Kamis, 25 Juni 2009

Kenangan dari ICCRS Event di Kkottongnae

Konvensi Internasional ICCRS, yang bertemakan “Love in Action” yang berlangsung dari tanggal 1-9 Juni di Kkottongnae, Eumsung-Gun, Chungbuk, Korea Selatan telah selesai. Saya pribadi merasa bersyukur dapat mengikuti pertemuan ini. Beberapa hal yang ingin saya bagikan kepada komunitas Pembaharuan Karismatik di Indonesia.
Tentang Kkottongnae: ternyata ini bukan hanya nama sebuah tempat. Kkottongnae (yang berarti “desa bunga”) adalah sebuah konggregasi religius yang menyebut dirinya sebagai “Konggregasi Kkottongnae Saudara-Saudari Yesus.” Anggota mereka sekarang lebih dari 300 orang, terdiri dari bruder, suster dan imam (baru ada 5). Mereka sudah membuka cabang di beberapa tempat. Di Korea sendiri terdapat 4 komunitas, beberapa di luar negeri termasuk Benglades, Angola dan beberapa komunitas di Amerika Serikat. Pendirinya adalah Romo Yohanes Oh yang mendapat inspirasi dari pribadi seorang pengemis Kakek Choi Gui-dong. Pada tahun 1976 Romo Oh bertemu dengan sang Pengemis ini dan kemudian ia menyaksikan bagaimana ia mengemis untuk memberi makan beberapa pengemis lainnya yang sekarat di bawah sebuah jembatan, yang tidak mampu lagi pergi mengemis. Pada waktu itu Romo Yohanes Oh menyadari “seandainya kamu punya kekuatan hanya untuk mengemis, itu pun rahmat Allah.” Dengan dana yang sangat terbatas dari sakunya sendiri, ia mulai membangun sebuah rumah sederhana untuk menampung para pengemis ini. Ia mengalami banyak tantangan dari pemerintah dan penduduk kota, karena dengan ini dikuatirkan Romo Oh akan mengundang semua pengemis dari seluruh Korea. Tapi banyak juga pihak yang memberi dukungan sehingga karya ini menjadi sebuah karya yang luar biasa, yang menampung orang-orang yang “dibuang” - mereka yang cacat, fisik dan mental, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Saya sendiri bersama teman-teman pada dua hari pertama mendapat kesempatan melayani, kerja bakti, di tempat penampungan orang-orang cacat mental. Dalam gedung bertingkat lima, terdapat lebih dari 500-an pasien. Setiap week-end atau hari libur, banyak orang terutama anak-anak muda datang sebagai tenaga sukarela membantu di komunitas ini. Romo Oh sendiri menyebut tempat mereka sebagai Sekolah Kasih, tempat orang belajar mengasih, dengan melayani mereka yang tidak berdaya. Mereka yang ikut dalam karya ini memberi kesaksian bagaimana mereka sendiri diperkaya dalam karya ini. Dengan memberi kita menerima, bahkan secara berkelimpahan.
Selama empat hari berikutnya adalah inti dari Konvensi. Banyak pembicara memberikan pengajaran, mulai dari Kardinal Albert Vanhoye seorang ahli Kitab Suci dari Pontifical Biblical Institute di Roma yang berbicara tentang “Allah adalah Kasih.” Beliau menunjukkan masalah klasik antara karisma dan kasih serta iman dan tindakan. Dalam hal ini karisma Kkottongnae sungguh asli sesuai dengan Injil dan menjadi contoh konkrit dalam pembicaraannya. Pembicara di hari berikutnya adalah Romo Robert Faricy SJ seorang teolog dari Amerika Serikat yang berbicara mengenai Ajaran Kristen tentang Roh Kudus. Salah satu point dikatakannya bahwa Roh Kudus itu dapat dibandingan dengan underwear, yang pagi hari dipakai tapi sepanjang hari dilupakan, tapi Ia selalu menyertai kita. Hari ketiga berbicara tentang Evangelisasi. Pembicara utama adalah Jim Murphy. Sharing yang menarik adalah ketika ia masih bekerja di sebuah restoran dan pada waktu itu ia tidak pernah berbicara tentang Kristus. Beberapa tahun kemudian, sesudah ia terlibat dalam pelayanan, dia bertemu kembali dengan salah satu teman kerjanya dulu, seorang perempuan yang sudah bertobat, yang dengan bangga mengatakan ia sudah menemukan Kristus tetapi kemudian menjadi kecewa ketika Jim mengatakan bahwa sejak dulu ia sudah menemukan-Nya: “Mengapa kamu tidak pernah berbicara tentang Dia? Mengapa kau biarkan aku ketika ..., mengapa ... mengapa?” Sharingnya ditutup dengan cerita tentang Pelican-man, bagaimana burung-burung pelican yang pernah mengalami pertolongan seorang pemancing membawa burung-burung yang terluka kepada si pemancing untuk disembuhkan.
Setiap sore kelompok besar dibagi dalam tiga kelompok work-shop: Healing, Charism dan Intercession. Pengajaran-pengajaran sangat memperkaya dan memberi inspirasi. Acara pokok ini ditutup dengan misa akbar, disebuah lapangan yang luas, yang menampung sekitar 50 ribu umat yang datang dari mana-mana dengan ratusan bus dan kendaraan pribadi.
Saya melihat iman yang hidup dari umat Katolik di Korea, suatu iman yang sederhana seperti yang digambarkan dalam diri seorang perempuan yang menderita pendarahan selama 12 tahun yang berkata dalam hatinya: “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh” (Mat 9:21). Peristiwa ini kita lihat ketika kita mengadakan prosesi dalam perayaan Ekaristi, umat berusaha menjamah kita para imam, bahkan banyak yang berjongkok hanya untuk dapat menjamah ujung jubah kita. Semoga terjadi menurut harapan dan keyakinan mereka.
Iman yang luar biasa ini juga dapat kita lihat dalam diri para martir mereka. Gereja Korea dengan bangga menyebut negerinya sebagai negeri seribu martir. Ternyata ini bukan hal yang dibesar-besarkan. Dua hari terakhir para peserta dibawa berziarah ke tempat suci para Martir. Hari kedua sebelum berakhir, kelompok di bagi dalam 5 kelompok untuk berziarah ke 5 keuskupan. Kelompok kami berkunjung ke keuskupan Suwon. Pertama kami mengunjungi Juksan dimana terdapat tempat Martir Keluarga, yang pada tahun 1817 dibunuh 108 orang Katolik, berupa keluarga-keluarga katolik, orang tua dan anak-anak, termasuk mertua dan menantu – yang menurut hukum pada waktu itu tidak diperbolehkan membunuh keluarga dengan mengikutisertakan keluarga besan. Tetapi terhadap orang Katolik, Raja mengatakan: “Buatlah sesuka hatimu.” Kemudian dilanjutkan ke Mirinae tempat Santo Andreas Kim Dae Gon dimakamkan. Ia adalah imam pertama Korea, yang belajar di Macau, ditahbiskan pada tanggal 17 Agustus 1845 dan menjadi martir dengan dipenggal kepalanya pada tanggal 16 September 1946 di Seoul. Seorang bapak bernama Vincentius kemudian membawa jenazahnya ke pegunungan Mirinae, tempat orang-orang Katolik menyembunyikan diri pada masa penganiayaan, untuk dimakamkan dengan pantas.
Pada hari terakhir kami menghadiri misa akbar di Chunjinam - Guangju, suatu tempat ziarah dimana dimakamkan 5 orang bapak awam Pendiri Gereja Katolik Korea. Memang suatu kasus yang langka dalam sejarah Gereja, di Korea iman dibawa secara spontan oleh orang Korea sendiri, kaum awam. Dimulai dari seorang cendekiawan atau “filsuf” yang mencari kebenaran, namanya: Yi Byok (1754-1785) bersama empat orang muridnya. Pencarian ini mendorong mereka berkontak dengan Peking, yang menurut pendengaran mereka bahwa ada beberapa orang Katolik telah mengalami pencerahan melalui iman yang baru. Mereka ini kemudian menyebarkan Injil di Korea selama 56 tahun dari tahun 1779 sampai tahun 1835 tanpa bantuan seorang imam pun selain kunjungan singkat dari 2 imam Cina. Mereka melakukan ini sampai kedatangan misionaris Perancis pada tahun 1836. Para awam ini mengorbankan hidup mereka demi iman mereka kepada Kristus. Karena mereka terutama mendapat tantangan dari lingkungan keluarga mereka sendiri.
Yang berkesan juga dalam seluruh kegiatan di Kkottongnae ini adalah kebersamaan. Kita datang dari 43 negara yang berbeda-beda tetapi kita merasa dekat satu sama lain. Di sini juga saya semakin disadari bahwa gerakan pembaharuan Kharismatik bukan hanya mewujud nyata dalam komunitas tertentu saja, melainkan sangat kaya dan bisa dalam berbagai bentuk, tetapi kita semua adalah Gereja yang satu-kudus-katolik dan apostolik.
Saya merasa beruntung selain dengan bahasa Inggris saya bisa berkomunikasi dengan bahasa Perancis. Tetapi yang menyedihkan: saya orang keturunan Cina namun tidak bisa berkomunikasi dengan peserta dari daratan Cina, karena mereka juga sulit berbahasa Inggris. Ya bagaimana lagi, orang Bangka bilang: thong-ngin mo sit thong fan (artinya: orang cina tidak makan nasi cina ... jadi tidak bisa berbahasa cina). Tapi sekurang-kurangnya kami bisa saling menyapa: saranghamnida! (I love you all) karena kami sudah makan nasi Korea. Puji Tuhan.

Banjarmasin, 18 Juni 2009
Rm. Al. Lioe Fut Khin, MSF

Senin, 18 Mei 2009

"Kita adalah satu Tubuh" - Bab 8-9

«Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil, sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus. Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut. Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik. Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil, tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara. Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita, karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus. Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku (Flp 1:12-20).»


8. “Kamu adalah Bait Allah.”[1]

Paulus menggunakan kiasan “bait” dan “bangunan” untuk menggambarkan kesatuan antara Kristus dan anggota-anggota dari Tubuh Mistik-Nya.
Mula-mula, tampaknya gambaran “bait” dan “bangunan” tidak begitu tepat untuk mengungkapkan sifat kedekatan dari kesatuan, sebab gambaran-gambaran ini menunjuk pada suatu tempat dimana para beriman “hadir” maka pengandaiannya dengan itu seakan-akan sesuatu yang ada di luar dan bukan di dalam. Sedangkan kenyataannya, dengan memberi gambaran itu mau diungkapkan kesatuan yang intim diantara mereka yang membentuk bait itu dengan Allah yang tinggal di dalamnya.
Paulus menulis dalam Surat Pertamanya kepada jemaat di Korintus: “Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. […] Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu.”[2] Dan lagi: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?”[3]
Dalam Surat yang Kedua kepada jemaat di Korintus, Paulus menegaskan: “Kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: ‘Aku akan diam bersama-sama dengan mereka .…’”[4]
St. Petrus menyatakan: “Datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, […] Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.”[5]
Ungkapan “bait Roh Kudus” adalah sama dengan yang disebut sebagai “bait rohani.” Seseorang tidak dapat sungguh-sungguh sebuah bait Roh, jika ia tidak disucikan dari dalam, melalui keikutsertaan dalam kekudusan dengan Dia yang tinggal di dalam kita. Kekudusan adalah satu-satunya jaminan kesatuan yang intim diantara Kristus dengan kita.
Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Efesus, ia sekali lagi memakai gambaran Gereja sebagai sebuah Bangunan Allah. Ia mengingatkan situasi jemaat Efesus dulu yang hina: “Bahwa dahulu kamu--sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ‘sunat’, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, -- bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.” Pada saat yang sama ia mengingatkan mereka juga tentang rencana penyelenggaraan ilahi yang baru. Melalui rahmat Penebusan, mereka dipanggil untuk menghayati kehidupan adikodrati, sama seperti dulu diberikan kepada umat Israel dengan hak-hak yang persis sama. “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, […] untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”[6]
Ajaran Konsili Vatikan kedua menggarisbawahi ide tentang Gereja sebagai “satu” Umat Allah: “Namun Allah bermaksud menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci. […] Kepala umat masehi itu Kristus […] Seperti Israel menurut daging, yang mengembara di padang gurun, sudah disebut Gereja (jemaat) Allah (lih. Neh. 13:1; Bil 20:4; Ul 23:1 dst), begitu pula Israel baru, yang berjalan dalam masa sekarang dan mencari kota yang tetap di masa mendatang (lih. Ibr 13:14), juga desebut Gereja Kristus (lih. Mat 16:18). Sebab Ia sendiri telah memperolehnya dengan darah-Nya (lih. Kis 2028), memenuhinya dengan Roh-Nya, dan melengkapinya dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial. Allah memanggil untuk berhimpun mereka, yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus, pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian. Ia membentuk mereka menjadi Gereja, supaya bagi semua dan setiap orang menjadi sakramen kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu.”[7]
Paulus menulis kepada jemaat di Efesus bahwa Kristus telah menyatukan seluruh umat manusia menjadi satu umat: “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.”[8]
Perlu dicatat di sini bahwa ungkapan “dalam Kristus Yesus,” dipakai 34 kali dalam Surat Efesus. Hanya dalam kesatuan dengan Kristus keseluruhan Bangunan, yakni Gereja, dapat berdiri sebagai satu bagunan yang kokoh, menemukan kesatuannya dan membentuk sebuah Bait Kudus di dalam Tuhan. Semua para beriman dimasukkan ke dalam Kristus, tanpa pembedaan Yahudi dan bukan Yahudi: semuanya bersama-sama menyumbang kepada tempat tinggal Allah di dalam Roh Kudus.

«Pejabat Agripa berkata:”Saya berkeyakinan bahwa Paulus harus dihukum pancung sebagai musuh agama.” Nero menjawab: “Kamu telah mengadili dengan benar” … Lalu Paulus diseret dengan rantai ke tempat pemancungannya, tiga mil jaraknya dari kota. … Mereka memenggal kepalanya, dekat pohon pinus, di pancuran Aquas Salvias (sekarang dikenal sebagai ‘Three Fountains’). … Jenazahnya dimakamkan di Via Otista, dua mil dari kota. … Rasul Petrus dan Paulus menemui ajalnya pada tanggal 29 Juni (Kisah Rasul Petrus dan Paulus yang berbahagia oleh Pseudo-Marcello, 79-80.87-88).»


9. “Kamu adalah Surat Kristus.”[9]

Paulus masing menggunakan satu kiasan lagi untuk menggambarkan Gereja – “sepucuk Surat dari Kristus.”
Dalam Surat kedua kepada jemaat di Korintus, dalam pembicaraan tentang pembelaan dirinya melawan tuduhan musuh-musuhnya bahwa ia sombong dan tinggi hati, sebab ia sepertinya memuji dirinya sendiri[10] dan telah bertindak terlalu keras,[11] menyatakan bahwa, berbeda dengan yang lain, Paulus tidak memerlukan “surat rekomendasi” bagi orang untuk menerimanya.[12] Ia menulis atas nama para diakon Febe kepada umat di Roma,[13] Timotius[14] dan Titus[15] kepada umat di Korintus dan Onesimus kepada Filemon,[16] tetapi tidak untuk dirinya sendiri.
Rasa berbangga diri dan kesombongannya berasal dari pekerjaannya dalam pelayanan kerasulannya: “Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah.”[17] Salah satu hasil dari pelayanannya adalah terbentuknya jemaat di Korintus. Karena alasan itu ia menulis: “Kamu adalah kebanggaanku dalam Yesus Kristus, saudara-saudara.”[18]
Dia bangga karena menjalankan kerasulannya tanpa upah, kerja dengan tangannya sendiri sehingga tidak menjadi beban bagi siapa pun, apalagi bagi mereka yang telah diwartakannya Injil.[19] Mengenai hal ini ia menulis kepada jemaat di Korintus: “kemegahanku itu tidak akan dirintangi oleh siapapun.”[20]
Alasan lain dari kemegahan Paulus adalah kelemahannya: “Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku,”[21] dan penderitaannya: “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”[22]
Untuk membuat dirinya dikenal sebagai rasul, ia cukup menunjukkan pertobatan orang-orang Korintus dan Gereja yang didirikannya. Mereka memberi kesaksian tentang siapa dia: “Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan kita? Bukankah kamu adalah buah pekerjaanku dalam Tuhan? Sekalipun bagi orang lain aku bukanlah rasul, tetapi bagi kamu aku adalah rasul. Sebab hidupmu dalam Tuhan adalah meterai dari kerasulanku.”[23]
Jika Paulus harus membutuhkan sebuah surat rekomendasi, Paulus memiliki surat yang tertera dalam hati dan yang sungguh hidup dengan Injil. Dia menulis kepada jemaat di Korintus: “Kamu adalah surat pujian kami!” Itu sungguh surat yang istimewa, sebab ditulis “dalam hati kami.” Meskipun surat yang demikian dapat disimpan di dalam hati yang terdalam dan di tempat yang tersembunyi dalam hati, namun ia “dikenal dan dapat dibaca oleh semua orang,” sebab Jemaat di Korintus “adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” Sekali lagi, surat ini tidak ditulis dari dirinya sendiri tetapi ditulis “dengan Roh Allah yang hidup.”[24] Paulus menekankan bahwa ia bertindak hanya sebagai juru tulis; surat itu bukan miliknya tetapi milik Kristus. Sebagai kesimpulan ia mengakui dengan rendah hati bahwa hanya oleh rahmat Allah ia mampu melaksanakan perannya sebagai alat yang sederhana dalam menulis surat yang Hidup, yakni, pemberitaan Injil kepada jemaat Korintus: “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah. Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.”[25]
Kesimpulan


Kami berharap bahwa pesan Paulus – “Demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain”[26] – dapat membuat para pembaca berhenti sejenak dan merenungkan seruannya.
Paus Pius XII menyerukan kerinduan yang sama, ketika ia menerbitkan Ensiklik Mystici Corporis. Penyelesaian seperti ini berguna juga bagi mereka yang bukan dari kalangan Gereja, sebab “sebelum bangsa-bangsa bangkit melawan bangsa-bangsa, […] dan pertikaian dengan benih-benih dengki dan kebencian ditaburkan dimana-mana, jika menoleh kepada Gereja dan merenungkan kesatuannya yang istimewa – yang menyatukan seluruh manusia dari berbagai bangsa di dalam Kristus dalam ikatan persaudaraan – mereka akan tergerak untuk mengagumi kebersamaan dalam kasih ini, dan dengan bimbingan dan bantuan rahmat mereka akan rindu untuk ambil bagian dalam kesatuan dan kasih yang sama.”[27]
Orang-orang Kristen pertama-tama harus ingat bahwa Kristus wafat “untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai,”[28] untuk memulihkan kesatuan yang pernah ada ketika umat manusia diciptakan,[29] dan membuat semua bangsa “satu kawanan dan satu gembala.”[30]
Mereka harus menyimpan dalam hati mereka seruan Paulus, Rasul bagi semua bangsa: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu, […] berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”[31] Hanya dengan cara ini orang-orang Kristen dapat “dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus.”[32]
Perpecahan diantara umat Kristen jaman ini “secara jelas bertentangan dengan kehendak Kristus, menjadi skandal bagi dunia, dan merusak alasan suci untuk mewartaan Injil kepada semua makhluk.”[33]
Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensikliknya Ut Unum Sint (25 Mei 1995), yang mengajak semua orang Kristen memperbaiki perpecahan di dalam agama-agama Kristen menyatakan: “Kesatuan dari semua kemanusiaan yang terpecah belah adalah kehendak Allah. Karena itu Ia mengutus Putra-Nya, supaya dengan wafat dan bangkit untuk kita Dia dapat mencurahkan bagi kita Roh Cinta kasih. Pada malam menjelang pengorbanan-Nya di salib, Yesus sendiri berdoa kepada Bapa bagi murid-murid-Nya dan bagi semua yang percaya kepada-Nya, bahwa semoga mereka bersatu, sebuah persekutuan yang hidup. Ini adalah dasar bukan saja merupakan kewajiban, tetapi juga tanggungjawab dihadapan Allah dan rencana-Nya, yang menjadi tanggungan semua yang melalui baptisan menjadi anggota dari Tubuh Kristus, sebuah Tubuh tempat kepenuhan dari rekonsiliasi dan persekutuan terjadi. Bagaimana mungkin kita tetap terpisah, jika kita telah ‘dikubur’ melalui Baptisan dalam kematian Tuhan, yang dalam tindakan Allah telah menghancurkan tembok –tembok pemisahan melalui kematian Putera-Nya?”[34]
Jika tubuh manusiawi adalah kiasan dari Gereja, maka Gereja pada gilirannya harus menjadi gambaran ideal dari seluruh bangsa manusia. Semua pengikut Kristus, dengan kesaksian mereka tentang persekutuan, harus menumbuhkan kekaguman yang sama untuk jaman ini bagi orang-orang lain, sama seperti pada awal mula jemaat Kristen: “Lihatlah, betapa mereka saling mengasihi, […] bagaimana mereka bersedia bahkan mati satu bagi yang lain!”[35]

Diterjemahkan oleh:
Al. Lioe Fut Khin, MSF
Untuk Suster-suster SPC
Banjarmasin, 4 Mei 2009

[1] 1 Kor 3:16.
[2] 1 Kor 3:9-13, 16-17.
[3] 1 Kor 6:19; bdk. 2 Kor 6:16; Ef 2:20-22.
[4] 2 Kor 6:16; bdk 1 Kor 3:16.
[5] 1 Ptr 2:4-5. Seneca juga membandingkan masyarakat dengan sebuah bangunan, untuk menekankan perlunya kesatuan diantara para anggotanya: “Hubungan kita satu dengan yang lain adalah seperti sebuah bangunan, yang akan runtuh jika batu-batunya tidak saling menunjang satu sama lain, dan yang berdiri hanya demi alasan ini” (Seneca, Moral Epistle to Lucilius, XCV,53)
[6] Ef 2:11-16.
[7] Lumen Gentium 9.
[8] Ef 2:19-22.
[9] 2 Kor 3:3.
[10] Lih. 1 Kor 2:6, 16; 7:8, 25, 40; 9:1-23; 11:1; 14:18; 15:10.
[11] Lih. 1 Kor 4:18-21; 2 Kor 10:1-2.
[12] Lih. 2 Kor 3:1.
[13] Lih. Rom 16:1.
[14] Lih. 1 Kor 16:10-11.
[15] Lih. 2 Kor 8:23-24.
[16] Lih. Flm 17.
[17] 2 Kor 1:12.
[18] 1 Kor 15:31.
[19] Lih. Kis 20:33-34; 1 Kor 4:12; 2 Kor 12:13-14; 1 Tes 2:9; 2 Tes 3:8.
[20] 2 Kor 11:10.
[21] 2 Kor 11:30.
[22] Gal 6:14.
[23] 1 Kor 9:1-2.
[24] 2 Kor 3:2-3.
[25] 2 Kor 3:5-6.
[26] Rom 12:5.
[27] Pius XII, Mystici Corporis, 5.
[28] Yoh 11:52.
[29] Lih. Kej 11:6.
[30] Yoh 10:16; bdk. Kej 10:32; 11:8.
[31] Ef 4:1-6.
[32] Rom 15:6.
[33] Unitatis Redintegratio, 1.
[34] Yohanes Paulus II, Ut Unum Sint, 6.
[35] Tertulianus, The Apology, 39.

"Kita adalah Satu Tubuh" - Bab 7

«"Hai saudara-saudara dan bapa-bapa, dengarkanlah, apa yang hendak kukatakan kepadamu sebagai pembelaan diri." Ketika orang banyak itu mendengar ia berbicara dalam bahasa Ibrani, makin tenanglah mereka. Ia berkata: "Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah sama seperti kamu semua pada waktu ini. Dan aku telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara. Tentang hal itu baik Imam Besar maupun Majelis Tua-Tua dapat memberi kesaksian. Dari mereka aku telah membawa surat-surat untuk saudara-saudara di Damsyik dan aku telah pergi ke sana untuk menangkap penganut-penganut Jalan Tuhan, yang terdapat juga di situ dan membawa mereka ke Yerusalem untuk dihukum. Tetapi dalam perjalananku ke sana, ketika aku sudah dekat Damsyik, yaitu waktu tengah hari, tiba-tiba memancarlah cahaya yang menyilaukan dari langit mengelilingi aku. Maka rebahlah aku ke tanah dan aku mendengar suatu suara yang berkata kepadaku: Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku? Jawabku: Siapakah Engkau, Tuhan? Kata-Nya: Akulah Yesus, orang Nazaret, yang kauaniaya itu. Dan mereka yang menyertai aku, memang melihat cahaya itu, tetapi suara Dia, yang berkata kepadaku, tidak mereka dengar. Maka kataku: Tuhan, apakah yang harus kuperbuat? Kata Tuhan kepadaku: Bangkitlah dan pergilah ke Damsyik. Di sana akan diberitahukan kepadamu segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu. Dan karena aku tidak dapat melihat oleh karena cahaya yang menyilaukan mata itu, maka kawan-kawan seperjalananku memegang tanganku dan menuntun aku ke Damsyik. Di situ ada seorang bernama Ananias, seorang saleh yang menurut hukum Taurat dan terkenal baik di antara semua orang Yahudi yang ada di situ. Ia datang berdiri di dekatku dan berkata: Saulus, saudaraku, bukalah matamu dan melihatlah! Dan seketika itu juga aku melihat kembali dan menatap dia. Lalu katanya: Allah nenek moyang kita telah menetapkan engkau untuk mengetahui kehendak-Nya, untuk melihat Yang Benar dan untuk mendengar suara yang keluar dari mulut-Nya. Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar. Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah, berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan! Sesudah aku kembali di Yerusalem dan ketika aku sedang berdoa di dalam Bait Allah, rohku diliputi oleh kuasa ilahi. Aku melihat Dia, yang berkata kepadaku: Lekaslah, segeralah tinggalkan Yerusalem, sebab mereka tidak akan menerima kesaksianmu tentang Aku. Jawabku: Tuhan, mereka tahu, bahwa akulah yang pergi dari rumah ibadat yang satu ke rumah ibadat yang lain dan yang memasukkan mereka yang percaya kepada-Mu ke dalam penjara dan menyesah mereka. Dan ketika darah Stefanus, saksi-Mu itu, ditumpahkan, aku ada di situ dan menyetujui perbuatan itu dan aku menjaga pakaian mereka yang membunuhnya. Tetapi kata Tuhan kepadaku: Pergilah, sebab Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain."(Kis 22:1-21)»


7 “Hai Suami Kasihilah isterimu, sebagimana Kristus Mengasihi Gereja dan telah menyerahkan diri-Nya baginya[1]

Dalam Surat Efesus,[2] sesudah menyampaikan unsur terpenting bagi persatuan[3] dan kesucian[4] dalam hidup umat Kristen Paulus menyampaikan nasehat bagi kehidupan keluarga.[5]
Pertama-tama ia berbicara tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur semua relasi dalam keluarga Kristen: “Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.”[6] Kemudian dia terus menerapkan prinsip ini pada relasi yang ada diantara berbagai anggota sebuah keluarga: suami dengan isteri,[7] anak-anak dengan orangtua[8] dan – pada jaman itu – para budak dengan tuan mereka.[9]
Kepada para isteri ia mengajarkan ketundukan kepada para suami mereka: “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.” Dalam Surat Kolose, Paulus menyatakan dengan ungkapan sederhana alasan dari nasehatnya ini – “sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”[10]
Akan tetapi dalam Surat Efesus, Paulus mengembangkannya lebih lanjut, dengan memperkenalkan pengajarannya tentang kesatuan Kristus dan Gereja-Nya sebagai model kesatuan yang harus ada antara suami Kristiani dengan isteri dalam perkawinan: “Karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.”[11]
Pernyataan Paulus, “Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh,” dipakai dalam Ensiklik Mystici Corporis demikian: “Sebab dalam kata-kata ini kita memiliki alasan sebenarnya mengapa Tubuh Gereja diberi nama Kristus, yakni, bahwa Kristus adalah Penyelamat Ilahi dari Tubuh ini. Perempuan Samaria benar dengan menyebut Dia “Penyelamat dunia” (Yoh 4:42), sebab Dia sungguh dan sepatutnya dipanggil “Penyelamat seluruh umat manusia,” meskipun kita harus menambahkan seperti Paulus: ‘khususnya para beriman’ (1 Tim 4:10) sebab, dihadapan semua yang lain, Ia telah membayar dengan Darah-Nya anggota-anggota-Nya yang membentuk Gereja (lih. Kis 20:28) […] Untuk itu ketika Tuhan begantung di salib, Dia terus tanpa henti ditengah-tengah sukacita surgawi: ‘Kepala Kita,’ demikian menurut St. Agustinus, ‘menjadi perantara kita: beberapa anggota yang Ia terima, yang lain Ia hukum, yang lain lagi Ia bersihkan, yang lain lagi Ia hibur, yang lain Ia ciptakan, yang lain lagi Ia panggil, yang lain Ia ingatkan, yang lain lagi Ia perbaiki, yang lain pula Ia perbaharui’ (Expositions on the Psalms, 85,5). Tetapi hal ini bagi kita berarti ikut bekerjasama dengan Kristus dalam karya keselamatan, ‘yang datang melalui Dia karena Dialah sang Juru Selamat’ (St. Clement dari Alexandria, Stromateis, 7, 2).[12]
Gereja adalah mempelai Kristus; Dia “telah mengasihinya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.”[13]
Dalam kutipan ini Paulus menekankan dua ide: bahwa Kristus (sang Mempelai laki-laki) menyucikan Gereja (Mempelai perempuan) dan membuatnya satu dengan Diri-Nya.
Kristus mengasihi Gereja sebab ia adalah Tubuh Mistik-Nya. Maka sebagai Kepala Tubuh, Dia akan mengasuh dan merawat anggota-anggota-Nya.[14]
Bagi Paulus, kasih Kristus bagi Gereja menjadi model ideal bagi kasih para suami isteri Kristen. Seturut dengan kemampuan mereka, para suami harus melakukan semua yang Kristus telah lakukan untuk Mempelai-Nya. Mereka harus mengasihi isteri mereka “sebagaimana mereka mengasihi tubuhnya sendiri,” sebab mereka dengan isteri mereka membentuk satu tubuh: “Mereka menjadi satu daging.”[15]
Sama seperti seseorang tidak mengalami kesulitan untuk mengasihi dirinya sendiri, seorang suami seharusnya juga tidak mengalami kesulitan mengasihi isterinya. Sungguh, “tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya.” Karena itu, “kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.”[16] Dalam pikiran Paulus, jika ikatan perkawinan yang terjalin antara Kristus dengan Gereja dipakai sebagai model bagi kesatuan suami isteri Kristen, maka perkawinan kristiani dapat dipakai sebagai gambaran mistik dari hubungan Kristus dengan Gereja: “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”[17]
Karena seorang isteri menjadi satu daging dengan suaminya, sama seperti Gereja, bukan seperti mempelai duniawi melainkan mempelai rohani menjadi satu dengan Mempelainya dalam roh yang sama.
Dengan menggunakan gambaran dari sebuah keluarga, Paulus memperlihatkan Gereja, yang diangkat ke dalam Yerusalem surgawi, “Ibu kita,”[18] – sebuah perbandingan yang kemudian dikembangkan Tradisi menjadi “Bunda Gereja yang Kudus,” – yang melalui rahimnya yang tanpa noda, dengan kuasa Roh Kudus, orang-orang Kristen baru dilahirkan, sebagaimana St. Leo Agung menyatakan: “Putera Allah, lahir dari Bunda Perawan oleh Roh Kudus, membuat Gereja tanpa noda berbuah melalui Roh yang sama, sehingga Pembaptisan dapat melahirkan kumpulan anak-anak Allah yang tak terbilang banyaknya.”[19]
Konsili Vatikan Kedua menyamakan Gereja dengan Maria: “dengan menerima Sabda Allah dengan setia (Gereja) menjadi ibu juga. Sebab melalui pewartaan dan baptis, Gereja melahirkan bagi hidup baru yang kekal abadi putera-puteri yang dikandungnya dari Roh Kudus dan lahir dari Allah. Gereja pun perawan, yang dengan utuh murni menjaga kesetiaan yang dijanjikannya kepada Sang Mempelai.”[20]
Suatu kerjasama mistik antara Kristus, Adam Kedua[21] dan Gereja, Hawa yang Baru, melahirkan orang-orang Kristen baru. Methodius dari Olympia, yang menjadi martir di Eubea pada tahun 311, menulis bahwa “Rasul Paulus menerapkan semua ciri Adam pada Kristus. Dapat dikatakan bahwa Gereja dilahirkan dari tulang dan daging-Nya. Demi kasih-Nya kepada Gereja, sang Sabda meninggalkan Bapa di sorga dan turun ke bumi sehingga Dia dapat bersatu dengan Mempelai-Nya. Dalam penderitaan-Nya, Dia terbaring mati, mati demi pilihan bebas-Nya sendiri karena kasih, sehingga Ia dapat ‘menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. (lih. Ef 5:26-27). Gereja, dari pihaknya, terbuka untuk menerima benih-benih rohani yang Dia sendiri taburkan dalam jiwa yang terdalam. Gereja sebagai Mempelai menerima benih dan memberi bentuk kepadanya sampai kemudian benih itu dilahirkan, dirawat dan dipelihara.” Methodius menekankan kesejajaran antara Adam dan Hawa dengan Kristus dan Gereja: “Setiap pertimbangan mengenai Adam dan Hawa dapat diterapkan pada relasi antara Kristus dan Gereja.” Dan lagi katanya: “Paulus menunjuk secara langsung apa yang berkaitan dengan manusia pertama dan Hawa […] kepada Kristus dan Gereja.”[22] St. Siprianus mengingatkan bahwa: “tidak mungkin kita memiliki Allah sebagai Bapa tanpa memiliki Gereja sebagai Bunda.”[23]
Dalam Perjanjian Lama Israel sering disebut sebagai Mempelai Yahwe.[24] Karena itu dapat dimengerti kalau Perjanjian Baru meneruskan pemakaian simbol perkawinan ini.
Dalam jamannya, Yesaya memakai gambaran perkawinan untuk menggambarkan kedatangan Mesias.[25] Sesungguhnya, kedatangan Kristus ke dalam dunia adalah untuk merayakan pernikahan-Nya dengan seluruh umat manusia. Gambaran ini harus ada dalam benak kita jika kita membaca perumpamaan tentang sepuluh gadis: “Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, yang mengambil pelitanya dan pergi menyongsong mempelai laki-laki.”[26]
Dalam perumpamaan ini Kristus digambarkan sebagai mempelai laki-laki bagi jiwa pribadi-pribadi; Dia datang untuk menikahi jiwa pada waktu kematian dan bersatu dengannya dalam kemuliaan kekal. Tetapi Kristus juga adalah Mempelai laki-laki yang datang ke dalam dunia untuk menikahi keseluruhan umat manusia melalui penebusan dan pengudusan. Karena alasan ini, Yohanes Pembaptis yang menyerukan perutusannya disebut “sahabat Mempelai laki-laki yang berdiri dan mendengarkan-Nya.”[27]
Ketika diskusi terjadi diantara orang-orang Farisi[28] dan pengikut-pengikut Yohanes Pempabtis[29] mengenai praktek puasa dua kali seminggu, Yesus mengatakan: “Dapatkah sahabat-sahabat Mempelai laki-laki (Yesus) berdukacita selama Mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang Mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”[30]
Pernikahan rohani dimulai dengan Inkarnasi, ketika Kristus menikahi kemanusiaan dengan mengambil kodrat manusia. Mempelai perempuan yang sesungguhnya dalam pernikahan ini adalah Maria dari Nazaret, sebagaimana Ensiklik Mystici Corporis menyatakan dengan mengutip kata-kata dari St. Thomas Aquinas:[31] “Atas nama seluruh umat manusia, dia (Maria) memberikan persetujuannya ‘untuk sebuah pernikahan rohani antara Putera Allah dengan kodrat manusiawi.’”[32] Pernikahan mistik ini berlanjut dalam Penebusan di Kalvari, ketika Kristus menikahi Gereja.[33] Pernikahan ini akan mencapai puncak abadi di sorga nanti. Dalam Kitab Wahyu, salah seorang dari tujuh malaikat berkata kepada Yohanes: “Marilah ke sini, aku akan menunjukkan kepadamu pengantin perempuan, mempelai Anak Domba."[34] Dan Yohanes menulis: “aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.”[35]
Yehezkiel memberikan gambaran yang ringkas bagaimana Allah (Memperlai laki-laki) mendandani Israel (mempelai-Nya): “Aku mengenakan pakaian berwarna-warna kepadamu dan memberikan engkau sandal-sandal dari kulit lumba-lumba dan tutup kepala dari lenan halus dan selendang dari sutera. Dan Aku menghiasi engkau dengan perhiasan-perhiasan dan mengenakan gelang pada tanganmu dan kalung pada lehermu. Dan Aku mengenakan anting-anting pada hidungmu dan anting-anting pada telingamu dan mahkota kemuliaan di atas kepalamu. Dengan demikian engkau menghias dirimu dengan emas dan perak, pakaianmu lenan halus dan sutera dan kain berwarna-warna; makananmu ialah tepung yang terbaik, madu dan minyak dan engkau menjadi sangat cantik, sehingga layak menjadi ratu. Dan namamu termasyhur di antara bangsa-bangsa karena kecantikanmu, sebab sangat sempurna adanya, oleh karena semarak perhiasan-Ku yang Kuberikan kepadamu."[36] Nabi Yesaya menyampaikan hal yang sama ketika ia berbicara tentang pernikahan Allah dengan umat manusia yang dirayakan dalam jaman Mesias.[37]
Hal ini jelas bahwa kedua nabi ini memperlihatkan keindahan batiniah dan bukan yang lahiriah; Allah tertarik hanya pada keindahan rohani. Paulus mengambil alih pemikiran Yehezkiel dan Yesaya, dengan menyatakan secara jelas, bahwa Kristus mengasihi Gereja-Nya dan memberikan diri-Nya untuk membuatnya kudus. Kekudusan batiniah yang diterima Gereja dari Mempelai laki-lakinya adalah kekudusan sang Mempelai sendiri.
[1] Lih. Ef 5:25.
[2] Lih. Ef 4:1-5:20.
[3] Lih. 4:1-16
[4] Lih. Ef 4:16-5:20.
[5] Lih. Ef 5:21-6:9.
[6] Ef 5:21.
[7] Lih. Ef 5:22-31.
[8] Lih. Ef 6:1-4.
[9] Lih. Ef 6:5-9.
[10] Kol 3:18.
[11] Ef 5:22-23.
[12] Pius XII, Mystici Corporis, 59.
[13] Ef 5:25-27.
[14] Lih. Ef 5:29.
[15] Kej 2:24.
[16] Ef 5:29, 33.
[17] Ef 5:32.
[18] Gal 4:26; lih. Why 12:17.
[19] Lih. St. Leo Agung, Sermons, LXVIII, 6.
[20] Lumen Gentium, 64.
[21] Lih. Rom 5:15-21; 1 Kor 15:22, 45.
[22] Methodius of Olympia, On Virginity, 8-10.
[23] St. Cyprian, On the Unity of the Catholic Church, 6-7.
[24] Lih. Hos 2:21.
[25] Lih. Yes 54:5; Yeh 16:8; Zak 8:2.
[26] Lih. Mat 25:1-12.
[27] Yoh 3:29.
[28] Lih. Luk 18:12.
[29] Lih. Luk 5:33
[30] Mat 9:15; lih. Mrk 2:19-20; Luk 5:34-35.
[31] St. Thomas Aquinas, III,q.30,a.1.c.
[32] Pius XII, Mystici Corporis, 110.
[33] Pius XII menyatakan bahwa istilah “Gereja” harus dimengerti dalam arti seluas mungkin: “Karena Gereja, Mempelai Kristus, adalah satu; namun juga begitu luas kasih dari pasangan ilahi terhadap mempelainya sehingga mencakup seluruh umat manusia tanpa kecuali. Penyelamat kita menumpahkan darah-Nya yang berharga supaya Dia dapat mendamaikan manusia dengan Allah melalui salib, dan dapat mendesak mereka untuk bersatu dalam satu Tubuh” (Mystici Corporis, 96)
[34] Why 21:9-10.
[35] Why 21:2; lih. 19:7-8; 22:17.
[36] Yeh 16:10-14.
[37] Lih. Yes 62:1-5.

"Kita adalah Satu Tubuh" - Bab 6

«Sebab kamu telah mendengar tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi: tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya. Dan di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku. Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia; juga aku tidak pergi ke Yerusalem mendapatkan mereka yang telah menjadi rasul sebelum aku, tetapi aku berangkat ke tanah Arab dan dari situ kembali lagi ke Damsyik. Lalu, tiga tahun kemudian, aku pergi ke Yerusalem untuk mengunjungi Kefas, dan aku menumpang lima belas hari di rumahnya. Tetapi aku tidak melihat seorangpun dari rasul-rasul yang lain, kecuali Yakobus, saudara Tuhan Yesus. Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta. Kemudian aku pergi ke daerah-daerah Siria dan Kilikia. Tetapi rupaku tetap tidak dikenal oleh jemaat-jemaat Kristus di Yudea. Mereka hanya mendengar, bahwa ia yang dahulu menganiaya mereka, sekarang memberitakan iman, yang pernah hendak dibinasakannya (Gal 1:13-23).»


6. “Kristus Kepala Tubuh”[1]

Dalam surat kepada jemaat di Kolose dan juga di Efesus, Paulus sebagai tambahan untuk membaha lagi masalah yang disampaikan dalam surat kepada jemaat di Roma dan Korintus – secara khusus mengenai komunitas umat beriman yang membentuk “satu tubuh,”[2] bahwa “Jemaat adalah Tubuh Kristus”[3] dan bahwa umat Kristen adalah “anggota-anggota Kristus”[4] dan anggota-anggota satu bagi yang lain[5] - mengembangkan unsur lain dari kiasan tubuh manusia: Kristus, Kepala Jemaat.
Epafras, “kawan pelayan yang (Paulus) kasihi, yang bagi (jemaat) adalah pelayan Kristus yang setia”[6] dan seorang asli Kolose,[7] memulai dengan meyakinkan Paulus bahwa jemaat di Kolose pada dasarnya baik-baik saja.[8] Namun, dia juga menyampaikan bahwa ada beberapa pewarta yang membingungkan jemaat Kolose dengan pengajaran yang keliru, hampir sesat.
Paulus menyebut pengajaran mereka sebagai “filsafat yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia.”[9] Orang-orang Kolose suka memikirkan dunia malaikat-malaikat, yang disebut pléroma (“kepenuhan”), yang dilihat sebagai tingkatan perantara antara Allah yang tidak kelihatan dengan benda-benda kelihatan. Mereka juga suka membuat teori tentang hubungan pléroma ini dengan Kristus.
Untuk mengekang kecendrungan ini dalam pemikiran teologis dan, terutama untuk meluruskan beberapa pernyataan yang dapat membawa orang kepada kesesatan, Paulus menggunakan surat ini untuk menyampaikan beberapa dasar pengajarannya tentang Kristus.
Paulus menunjukkan bahwa Kristus adalah prinsip dan tujuan dari segala ciptaan,[10] kepala dari tubuh yang adalah Gereja,[11] satu-satunya pendamai antara umat manusia dengan Allah,[12] sebagai kepala tempat semua anggota dari Tubuh dapat berhubungan secara langsung.[13]
Secara khusus, Paulus menyatakan bahwa Kristus, karena Ia memiliki kepenuhan keilahian, adalah Kepala dari setiap Kerajaan dan Kekuasaan, yaitu, dari para Malaikat yang disebut diatas. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengajar-pengajar palsu dari Kolose, yang menyatakan bahwa para malaikat adalah pengantara antara manusia dengan Allah, menyepelekan kepengantaraan Kristus yang satu-satunya.[14]
Karena umat Kristen di Kolose disatukan dengan Kristus, mereka ikut ambil bagian di dalam kepenuhan-Nya; mereka “penuh’ dengan-Nya.[15] Dalam Kristus, mereka memiliki semua berkat rohani dan semua kesempurnaan.[16] Maka seharusnya mereka tidak perlu lagi mencari sumber perwahyuan lain atau pengantara lain selain Kristus.
Mengenai gelar “kepala” (kephalé), kata ini seolah-olah hanya mengungkapkan martabat kekuasaan Kristus. Paulus menyatakan: “Dia dibangkitkan dalam kemuliaan dan kekuasaan diatas semua Kuasa dan Kerajaan.” Dalam hal ini, sebutan kepala tidak menunjuk kepada tubuh manusia dan kepada semua unsur kehidupan yang dibawanya. Istilah itu hanya mau menunjukkan kesamaan kata “diatas.” Gambaran ini mau menunjukkan kekuasaan Kristus yang mengatasi segala Kuasa dan Kerajaan. Hal yang sama juga tampak ketika Paulus menyatakan bahwa laki-laki adalah kepala isteri dan Allah adalah Kepala Kristus.[17]
Mungkin hal ini baik disadari ketika membaca pernyataan ini: “Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati.”[18] Dalam konteks ini juga ide yang utama adalah keunggulan Kristus,[19] alasan dari keunggulannya adalah karena “kepenuhan” ilahi yang tinggal dalam diri Kristus.[20]
Tentu saja keunggulan itu bukan satu-satunya arti dari kata “kepala” dalam Surat Kolose. Dalam penggunaannya arti kepala sebagai unsur kuasa dengan mudah bergeser ke arti kepala sebagai prinsip kehidupan dari seluruh tubuh. Kristus sebagai kepala dan sebagai prinsip kehidupan dari seluruh tubuh digunakan untuk menekankan seruan Paulus untuk berpegang teguh “kepada Kepala dari mana seluruh tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya.”[21]

Paulus melihat kepala sebagai prinsip kesatuan yang melekat dan berkembang untuk keseluruhan tubuh dan untuk tiap-tiap bagiannya. Terpisah dari kepala, badan menjadi mati dan dengan segera membusuk.
Tulang dan sendi-sendi tulang menyatukan kepala dengan tubuh, demikian juga syaraf, otot-otot, urat daging dan tulang rawan. Karena kesatuan diantara mereka dengan Kristus dan Kepala dengan anggota-anggotanya adalah satu dan sama, demikian juga keterpisahan dari Kristus sama dengan menghukum diri sendiri kepada ketidakberdayaan dan kematian.
Dalam hal ini, orang-orang Kolose yang menjadi korban dari “kesombongan yang sia-sia,”[22] pergi mencari seorang pengantara dan tuan yang lain, meninggalkan Kristus sang Kepala, yang darinya semua anggota Tubuh menerima kahidupan dan kekuatan untuk mengikat tulang dan sendi-sendi tulang.
Paulus tidak secara jelas menjelaskan simbol “tulang dan sendi-sendi tulang” dalam Surat Kolose. Tetapi dalam Surat Efesus dia mengembangkan lebih lanjut perumpamaan ini, menyamakan mereka dengan saluran-saluran komunikasi ilahi – para rasul, nabi, penginjil, gembala dan pengajar.[23] Dalam hal ini, masuk akal juga untuk disimpulkan bahwa ungkapan “tulang dan sendi-sendi tulang” yang digunakan dalam Surat Kolose menunjuk pada berbagai karunia yang diberikan Allah untuk tiap pribadi.
Sejajar dengan pemakaian Paulus atas kiasan Kristus Kepala dalam Surat Kolose, Surat Efesus terpusat pada menampilkan “rahasia agung:” yakni, rencana ilahi, yang terembunyi oleh Allah sejak segala abad dan dinyatakan hanya melalui Injil – yakni tentang penyelamatan seluruh umat manusia, Yahudi dan bukan Yahudi, melalui penggabungan mereka ke dalam Tubuh, yang Kepalanya adalah Kristus.[24]
Tanda-tanda dari teologi Tubuh Mistik dapat juga ditelusuri dalam bagian tambahan dari Surat Efesus.[25] Banyak ajaran Paulus bermaksud untuk memelihara kesatuan umat beriman dalam Kristus dan membiarkan anggota-anggota Tubuh bertumbuh dalam kepenuhan mereka: “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.”[26]
Paulus memohon kepada Allah untuk menerangi pikiran dan hati umat Efesus, sehingga mereka dapat mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi mereka, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi orang Kristen yang percaya untuk mencapai tujuan dari harapan mereka, yakni, kemuliaan sorga.
Kita telah menyaksikan contoh kuasa istimewa Allah yang walaupun tidak dapat diukur membuat kita yakin bahwa itu sungguh tak terbatas. Pengalaman ini ditemukan dalam kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga, jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang.[27]
Sebagai kesimpulannya, Paulus menyatakan bahwa Allah “telah meletakkan segala sesuatu di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.”[28]
Pernyataan ini terbuka pada dua penafsiran. Pertama, kalimat itu bisa diartikan bahwa Gereja melengkapi Kristus sama seperti bagian-bagian dari tubuh melengkapi kepala. Jika kepala tidak bisa berbuat apa-apa tanpa tubuh, demikian juga Kristus tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Gereja; karya penyelamatan-Nya menjadi tidak lengkap, tidak efektif karena rahmat yang dimiliki-Nya tidak mungkin dikomunikasikan.
Kedua, kata-kata Paulus itu juga dapat berarti bahwa Kristus melengkapi Gereja dengan mengkomunikasikan kepada Gereja kekudusan-Nya dan semua karunia-Nya.
Kedua tafsiran ini tidak mengembangkan masalah kodrat hubungan penting antara Kepala dan Tubuh atau Kristus dengan Gereja.
Dalam Surat Efesus, Rasul Paulus mengisyaratkan tentang kuasa tertinggi yang Kristus kerjakan terhadap Gereja. Kristus adalah Kepala Gereja karena Dialah Penyelamatnya; kuasa tertinggi terletak pada tugas penyelamatannya.
Kiasan “Kristus Kepala Gereja” menunjukkan pertama-tama suatu kesatuan sempurna kodrati, yang dialami oleh kepala dan bagian-bagiannya. Allah mengunjungi kita melalui Inkarnasi: “Sabda menjadi daging.”[29] Putera Allah menjadi manusia, “lahir dari seorang perempuan;”[30] Dia mengambil kodrat manusia yang lemah dalam segala hal kecuali dosa.[31] “Sebab sesungguhnya, bukan malaikat-malaikat yang Ia kasihani, tetapi keturunan Abraham yang Ia kasihani,”[32] karena itu ia menjadi serupa dengan saudara-saudara-Nya, sehingga Dia dapat menjadi jembatan belaskasihan. Sebagai pendosa kita berada dibawah kemalangan. Tetapi Kristus telah mengambil kemalangan kita di atas bahu-Nya sambil melimpahkan berkat-berkat Allah atas kita.[33]
Sebagai Kepala, Kristus di atas Tubuh; dengan cara ini, Kristus di atas segalanya. Berdasarkan kodrat ilahi-Nya “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.”[34]
Karena kodrat manusiawi-Nya, Dia menghayati suatu keunggulan prioritas dalam waktu. Demikian juga, Dia adalah “Kepala Tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu.”[35]
Dari keunggulan dan martabat ini mengalirlah suatu kuasa dan pemerintahan yang utama: “yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga, jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang. Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.”[36]
Kristus juga menjalankan suatu keunggulan dalam mutu dan kebaikan, karena “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia.”[37] Ungkapan ini kuat dan luas. Konteks dan sebuah bagian yang paralel dari surat Paulus[38] memperjelas rangkap tiga artinya: kepenuhan mutlak Kristus sebagai Allah; kepenuhan rahmat dan karunia yang dicapai kodrat manusiawi-Nya karena kesatuan-Nya dengan Pribadi Sabda; dan akhirnya, kepenuhan yang dimiliki-Nya sebagai Kepala, sumber segala kebaikan adikodrati untuk semua umat manusia.
Unsur terakhir dalam diskusi ini adalah peran aktif yang dimainkan Kepala dalam relasinya dengan bagian-bagian. “Dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, --yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota--menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.”[39]
Ide dasarnya adalah bahwa Tubuh berhutang pertumbuhannya pada Kristus. Syarat pertumbuhan ada tiga: 1) kesatuan yang dekat diantara para anggota, yang digambarkan dengan tulang dan tulang sendi; 2) saling menolong dan melayani; dan 3) “keberfungsian” yang sempurna dari tiap-tiap anggota.
Ketiga hal ini saling terikat satu sama lain. Kesatuan diantara para anggota dimungkinkan dengan saling membantu, dan saling melayani akan lebih efektif jika tiap anggota berusaha untuk memenuhi dengan sempurna peranan dan fungsinya.
Seluruh keberfungsian tubuh dibawah pengaruh vital dari kepala. Kepala lah yang menjaga kesatuan dari bagian-bagian; mengarahkan mereka dalam fungsi organis mereka yang khas; mengatur pelayanan timbal balik diantara mereka; dan menyampaikan kepada tiap organ kualitas dan jumlah dari kegiatan yang diperlukan untuk itu.
Ada sedikit masalah jika perbandingan Paulus ini melampaui apa yang secara fisiologis dikatakan tentang peran kepala dalam tubuh manusia. Bagi Paulus, semua pertumbuhan dalam Gereja dan dalam kehidupannya, kekuatan, keserasian dan kesempurnaan secara mutlak berasal dari pengaruh yang menghidupkan dari Kepalanya, Kristus.
Paulus menekankan bahwa kasih adalah unsur pokok dalam pertumbuhan Gereja dan ikatan yang menyatukan anggota-anggota dan mengatur keseluruhan, sebab kasih membawa persatuan dengan Kristus dan membuat kita sepenuhnya taat kepada tindakan-Nya.
St. Agustinus berpendapat bahwa fungsi Kristus Kepala Gereja tidak terikat pada waktu dan tempat: “Tuhan kita Yesus Kristus, sebagai keseluruhan, manusia sempurna, memiliki kepala dan tubuh. Kita mengenal Kepala dalam manusia, yang dilahirkan oleh Perawan Maria, menderita dan wafat dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, dimakamkan, bangkit dari mati, naik ke sorga dan sekarang duduk di sisi kanan Bapa, dan dari sana Ia akan datang mengadili yang hidup dan yang mati, yakni sebagai Kepala Gereja. Tubuh dari Kepala ini adalah Gereja, bukan hanya Gereja di tempat ini saja, tetapi di tempat ini dan yang juga tersebar di seluruh dunia; bukan hanya Gereja pada masa tertentu, tetapi disepanjang segala waktu, setiap orang, mulai dari Habel sampai kepada orang terakhir yang pernah dilahirkan dan yang percaya kepada Kristus. Dengan kata lain keseluruhan kumpulan para kudus yang menjadi milik satu-satunya kawanan, Tubuh Kristus, yang kepalnya adalah Kristus.[40]
[1] Kol 1:18.
[2] Lih. Kol 3:15; Ef 2:16; 4:4.
[3] Lih. Kol 1:24.
[4] Ef 5:30.
[5] Ef 4:25.
[6] Kol 1”7-8.
[7] Lih. Kol 4:12; Flm 23.
[8] Lih. Kol 1:8; 2:5.
[9] Kol 2:8.
[10] Lih. Kol 1:15-16.
[11] Lih. Kol 1:18.
[12] Lih. Kol 1:14, 20-22; 2:13-15.
[13] Lih. Kol 2:19.
[14] Lih. Kol 2:9.
[15] Lih. Kol 2:10.
[16] Lih. Yoh 1:16.
[17] Lih. 1 Kor 11:3; Ef 5:23.
[18] Kol 1:18.
[19] Lih. Kol 1:15-17,20.
[20] Lih. Kol 1:19.
[21] Kol 2:19.
[22] Lih. Kol 2:18.
[23] Lih. Ef 4:11-15.
[24] Lih. Ef 1:3-3:21.
[25] Lih. Ef 4:1-6:20.
[26] Ef 4:15-16.
[27] Lih. Ef 1:18-21.
[28] Ef 1:22-23.
[29] Yoh 1:14.
[30] Gal 4:4; lih. Rom 1:3; 8:3.
[31] Lih. Rom 8:3; 2 Kor 5:21.
[32] Ibr 2:16.
[33] Lih. Gal 3:13.
[34] Kol 1:15-17.
[35] Kol 1:18.
[36] Ef 1:20-23
[37] Kol 1:19.
[38] Kol 2:9.
[39] Ef 4:15-16.
[40] St. Agustinus, Expositions on Psalms, XC,2,1.

"Kita adalah Satu Tubuh" - Bab 5

«Bagaimanapun juga, aku sendiri pernah menyangka, bahwa aku harus keras bertindak menentang nama Yesus dari Nazaret. Hal itu kulakukan juga di Yerusalem. Aku bukan saja telah memasukkan banyak orang kudus ke dalam penjara, setelah aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, tetapi aku juga setuju, jika mereka dihukum mati. Dalam rumah-rumah ibadat aku sering menyiksa mereka dan memaksanya untuk menyangkal imannya dan dalam amarah yang meluap-luap aku mengejar mereka, bahkan sampai ke kota-kota asing."
"Dan dalam keadaan demikian, ketika aku dengan kuasa penuh dan tugas dari imam-imam kepala sedang dalam perjalanan ke Damsyik, tiba-tiba, ya raja Agripa, pada tengah hari bolong aku melihat di tengah jalan itu cahaya yang lebih terang dari pada cahaya matahari, turun dari langit meliputi aku dan teman-teman seperjalananku. Kami semua rebah ke tanah dan aku mendengar suatu suara yang mengatakan kepadaku dalam bahasa Ibrani: Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku? Sukar bagimu menendang ke galah rangsang. Tetapi aku menjawab: Siapa Engkau, Tuhan? Kata Tuhan: Akulah Yesus, yang kauaniaya itu. Tetapi sekarang, bangunlah dan berdirilah. Aku menampakkan diri kepadamu untuk menetapkan engkau menjadi pelayan dan saksi tentang segala sesuatu yang telah kaulihat dari pada-Ku dan tentang apa yang akan Kuperlihatkan kepadamu nanti. Aku akan mengasingkan engkau dari bangsa ini dan dari bangsa-bangsa lain. Dan Aku akan mengutus engkau kepada mereka, untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman mereka kepada-Ku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan
. (Kis 26:9-18)»


5. “Tubuhmu adalah Anggota Kristus[1]

Korintus dikenal sebagai kota yang negatif dari segi moral.[2] Orang-orang Kristen di sana tidak saja menunjukkan sikap menerima saja hal-hal yang berkaitan dengan inces,[3] tetapi tampaknya juga beberapa diantara mereka menganggap bahwa zinah sebagai tindakan yang biasa-biasa saja secara moral. Dalam menulis surat kepada jemaat di Korintus, Paulus bermaksud menanamkan dalam diri mereka penolakan secara logis terhadap sifat buruk ini.
Paulus mencela anggapan orang-orang Korintus yang mengatakan, “semua halal,” untuk mengesahkan perbuatan zinah. Dia mengatakan: “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun.”[4] Dengan demikian, Paulus mencela kebebasan seksual sebab hal ini memasukkan orang ke dalam bahaya dan, jika diijinkan, memperbudak seseorang untuk mengulangi perbuatan-perbuatan dosa.
Jahatnya perbuatan zinah adalah karena dalam pembaptisan orang-orang Kristen telah disatukan dengan Tuhan sebagai milik-Nya. Perbuatan zinah pertama-tama tidak adil sebab “tubuh adalah milik Tuhan.”[5]
Disamping masalah ketidakadilan, Paulus menambahkan pandangan ide tentang pencemaran: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar.”[6] Sebagai milik Allah kita tidak dirampas tetapi diperoleh “bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”[7] Sebab kita menjadi milik Allah melalui Pembaptisan, murid-murid Kristus adalah milik yang tidak terpisahkan.
Lebih lanjut, Paulus menunjukkan fakta kejahatan percabulan juga sebagai sacrilegi (dosa pencemaran terhadap barang kudus): “Tubuhmu adalah anggota-anggota Kristus.” Orang yang membiarkan dirinya jatuh dalam perbuatan dosa ini bertindak tidak lain tetapi “mengambil anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan.”[8] Dengan kata lain, pencemaran tubuh tidak terpisah dari anggota-anggotanya, tapi identik dengannya, para pembuat cabul tidak berbuat lain selain menjadikan Kristus sendiri seorang pelacur! Dosa ini begitu dibenci oleh Paulus sehingga ia dengan tegas mengatakan: “Sekali-kali tidak!”[9]
Atas dasar kenyataan bahwa “siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia,”[10] tindakan yang tak tahu malu dari percabulan membuat Tubuh – yang adalah satu dengan Kristus – bersatu dengan perempuan cabul, sebab Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa melalui tindakan persetubuhan “keduanya menjadi satu daging.”[11]
Kata-kata dari Kejadian ini, dikutip oleh Paulus, menunjuk kepada persatuan perkawinan yang ia uraikan dalam Surat kepada jemaat di Efesus.[12] Ketika percabulan dikaitkan dengan persatuan tubuh dari orang-orang di luar perkawinan, Paulus tetap berpendapat bahwa unsur-unsur fisiologisnya sama. Persatuan antara seorang laki-laki dan perempuan mengingatkan Paulus akan gambaran tentang kesatuan spiritual: “Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia.”[13] Kesatuan yang terjadi dalam tataran fisik secara langsung berkaitan dengan yang terjadi dalam tataran rohani antara semua orang Kristen dengan Kristus.
Dua kesatuan ini, bagaimanapun mereka saling bertentangan: yang satu dilakukan dengan tubuh dalam penyelewengan, yang merendahkan keseluruhan pribadi manusia sampai pada titik yang meniadakan roh; kedua, dilakukan secara rohani dengan Tuhan, mengubah dan mengangkat seluruh kepribadian ke tingkat yang lebih tinggi. Namun kedua peratuan ini ditandai oleh satu ciri kesatuan yang dekat dan akrab: “satu daging,” “satu roh.”[14]
[1] 1 Kor 6:15; bdk 12:27: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.”
[2] Aristofanes (450-380 SM) menciptakan istilah Korinthiázesthai (= “mengkorintus” atau berlaku seperti penduduk Korontus, yakni “berzinah”) karena reputasi yang buruk dari kota itu; bdk. Eusthachius dari Tesalonika (1115-1194M), Commentary on the Iliad, II,570. Plato (427-347 SM) menggunakan ungkapan “seorang gadis Korintus” untuk menghaluskan kata “pelacur” (The Republic, 404D). Strabo (64SM-24M) menunjukkan, mungkin agak dibesar-besarkan, bahwa dalam kuil Aphrodite terdapat ribuan pelacur dan bahwa praktek tersebut menjadi sumber penghasilan bagi kota (Geography, VIII,6,20).
[3] Lih. 1 Kor 5:1-2.
[4] 1 Kor 6:12.
[5] 1 Kor 12:13.
[6] Lih. 1 Kor 6:19-20.
[7] 1 Ptr 1:18-19.
[8] 1 Kor 6:15.
[9] 1 Kor 6:15.
[10] 1 Kor 6:16.
[11] Kej 2:24.
[12] Lih. Ef 5:31.
[13] 1 Kor 6:17.
[14] Ungkapan “satu roh” sesunguhnya mengherankan, sebab menurut konteksnya seharusnya “satu tubuh.” Namun Paulus dengan menggunakan kata-kata ini dalam diskusinya mengenai perselingkuhan, menganggap baik untuk menerapkannya kepada persatuan yang lebih luhur antara orang beriman dengan Kristus. Pada saat yang sama, ia ingin memperlihatkan perbedaan yang mendasar antara kedua kesatuan itu: satu milik tataran alamiah dari daging, sedangkan yang lain milik tatanan ilahi dari Roh yang, menurut Paulus, kesatuan dengan Kristus yang membentuk sebuah “tubuh rohani” (lih. 1 Kor 15:44)