«Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku-- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman. Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus (1 Tim 1:12-14).»
4. “Tidak Semua Anggota itu Mempunyai Tugas yang Sama”[1]
Dalam bagian sisipan dalam surat kepada jemaat di Roma, Paulus menyerukan kepada jemaat untuk mempersembahkan “pujian rohani” kepada Allah dn tidak seperti orang-orang Yahudi yang hanya memperhatikan hal-hal lahiriah, suatu seruan yang Allah sampaikan juga melalui nabi Hosea: “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.”[2]
“Pujian rohani” yang diusulkan oleh Paulus adalah persembahan diri, sebuah persembahan “tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah.” Hal ini menuntut perubahan mentalitas, suatu pembaharuan batin; jika tidak mustahil untuk membedakan “manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”[3]
Pertobatan dibuktikan dalam kerendahan hati dan kasih.
Dalam kaitannya dengan kerendahan hati, Paulus mendorong jemaat di Roma supaya menjadi bijaksana dalam menilai diri sendiri: “aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. […] Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai.”[4] Dengan menghayati kerendahan hati umat Kristen akan dibantu untuk menghindari bahaya terdampar pada batu karang kesombongan, ambisi dan keangkuhan; dan diatas segalanya, kerendahan hati akan membawa damai bagi jiwa.
Dalam kaitan dengan kasih, Paulus memberikan beberapa nasehat yang berharga: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. […] Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan! Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk! Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis! Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai! Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! […] Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan! […] Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”[5] Kasih mencakup juga bahkan terhadap musuh-musuh.[6]
Dalam hubungan sosial, orang-orang Kristen harus pertama-tama diilhami oleh kerendahan hati dan kasih. Semua orang Kristen harus ingat bahwa mereka adalah bagian dari keseluruhan, bahwa mereka diikat secara erat dalam kesetiakawanan dengan sesama, baik dalam waktu yang baik maupun tidak.
St. Paulus menjelaskan kesetiakawanan diantara semua orang. Sebagaimana dosa Adam tidak tinggal sendiri terisolir menjadi masalah pribadi semata tetapi memiliki akibat fatal bagi keturunannya, demikian juga, Penebusan yang dibawa oleh Kristus berdampak baik yang membawa keuntungan bagi seluruh umat manusia: “Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.”[7]
Kesetiakawanan mistik ini yang mengikat orang dengan Adam sama seperti dengan Kristus juga, tidaklah terlalu mengherankan kalau kita menyadari bahwa hal yang sama juga terjadi dalam tubuh manusia. Semua bagian tubuh memiliki kesaling-tergantungan dan saling mempengaruhi.
Maka tubuh manusia adalah kiasan untuk komunitas Kristen: “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.”[8]
Keberagaman karunia tidak boleh menyebabkan ketakutan besar dan tentu saja tidak juga membuat kita menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki: “Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.”[9]
Biarlah tiap orang puas dengan tempat di mana ia berada dalam komunitas dan senang dengan karunia yang telah ia terima, dengan kesadaran bahwa semua harta rohani berguna untuk keuntungan kita bersama; dalam arti tertentu mereka menjadi milik kita juga. Dengan kata lain, segala milik kita menjadi milik yang lain juga.
Itulah yang disebut komunikasi karunia yang timbal-balik. Setiap orang beriman menyumbangkan kebaikan bagi keseluruhan Tubuh dan bagi setiap anggota secara pribadi, dan, pada gilirannya, juga keuntungan-keuntungan karunia rohani dari sesama.
Paulus menegaskan bahwa semua karisma dikaruniakan oleh Allah “untuk pembangunan jemaat”[10] melalui pelayanan kerasulan yang berkarya dalam pelayanan Gereja. Dengan cara ini, pemikiran yang tadi disampaikan ditekankan lagi – pribadi-pribadi tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi tergantung satu sama lain. Dia dalam karya pelayanan untuk keseluruhan komunitas dan tiap-tiap anggota secara khusus. Dia harus menghayati sebuah kehidupan yang mengalir dari keseluruhan Tubuh.
Meskipun karisma-karisma diberikan oleh Allah untuk kepentingan semua, seseorang tidak boleh merasa bahwa karunia yang ia terima tanpa keuntungan bagi dirinya sendiri.[11]
Orang-orang Kristen harus selalu menyadari bahwa, karena ada berbagai macam karisma, mereka adalah bagian yang unik dari sebuah Tubuh, karena kesatuan mereka dengan Kristus. Kristus menyatukan Tubuh. Pemikiran ini akan dikembangkan lagi oleh Paulus, ketika ia merenungkan kiasan tentang tubuh dengan kiasan Kristus sebagai Kepala Tubuh.[12]
[1] Rom 12:4
[2] Hos 6:6.
[3] Lih. Rom 12:1-2.
[4] Lih. Rom 12:3, 16.
[5] Rom 12:9-11, 13-17, 12; 13:10.
[6] Lih. Rom 12:19-20.
[7] Rom 5:18-19.
[8] Rom 12:4-5.
[9] Rom 12:6-8.
[10] 1 Kor 14:12.
[11] Lih. 1 Kor 14:4.
[12] Lih. Kol 2:19; Ef 1:22; 5:23.
4. “Tidak Semua Anggota itu Mempunyai Tugas yang Sama”[1]
Dalam bagian sisipan dalam surat kepada jemaat di Roma, Paulus menyerukan kepada jemaat untuk mempersembahkan “pujian rohani” kepada Allah dn tidak seperti orang-orang Yahudi yang hanya memperhatikan hal-hal lahiriah, suatu seruan yang Allah sampaikan juga melalui nabi Hosea: “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.”[2]
“Pujian rohani” yang diusulkan oleh Paulus adalah persembahan diri, sebuah persembahan “tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah.” Hal ini menuntut perubahan mentalitas, suatu pembaharuan batin; jika tidak mustahil untuk membedakan “manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”[3]
Pertobatan dibuktikan dalam kerendahan hati dan kasih.
Dalam kaitannya dengan kerendahan hati, Paulus mendorong jemaat di Roma supaya menjadi bijaksana dalam menilai diri sendiri: “aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. […] Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai.”[4] Dengan menghayati kerendahan hati umat Kristen akan dibantu untuk menghindari bahaya terdampar pada batu karang kesombongan, ambisi dan keangkuhan; dan diatas segalanya, kerendahan hati akan membawa damai bagi jiwa.
Dalam kaitan dengan kasih, Paulus memberikan beberapa nasehat yang berharga: “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. […] Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan! Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk! Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis! Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai! Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! […] Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan! […] Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”[5] Kasih mencakup juga bahkan terhadap musuh-musuh.[6]
Dalam hubungan sosial, orang-orang Kristen harus pertama-tama diilhami oleh kerendahan hati dan kasih. Semua orang Kristen harus ingat bahwa mereka adalah bagian dari keseluruhan, bahwa mereka diikat secara erat dalam kesetiakawanan dengan sesama, baik dalam waktu yang baik maupun tidak.
St. Paulus menjelaskan kesetiakawanan diantara semua orang. Sebagaimana dosa Adam tidak tinggal sendiri terisolir menjadi masalah pribadi semata tetapi memiliki akibat fatal bagi keturunannya, demikian juga, Penebusan yang dibawa oleh Kristus berdampak baik yang membawa keuntungan bagi seluruh umat manusia: “Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.”[7]
Kesetiakawanan mistik ini yang mengikat orang dengan Adam sama seperti dengan Kristus juga, tidaklah terlalu mengherankan kalau kita menyadari bahwa hal yang sama juga terjadi dalam tubuh manusia. Semua bagian tubuh memiliki kesaling-tergantungan dan saling mempengaruhi.
Maka tubuh manusia adalah kiasan untuk komunitas Kristen: “Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.”[8]
Keberagaman karunia tidak boleh menyebabkan ketakutan besar dan tentu saja tidak juga membuat kita menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki: “Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.”[9]
Biarlah tiap orang puas dengan tempat di mana ia berada dalam komunitas dan senang dengan karunia yang telah ia terima, dengan kesadaran bahwa semua harta rohani berguna untuk keuntungan kita bersama; dalam arti tertentu mereka menjadi milik kita juga. Dengan kata lain, segala milik kita menjadi milik yang lain juga.
Itulah yang disebut komunikasi karunia yang timbal-balik. Setiap orang beriman menyumbangkan kebaikan bagi keseluruhan Tubuh dan bagi setiap anggota secara pribadi, dan, pada gilirannya, juga keuntungan-keuntungan karunia rohani dari sesama.
Paulus menegaskan bahwa semua karisma dikaruniakan oleh Allah “untuk pembangunan jemaat”[10] melalui pelayanan kerasulan yang berkarya dalam pelayanan Gereja. Dengan cara ini, pemikiran yang tadi disampaikan ditekankan lagi – pribadi-pribadi tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi tergantung satu sama lain. Dia dalam karya pelayanan untuk keseluruhan komunitas dan tiap-tiap anggota secara khusus. Dia harus menghayati sebuah kehidupan yang mengalir dari keseluruhan Tubuh.
Meskipun karisma-karisma diberikan oleh Allah untuk kepentingan semua, seseorang tidak boleh merasa bahwa karunia yang ia terima tanpa keuntungan bagi dirinya sendiri.[11]
Orang-orang Kristen harus selalu menyadari bahwa, karena ada berbagai macam karisma, mereka adalah bagian yang unik dari sebuah Tubuh, karena kesatuan mereka dengan Kristus. Kristus menyatukan Tubuh. Pemikiran ini akan dikembangkan lagi oleh Paulus, ketika ia merenungkan kiasan tentang tubuh dengan kiasan Kristus sebagai Kepala Tubuh.[12]
[1] Rom 12:4
[2] Hos 6:6.
[3] Lih. Rom 12:1-2.
[4] Lih. Rom 12:3, 16.
[5] Rom 12:9-11, 13-17, 12; 13:10.
[6] Lih. Rom 12:19-20.
[7] Rom 5:18-19.
[8] Rom 12:4-5.
[9] Rom 12:6-8.
[10] 1 Kor 14:12.
[11] Lih. 1 Kor 14:4.
[12] Lih. Kol 2:19; Ef 1:22; 5:23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar