«Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil, sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus. Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut. Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik. Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil, tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara. Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita, karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus. Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku (Flp 1:12-20).»
8. “Kamu adalah Bait Allah.”[1]
Paulus menggunakan kiasan “bait” dan “bangunan” untuk menggambarkan kesatuan antara Kristus dan anggota-anggota dari Tubuh Mistik-Nya.
Mula-mula, tampaknya gambaran “bait” dan “bangunan” tidak begitu tepat untuk mengungkapkan sifat kedekatan dari kesatuan, sebab gambaran-gambaran ini menunjuk pada suatu tempat dimana para beriman “hadir” maka pengandaiannya dengan itu seakan-akan sesuatu yang ada di luar dan bukan di dalam. Sedangkan kenyataannya, dengan memberi gambaran itu mau diungkapkan kesatuan yang intim diantara mereka yang membentuk bait itu dengan Allah yang tinggal di dalamnya.
Paulus menulis dalam Surat Pertamanya kepada jemaat di Korintus: “Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. […] Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu.”[2] Dan lagi: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?”[3]
Dalam Surat yang Kedua kepada jemaat di Korintus, Paulus menegaskan: “Kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: ‘Aku akan diam bersama-sama dengan mereka .…’”[4]
St. Petrus menyatakan: “Datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, […] Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.”[5]
Ungkapan “bait Roh Kudus” adalah sama dengan yang disebut sebagai “bait rohani.” Seseorang tidak dapat sungguh-sungguh sebuah bait Roh, jika ia tidak disucikan dari dalam, melalui keikutsertaan dalam kekudusan dengan Dia yang tinggal di dalam kita. Kekudusan adalah satu-satunya jaminan kesatuan yang intim diantara Kristus dengan kita.
Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Efesus, ia sekali lagi memakai gambaran Gereja sebagai sebuah Bangunan Allah. Ia mengingatkan situasi jemaat Efesus dulu yang hina: “Bahwa dahulu kamu--sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ‘sunat’, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, -- bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.” Pada saat yang sama ia mengingatkan mereka juga tentang rencana penyelenggaraan ilahi yang baru. Melalui rahmat Penebusan, mereka dipanggil untuk menghayati kehidupan adikodrati, sama seperti dulu diberikan kepada umat Israel dengan hak-hak yang persis sama. “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, […] untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”[6]
Ajaran Konsili Vatikan kedua menggarisbawahi ide tentang Gereja sebagai “satu” Umat Allah: “Namun Allah bermaksud menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci. […] Kepala umat masehi itu Kristus […] Seperti Israel menurut daging, yang mengembara di padang gurun, sudah disebut Gereja (jemaat) Allah (lih. Neh. 13:1; Bil 20:4; Ul 23:1 dst), begitu pula Israel baru, yang berjalan dalam masa sekarang dan mencari kota yang tetap di masa mendatang (lih. Ibr 13:14), juga desebut Gereja Kristus (lih. Mat 16:18). Sebab Ia sendiri telah memperolehnya dengan darah-Nya (lih. Kis 2028), memenuhinya dengan Roh-Nya, dan melengkapinya dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial. Allah memanggil untuk berhimpun mereka, yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus, pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian. Ia membentuk mereka menjadi Gereja, supaya bagi semua dan setiap orang menjadi sakramen kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu.”[7]
Paulus menulis kepada jemaat di Efesus bahwa Kristus telah menyatukan seluruh umat manusia menjadi satu umat: “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.”[8]
Perlu dicatat di sini bahwa ungkapan “dalam Kristus Yesus,” dipakai 34 kali dalam Surat Efesus. Hanya dalam kesatuan dengan Kristus keseluruhan Bangunan, yakni Gereja, dapat berdiri sebagai satu bagunan yang kokoh, menemukan kesatuannya dan membentuk sebuah Bait Kudus di dalam Tuhan. Semua para beriman dimasukkan ke dalam Kristus, tanpa pembedaan Yahudi dan bukan Yahudi: semuanya bersama-sama menyumbang kepada tempat tinggal Allah di dalam Roh Kudus.
8. “Kamu adalah Bait Allah.”[1]
Paulus menggunakan kiasan “bait” dan “bangunan” untuk menggambarkan kesatuan antara Kristus dan anggota-anggota dari Tubuh Mistik-Nya.
Mula-mula, tampaknya gambaran “bait” dan “bangunan” tidak begitu tepat untuk mengungkapkan sifat kedekatan dari kesatuan, sebab gambaran-gambaran ini menunjuk pada suatu tempat dimana para beriman “hadir” maka pengandaiannya dengan itu seakan-akan sesuatu yang ada di luar dan bukan di dalam. Sedangkan kenyataannya, dengan memberi gambaran itu mau diungkapkan kesatuan yang intim diantara mereka yang membentuk bait itu dengan Allah yang tinggal di dalamnya.
Paulus menulis dalam Surat Pertamanya kepada jemaat di Korintus: “Karena kami adalah kawan sekerja Allah; kamu adalah ladang Allah, bangunan Allah. Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. […] Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu.”[2] Dan lagi: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?”[3]
Dalam Surat yang Kedua kepada jemaat di Korintus, Paulus menegaskan: “Kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: ‘Aku akan diam bersama-sama dengan mereka .…’”[4]
St. Petrus menyatakan: “Datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, […] Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah.”[5]
Ungkapan “bait Roh Kudus” adalah sama dengan yang disebut sebagai “bait rohani.” Seseorang tidak dapat sungguh-sungguh sebuah bait Roh, jika ia tidak disucikan dari dalam, melalui keikutsertaan dalam kekudusan dengan Dia yang tinggal di dalam kita. Kekudusan adalah satu-satunya jaminan kesatuan yang intim diantara Kristus dengan kita.
Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Efesus, ia sekali lagi memakai gambaran Gereja sebagai sebuah Bangunan Allah. Ia mengingatkan situasi jemaat Efesus dulu yang hina: “Bahwa dahulu kamu--sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya ‘sunat’, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, -- bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.” Pada saat yang sama ia mengingatkan mereka juga tentang rencana penyelenggaraan ilahi yang baru. Melalui rahmat Penebusan, mereka dipanggil untuk menghayati kehidupan adikodrati, sama seperti dulu diberikan kepada umat Israel dengan hak-hak yang persis sama. “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, […] untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”[6]
Ajaran Konsili Vatikan kedua menggarisbawahi ide tentang Gereja sebagai “satu” Umat Allah: “Namun Allah bermaksud menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci. […] Kepala umat masehi itu Kristus […] Seperti Israel menurut daging, yang mengembara di padang gurun, sudah disebut Gereja (jemaat) Allah (lih. Neh. 13:1; Bil 20:4; Ul 23:1 dst), begitu pula Israel baru, yang berjalan dalam masa sekarang dan mencari kota yang tetap di masa mendatang (lih. Ibr 13:14), juga desebut Gereja Kristus (lih. Mat 16:18). Sebab Ia sendiri telah memperolehnya dengan darah-Nya (lih. Kis 2028), memenuhinya dengan Roh-Nya, dan melengkapinya dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial. Allah memanggil untuk berhimpun mereka, yang penuh iman mengarahkan pandangan kepada Yesus, pencipta keselamatan serta dasar kesatuan dan perdamaian. Ia membentuk mereka menjadi Gereja, supaya bagi semua dan setiap orang menjadi sakramen kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu.”[7]
Paulus menulis kepada jemaat di Efesus bahwa Kristus telah menyatukan seluruh umat manusia menjadi satu umat: “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.”[8]
Perlu dicatat di sini bahwa ungkapan “dalam Kristus Yesus,” dipakai 34 kali dalam Surat Efesus. Hanya dalam kesatuan dengan Kristus keseluruhan Bangunan, yakni Gereja, dapat berdiri sebagai satu bagunan yang kokoh, menemukan kesatuannya dan membentuk sebuah Bait Kudus di dalam Tuhan. Semua para beriman dimasukkan ke dalam Kristus, tanpa pembedaan Yahudi dan bukan Yahudi: semuanya bersama-sama menyumbang kepada tempat tinggal Allah di dalam Roh Kudus.
«Pejabat Agripa berkata:”Saya berkeyakinan bahwa Paulus harus dihukum pancung sebagai musuh agama.” Nero menjawab: “Kamu telah mengadili dengan benar” … Lalu Paulus diseret dengan rantai ke tempat pemancungannya, tiga mil jaraknya dari kota. … Mereka memenggal kepalanya, dekat pohon pinus, di pancuran Aquas Salvias (sekarang dikenal sebagai ‘Three Fountains’). … Jenazahnya dimakamkan di Via Otista, dua mil dari kota. … Rasul Petrus dan Paulus menemui ajalnya pada tanggal 29 Juni (Kisah Rasul Petrus dan Paulus yang berbahagia oleh Pseudo-Marcello, 79-80.87-88).»
9. “Kamu adalah Surat Kristus.”[9]
Paulus masing menggunakan satu kiasan lagi untuk menggambarkan Gereja – “sepucuk Surat dari Kristus.”
Dalam Surat kedua kepada jemaat di Korintus, dalam pembicaraan tentang pembelaan dirinya melawan tuduhan musuh-musuhnya bahwa ia sombong dan tinggi hati, sebab ia sepertinya memuji dirinya sendiri[10] dan telah bertindak terlalu keras,[11] menyatakan bahwa, berbeda dengan yang lain, Paulus tidak memerlukan “surat rekomendasi” bagi orang untuk menerimanya.[12] Ia menulis atas nama para diakon Febe kepada umat di Roma,[13] Timotius[14] dan Titus[15] kepada umat di Korintus dan Onesimus kepada Filemon,[16] tetapi tidak untuk dirinya sendiri.
Rasa berbangga diri dan kesombongannya berasal dari pekerjaannya dalam pelayanan kerasulannya: “Inilah yang kami megahkan, yaitu bahwa suara hati kami memberi kesaksian kepada kami, bahwa hidup kami di dunia ini, khususnya dalam hubungan kami dengan kamu, dikuasai oleh ketulusan dan kemurnian dari Allah bukan oleh hikmat duniawi, tetapi oleh kekuatan kasih karunia Allah.”[17] Salah satu hasil dari pelayanannya adalah terbentuknya jemaat di Korintus. Karena alasan itu ia menulis: “Kamu adalah kebanggaanku dalam Yesus Kristus, saudara-saudara.”[18]
Dia bangga karena menjalankan kerasulannya tanpa upah, kerja dengan tangannya sendiri sehingga tidak menjadi beban bagi siapa pun, apalagi bagi mereka yang telah diwartakannya Injil.[19] Mengenai hal ini ia menulis kepada jemaat di Korintus: “kemegahanku itu tidak akan dirintangi oleh siapapun.”[20]
Alasan lain dari kemegahan Paulus adalah kelemahannya: “Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku,”[21] dan penderitaannya: “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”[22]
Untuk membuat dirinya dikenal sebagai rasul, ia cukup menunjukkan pertobatan orang-orang Korintus dan Gereja yang didirikannya. Mereka memberi kesaksian tentang siapa dia: “Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan kita? Bukankah kamu adalah buah pekerjaanku dalam Tuhan? Sekalipun bagi orang lain aku bukanlah rasul, tetapi bagi kamu aku adalah rasul. Sebab hidupmu dalam Tuhan adalah meterai dari kerasulanku.”[23]
Jika Paulus harus membutuhkan sebuah surat rekomendasi, Paulus memiliki surat yang tertera dalam hati dan yang sungguh hidup dengan Injil. Dia menulis kepada jemaat di Korintus: “Kamu adalah surat pujian kami!” Itu sungguh surat yang istimewa, sebab ditulis “dalam hati kami.” Meskipun surat yang demikian dapat disimpan di dalam hati yang terdalam dan di tempat yang tersembunyi dalam hati, namun ia “dikenal dan dapat dibaca oleh semua orang,” sebab Jemaat di Korintus “adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” Sekali lagi, surat ini tidak ditulis dari dirinya sendiri tetapi ditulis “dengan Roh Allah yang hidup.”[24] Paulus menekankan bahwa ia bertindak hanya sebagai juru tulis; surat itu bukan miliknya tetapi milik Kristus. Sebagai kesimpulan ia mengakui dengan rendah hati bahwa hanya oleh rahmat Allah ia mampu melaksanakan perannya sebagai alat yang sederhana dalam menulis surat yang Hidup, yakni, pemberitaan Injil kepada jemaat Korintus: “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah. Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru, yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.”[25]
Kesimpulan
Kami berharap bahwa pesan Paulus – “Demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain”[26] – dapat membuat para pembaca berhenti sejenak dan merenungkan seruannya.
Paus Pius XII menyerukan kerinduan yang sama, ketika ia menerbitkan Ensiklik Mystici Corporis. Penyelesaian seperti ini berguna juga bagi mereka yang bukan dari kalangan Gereja, sebab “sebelum bangsa-bangsa bangkit melawan bangsa-bangsa, […] dan pertikaian dengan benih-benih dengki dan kebencian ditaburkan dimana-mana, jika menoleh kepada Gereja dan merenungkan kesatuannya yang istimewa – yang menyatukan seluruh manusia dari berbagai bangsa di dalam Kristus dalam ikatan persaudaraan – mereka akan tergerak untuk mengagumi kebersamaan dalam kasih ini, dan dengan bimbingan dan bantuan rahmat mereka akan rindu untuk ambil bagian dalam kesatuan dan kasih yang sama.”[27]
Orang-orang Kristen pertama-tama harus ingat bahwa Kristus wafat “untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai,”[28] untuk memulihkan kesatuan yang pernah ada ketika umat manusia diciptakan,[29] dan membuat semua bangsa “satu kawanan dan satu gembala.”[30]
Mereka harus menyimpan dalam hati mereka seruan Paulus, Rasul bagi semua bangsa: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu, […] berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”[31] Hanya dengan cara ini orang-orang Kristen dapat “dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus.”[32]
Perpecahan diantara umat Kristen jaman ini “secara jelas bertentangan dengan kehendak Kristus, menjadi skandal bagi dunia, dan merusak alasan suci untuk mewartaan Injil kepada semua makhluk.”[33]
Paus Yohanes Paulus II, dalam Ensikliknya Ut Unum Sint (25 Mei 1995), yang mengajak semua orang Kristen memperbaiki perpecahan di dalam agama-agama Kristen menyatakan: “Kesatuan dari semua kemanusiaan yang terpecah belah adalah kehendak Allah. Karena itu Ia mengutus Putra-Nya, supaya dengan wafat dan bangkit untuk kita Dia dapat mencurahkan bagi kita Roh Cinta kasih. Pada malam menjelang pengorbanan-Nya di salib, Yesus sendiri berdoa kepada Bapa bagi murid-murid-Nya dan bagi semua yang percaya kepada-Nya, bahwa semoga mereka bersatu, sebuah persekutuan yang hidup. Ini adalah dasar bukan saja merupakan kewajiban, tetapi juga tanggungjawab dihadapan Allah dan rencana-Nya, yang menjadi tanggungan semua yang melalui baptisan menjadi anggota dari Tubuh Kristus, sebuah Tubuh tempat kepenuhan dari rekonsiliasi dan persekutuan terjadi. Bagaimana mungkin kita tetap terpisah, jika kita telah ‘dikubur’ melalui Baptisan dalam kematian Tuhan, yang dalam tindakan Allah telah menghancurkan tembok –tembok pemisahan melalui kematian Putera-Nya?”[34]
Jika tubuh manusiawi adalah kiasan dari Gereja, maka Gereja pada gilirannya harus menjadi gambaran ideal dari seluruh bangsa manusia. Semua pengikut Kristus, dengan kesaksian mereka tentang persekutuan, harus menumbuhkan kekaguman yang sama untuk jaman ini bagi orang-orang lain, sama seperti pada awal mula jemaat Kristen: “Lihatlah, betapa mereka saling mengasihi, […] bagaimana mereka bersedia bahkan mati satu bagi yang lain!”[35]
Diterjemahkan oleh:
Al. Lioe Fut Khin, MSF
Untuk Suster-suster SPC
Banjarmasin, 4 Mei 2009
Banjarmasin, 4 Mei 2009
[1] 1 Kor 3:16.
[2] 1 Kor 3:9-13, 16-17.
[3] 1 Kor 6:19; bdk. 2 Kor 6:16; Ef 2:20-22.
[4] 2 Kor 6:16; bdk 1 Kor 3:16.
[5] 1 Ptr 2:4-5. Seneca juga membandingkan masyarakat dengan sebuah bangunan, untuk menekankan perlunya kesatuan diantara para anggotanya: “Hubungan kita satu dengan yang lain adalah seperti sebuah bangunan, yang akan runtuh jika batu-batunya tidak saling menunjang satu sama lain, dan yang berdiri hanya demi alasan ini” (Seneca, Moral Epistle to Lucilius, XCV,53)
[6] Ef 2:11-16.
[7] Lumen Gentium 9.
[8] Ef 2:19-22.
[9] 2 Kor 3:3.
[10] Lih. 1 Kor 2:6, 16; 7:8, 25, 40; 9:1-23; 11:1; 14:18; 15:10.
[11] Lih. 1 Kor 4:18-21; 2 Kor 10:1-2.
[12] Lih. 2 Kor 3:1.
[13] Lih. Rom 16:1.
[14] Lih. 1 Kor 16:10-11.
[15] Lih. 2 Kor 8:23-24.
[16] Lih. Flm 17.
[17] 2 Kor 1:12.
[18] 1 Kor 15:31.
[19] Lih. Kis 20:33-34; 1 Kor 4:12; 2 Kor 12:13-14; 1 Tes 2:9; 2 Tes 3:8.
[20] 2 Kor 11:10.
[21] 2 Kor 11:30.
[22] Gal 6:14.
[23] 1 Kor 9:1-2.
[24] 2 Kor 3:2-3.
[25] 2 Kor 3:5-6.
[26] Rom 12:5.
[27] Pius XII, Mystici Corporis, 5.
[28] Yoh 11:52.
[29] Lih. Kej 11:6.
[30] Yoh 10:16; bdk. Kej 10:32; 11:8.
[31] Ef 4:1-6.
[32] Rom 15:6.
[33] Unitatis Redintegratio, 1.
[34] Yohanes Paulus II, Ut Unum Sint, 6.
[35] Tertulianus, The Apology, 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar