanya sebatas kulit dan belum sungguh-sungguh masuk sampai ke tulang sum-sum? Karena itu saya ingin mengajak semua untuk menyadari betapa pentingnya proses inkulturasi ini, agar kita bisa menghayati iman kita dengan benar dan penuh suka cita. Proses inkulturasi bukan tugas Uskup dan para pastor, bukan juga tugas para ahli, melainkan tugas semua umat katolik. Karena proses inkulturas harus dimulai dari bawah, bukan didiktekan dari atas, maka peran para katekis di stasi-stasi menjadi sangat penting. Para katekis dianggap sebagai orang yang lebih dalam pengetahuannya mengenai iman katolik di kalangan umat dan sekaligus mereka adalah bagian dari umat itu sendiri yang menghayati dan hidup dalam budaya setempat.
Beberapa penjelasan tentang proses inculturasi.
Proses inkulturasi mengalami beberapa tahap. Pertama, tahap translation, yaitu tahap belajar Bahasa dan nilai-nilai budaya setempat sementara juga injil diterjemahkan ke dalam Bahasa setempat. Tahap ini adalah tahap saling mengenal dan memahami. Tahap kedua adalah tahap transformation. Sesudah mencapai taraf tertentu untuk memahami berbagai unsur dalam budaya lokal dan juga dalam menyampaikan pesan-pesan injil, maka dimulailah suatu proses yang panjang yang ditandai dengan discernment, purifikasi dan penemuan bentuk baru untuk mengungkapkan unsur-unsur dari tradisi Gereja. Tahap ketiga adalah tahap terbentuknya suatu komunio yang baru, yaitu kesatuan gereja local dengan budaya dan umat, dan pada saat yang sama, kesatuan ini terbuka untuk semua atau dengan kata lain: ia bersifat universal juga. Paus Johanes Paulus 2 memberi dua kriteria dasar untuk proses inkulturasi ini, yakni: selaras dengan Injil dan kesatuan dengan gereja universal.
Apa yang terjadi dalam proses inkulturasi.
Proses inkulturasi dapat disamakan dengan proses masuknya seorang anak ke dalam budaya orang-tuanya. Pertama, Anak bertumbuh di dalam budaya. Ia menjalani proses belajar sampai seorang anak mampu hidup di dalam budayanya. Bagi gereja, tahap ini adalah waktu untuk menjalin ikatan dengan umat dan pada saat yang sama menghayati nilai-nilai kekatolikannya. Kedua, proses berlanjut ketika anak semakin mampu memahami setiap situasi dalam kehidupannya kemudian dan semakin mampu juga menyesuaikan cara hidup dan cara berfikirnya. Proses ini berlangsung seumur hidupnya dengan penyesuaian dan penemuan baru yang tidak pernah bisa dikatakan selesai. Suatu budaya adalah kenyataan hidup dan selalu dalam proses berubah. Katiga, ketika seorang anak sudah menjadi matang, ia sudah menguasi pola dasar dan nilai-nilai budayanya. Sekarang ia mampu untuk menghadapi bentuk dan aturan baru yang muncul dalam dirinya sebagai hasil dari kesadarannya yang berkembang dan kebebasanya yang makin besar. Ia sudah mempelajari bagaimana berfungsi di dalam budayanya dan sekarang ia dapat menghadapi situasi baru dengan hati dan pikiran yang lebih mandiri.
Richard G. Cote OMI, membandingkan proses inkulturasi seperti apa yang terjadi dalam sebuah pernikahan. Pertama, masa romantis, ketika laki-laki dan perempuan baru bertemu dan saling menerima. Mereka dikuasi oleh cinta yang membara dan sukacita. Pada tahap ini dalam proses inkulturasi, gereja mengesampingkan semua ketakutan akan ambiguitas dan sinkretisme, namun tetap menjaga ketat nilai-nilai moral dan ajaran dogma. Selanjutnya kedua pribadi masuk dalam perkawinan, keduanya saling memberi dan menerima dan secara publik mereka menyatakan harapan akan masa depan mereka bersama. Dalam proses inkulturasi, hal ini tiba saat iman dan budaya menyadari bahwa mereka sudah ada ikatan relasi yang dialami di dalam kebersamaan, saling memberi dan menerima; ditandai dengan tanggungjawab dan pengorbanan. Dan semuanya itu dijalani demi satu harapan akan masa depan yang lebih baik. Mereka akan menemukan satu terhadap yang lain itu sebagai pribadi yang unik dan sederajat. Hakekat dari misi tidak lagi disamakan dengan penyebaran agama melainkan kemampuan utk melihat tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam budaya dengan tuntunan Roh Kudus. Gereja akan lebih kreatif menghargai “hubungan sacramental” antara liturginya dengan kehidupan budaya. Ketiga adalah tahap ketika perkawinan sungguh-sungguh menjadi sakramen bagi gereja dan Gereja sendiri menjadi sakramen begi dunia. Perkawinan menampakan hubungan Kristus dengan Gerejanya dan Gereja memperlihatkan rahmat Allah yang berkarya di dunia.
Apa yang dapat kita lakukan?
Iman yang hidup adalah iman yang membudaya. Karena hidup kita adalah budaya kita. Tantangan bagi kita umat katolik adalah bagaimana membuat hidup ini sungguh-sungguh berciri katolik, bukan hanya segi lahiriah tetapi sesuatu yang lahiriah sebagai ungkapan yang batiniah, iman dan kepercayaan kita.
Salah satu contoh, kita bisa belajar dari saudara-saudara kita kaum Muslim dalam hal menggunakan kata: Bissmillah. Hal ini sudah menjadi budaya mereka, setiap kali mereka mau memulai sesuatu, seperti naik ke bus, menstater mobil dan lain sebagainya. Kita juga mempunyai bissmillah yaitu dengan tanda salib. Tapi masih banyak orang katolik yang malu atau segan atau malah takut membuat tanda salib di tempat umum. Kalau mereka makan di restoran, mereka membuat tanda salib di bawah meja, atau tanda salib sekecil 2 cm di dada.
Tantangan bagi para katekis di stasi-stasi atau di pedalaman, seperti di Keuskupan Palangkaraya, adalah bagaimana mereka bisa mencari bentuk penghayatan iman katolik dalam dituasi dan budaya mereka sehingga “kegiatan katolik” bukan hanya waktu misa atau waktu kumpul rosario saja. Misalnya, hiasan di rumah, selain salib dan gambar santo-santa: di beberapa tempat lain, orang katolik menempatkan patung Bunda Maria di halaman rumah; kebiasan doa bersama dalam keluarga. Bagaimana mengungkapkan iman kita dalam situasi atau kesempatan-kesempatan tertentu: membuka ladang, panen, mendirikan rumah dll. Di salah satu keuskupan di Madagaskar, mereka mempunyai suatu pesta panen yang sudah menjadi katolik. Dalam perayaan itu mereka membawa hasil panen mereka untuk dipersembahakan dalam perayaan ekaristi. Sesudah Ekaristi mereka berpesta dengan nyanyian dan tari-tarian. Hasil panen tersebut kemudian diberikan kepada katekis dan sebagian dibawa pulang pastor untuk kegiatan pertemuan/pembinaan rutin bagi para katekis. Mereka mengenal full-timer katekis, yang disebut visiteur, yang tidak bekerja di ladang tetapi berkeliling mengajar, mempersiapkan penerimaan sakramen perkawinan dan komuni pertama dan membina katekis lokal; dan mereka digaji oleh keuskupan dengan sangat terbatas, sehingga umat mendukung hidup katekis dengan membawa hasil panen setahun sekali.
Sekali lagi saya menekankan pentingnya peran para katekis dalam usaha inkulturasi ini. Mereka harus jeli mengamati (melihat dan mendengar) budaya setempat, menghargai nilai-nilai yang mau diungkapkannya dan menyelaraskannya dengan penghayatan iman katolik. Dengan bekerja sama dengan pastor paroki, kemudian mereka dapat membicarakannya bersama sesama katekis di satu dekenat yang sewarna, lalu dalam pertemuan keuskupan apa yang mereka temukan sebagai pengalaman dapat dibagikan, untuk dicermati, dievaluasi dan diteguhkan.

Tidak ada komentar: