«Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar, dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem. Dalam perjalanannya ke Damsyik, ketika ia sudah dekat kota itu, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia. Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?" Jawab Saulus: "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat." Maka termangu-mangulah teman-temannya seperjalanan, karena mereka memang mendengar suara itu, tetapi tidak melihat seorang jugapun. Saulus bangun dan berdiri, lalu membuka matanya, tetapi ia tidak dapat melihat apa-apa; mereka harus menuntun dia masuk ke Damsyik. Tiga hari lamanya ia tidak dapat melihat dan tiga hari lamanya ia tidak makan dan minum.(Kis 9:1-9)»
“Satu Tubuh dan Satu Roh,
Satu Harapan, Satu Tuhan, Satu Iman,
Satu Baptisan, Satu Allah dan Bapa”[1]
Sesudah mengagungkan misteri penyelamatan yang terlaksana dalam Kristus, Paulus menulis dalam bagian teolgis dari Surat kepada jemaat di Efesus: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.”[2]
Untuk menghayati keutamaan yang disarankan oleh St. Paulus diperlukan kesatuan dalam roh, dengan kata lain, jiwa-jiwa yang bersatu diantara mereka sendiri dalam ikatan damai.
Paulus melihat dasar dari kesatuan yang harus ada diantara orang-orang Kristen. Mereka membentuk satu Tubuh, yang dijiwai oleh Roh Kudus yang sama; mereka memiliki satu harapan yang membuat mereka berjuang mengejar satu tujuan – menjadi milik Allah dalam keabadian; mereka digembalakan oleh satu Tuhan; mereka mengakui satu iman; mereka dilahirkan untuk hidup adikodrati melalui satu baptisan; dan mereka memuliakan satu Allah, yang adalah “Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”[3]
St. Siprianus mengomentari kutipan dari St. Paulus ini dengan gambaran yang jelas: “Gereja juga adalah satu, tersebar jauh kemana-mana dengan jumlah yang besar yang terus menerus bertumbuh. Ada banyak sinar cahaya, tetapi hanya ada satu matahari; banyak cabang pohon, hanya satu sumber kehidupan dalam akar-akarnya yang kuat; dan dari mata air yang satu mengalir banyak arus. Dengan cara yang sama, meskipun mereka bisa hadir dengan bebas dalam kelimpahan, kesatuan tetap dijaga dalam satu sumber. Memisahkan sinar cahaya dari matahari tidaklah mungkin karena kesatuan mereka; mematahkan cabang dari pohon, jika itu terjadi ia tidak akan dapat lagi hidup; memotong arus dari sumber mata air akan membuatnya kering. Hal yang sama terjadi dengan Gereja; bercahaya bersama terang dari Tuhan, Gereja memancarkan cahayanya keseluruh dunia, namun tetap ada satu cahaya yang dibiaskan kemana-mana, tanpa merugikan kesatuan Tubuh. Ia dengan murah hati memperpanjang cabang-cabangnya ke seluruh dunia. Ia membiarkan sungai-sungai mengalir dengan bebas, namun Kepalanya tetap satu, sumbernya satu. Gereja adalah Bunda yang satu, kaya berlimpah: dari rahimnya kita lahir, oleh susunya kita dikenyangkan dan oleh semangatnya kita hidup.”[4]
Keberagaman karisma - yakni, kenyataan bahwa Gereja terdiri dari para rasul, para nabi, penginjil, gembala dan guru – bukannya mengancam kesatuan, tetapi sebaliknya meneguhkan, sebab semua karunia-karunia datang dari Allah dan dicurahkan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.”[5]
Sebagaimana yang dapat dilihat, Paulus memakai dua gambaran yang berbeda dalam kutipan ini: sebuah tubuh dan sebuah bangunan,[6] dua konsep yang telah dikembangkan.[7] Tubuh dapat dianggap hanya sebagai badan yang berbeda dengan kepala atau dapat dilihat sebagai satu kesatuan.
Sama seperti tubuh manusia memiliki banyak bagian-bagian, orang-orang Kristen berasal dari berbagai bangsa; ada orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi, orang-orang dari lapisan masyarakat yang berbeda; budak-budak dan orang merdeka;[8] namun di atas semuanya, tiap-tiap orang dikarunia karisma yang khas.[9]
Keberagaman tidak mengancam kesatuan. Kenyataannya, Paulus menunjuk apa yang menjadi dasar untuk kesatuan ini: Roh Kudus, Baptis dan Ekaristi.
Dengan jelas Paulus menyatakan bahwa Roh Kudus menyatukan orang-orang Kristen dalam satu Tubuh: “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”[10]
Pernyataan ini dengan mudah membantu kita memahami teks-teks lainnya. Paulus mendorong para beriman dari Efesus untuk tetap “bersatu dalam Roh dalam ikatan damai,” dengan kasadaran bahwa: “satu Tubuh dan satu Roh.”[11] Paulus juga mengingatkan bahwa “(Yahudi dan bukan Yahudi) keduanya telah diperdamaikan dengan Allah dalam satu Tubuh […] oleh Dia kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.”[12]
Dengan keberagamannya, karisma memiliki sumber yang sama: “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh;[13] tiap-tiap orang memiliki karunia khusus,[14] tetapi “semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya.”[15]
Roh Kudus bukan hanya prinsip yang membentuk Tubuh Gereja tetapi juga prinsip yang memberi kehidupan bagi Tubuh. Kepala dan jiwa diperlukan bagi tubuh untuk hidup. Tubuh Gereja memiliki Kristus sebagai Kepala dan Roh Kudus sebagai Jiwanya.
Roh Kudus tinggal di dalam Gereja dan dalam tiap orang beriman sebagaimana Ia tinggal dalam sebuah Bait: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah?”[16] Sebagai tamu bagi jiwa, Roh Kudus selalu berkarya; dibawah inspirasinya buah-buah rohani kehidupan berkembang. Paulus menyebutnya: “Roh Kehidupan.”[17] Keseluruhan kumpulan keutamaan adalah “buah Roh Kudus.”[18] Roh Kudus menghasilkan karunia-karunia[19] dan mewahyukan kepada Rasul “misteri agung” yang menjadi ide dasar dari Injilnya, sebab Roh menyelidiki kedalaman Allah yang mewahyukan kehendak-Nya.[20] “Allah adalah Kasih.”[21] “Karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”[22]
Melalui kesatuan yang akrab yang diciptakan oleh Roh Kudus, karya kita menjadi karyanya dan tindakannya menjadi tindakan kita, sebab kita tinggal dan bergerak dalam Dia.[23] Roh Kudus lah yang memunculkan dari hati ke bibir kita sebutan “Bapa” yang sekaligus memberi kesaksian bahwa kita adalah anak-anak Allah.[24] Sebab Roh Kudus adalah Roh Tuhan, melalui Dia kita menjadi “serupa” dengan gambar Putera Allah, sebab “dia yang disatukan dengan Tuhan menjadi satu roh dengan-Nya.”[25] Karena itu setiap kali Paulus berbicara tentang “perubahan” adikodrati kita, dia menyatakan bahwa itu adalah campur tangan Roh Allah sendiri.[26]
St. Paulus juga melihat baptisan sebagai suatu ikatan yang lain yang menyatukan umat beriman dengan Tubuh Mistik.[27]
Menurut arti katanya, “membaptis” berarti “menenggelamkan” dan ritus lama Gereja menjelaskan secara konkrit arti ini. Melalui penenggelaman, katekumen “dikuburkan” dalam air baptis, yang melambangkan kematian dan pemakaman Kristus. Baptisan baru yang bangkit dari air baptis melambangkan kebangkitan Penyelamat.
Hal ini bukan hanya sebuah tindakan simbolis. Melalui penerimaan Sakramen Baptis, baptisan baru disatukan dengan Kristus, melalui keikutsertaan nyata dalam kematian dan kebangkitan mulia: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.”[28]
Kesatuan dengan Kristus ini menjadi dasar untuk kesatuan para beriman. Orang-orang Kristen dijadikan satu Tubuh melalui Pembaptisan: “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”[29] Dan setiap perbedaan kebangsaan dan status sosial ditiadakan: “Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”[30]
Dalam Surat Galatia, Paulus mengarisbawahi dua akibat dari Pembaptisan: “mengenakan Kristus” dan “menjadi satu dalam Kristus.”[31]
Simbol ketiga dan sumber kesatuan Gereja adalah Ekaristi: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.”[32]
Jalan pikiran Paulus didasarkan pada konsep “komunio,” yang pertama-tama akan kita mengerti dalam arti umum menurut pengertian budaya Semit, yakni “perjamuan yang dirayakan secara umum,” dan kemudian dalam arti khusus, dalam penerapannya pada Perjamuan Suci.
Rumusan: “satu roti, satu tubuh” mengungkapkan dengan jelas rasa persekutuan yang terjalin diantara para peserta dengan satu kenyataan makan bersama.
Perlu disadari bahwa bagi orang-orang jaman dulu, terutama bagi orang Timur dan orang Timur Tengah, memecahkan roti dengan seseorang sama artinya menjadi satu keluarga dalam arti tertentu, mempunyai hubungan darah.
Mentalitas Semit yang mendalam ini terhadap para peserta pada sebuah perjamuan menjadi kenyataan yang hidup, ketika halnya menyangkut Roti Ekaristi: Tubuh dan Darah Kristus sungguh-sungguh menjadi bagian dari tubuh dan darah kita. Karena itu Darah yang sama mengalir dalam nadi mereka yang makan Roti Ekaristi.
Paulus, sesudah mengakhiri pembicaraan tentang perkawinan dalam Surat Pertama Korintus[33] kembali ke masalah “komunio” dengan Tubuh Kristus dan sebuah diskusi tentang masalah daging yang dipersembahkan kepada berhala-berhala.[34] Dari konteksnya tampaknya orang-orang Korintus mempertanyakan bagaimana mereka harus bersikap dan apakah diperbolehkan ikut serta dalam perjamuan korban dengan orang-orang yang tidak beriman. Paulus menjawab jelas bahwa hal ini tidak dibenarkan, sebab memakan daging yang dipersembahkan kepada berhala sama dengan berkorban untuk hantu-hantu dan ikut dalam persekutuan dengan mereka.[35] Karena orang-orang Kristen telah memiliki persekutuan dengan Tubuh Kristus melalui Ekaristi,[36] maka ini harus meniadakan yang lainnya.[37]
Kemudian Paulus memberikan refleksi dalam tanda kurung untuk mengingatkan arti mistik dari Sakramen Ekaristi: “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.”[38] Karena itu, ciri khas dari roti Ekaristi adalah sumber kesatuan diantara pengikut-pengikut Kristus.
Roti yang satu ini sungguh-sungguh Tubuh Kristus, keseluruhan Kristus. Roti itu satu, karena Kristus yang satu yang diterimakan setiap kali Ekaristi dirayakan mengatasi segala ruang dan waktu. Kesatuan Ekaristi dan Kristus menjadi hal mendasar bagi kesatuan diantara umat Kristen.
St. Yohanes Damasenus (675-749) berkomentar: “Ekaristi dikatakan komunio dan memang demikian, sebab melaluinya kita disatukan. Karena kita ambil bagian dalam satu roti, semua menjadi satu Tubuh Kristus dan satu Darah, dan menjadi anggota satu sama lain, satu Tubuh dalam Kristus.”[39]
Ekaristi adalah “sakramen belas kasih, tanda kesatuan, ikatan amal kasih.”[40] Buku Didache (“Pengajaran dari Dua Belas rasul”), yang ditulis sekitar tahun 70 dan 80 M., memuat sebuah doa yang menggunkan kiasan yang indah tentang kesatuan umat Kristen dalam Ekaristi: “Bapa kami, sebagaimana roti yang dipecah-pecahkan ini, tadinya tersebar dilereng-lereng bukit, dan yang telah dikumpulkan menjadi satu, semoga Gereja-Mu dikumpulkan bersatu dari segala ujung bumi ke dalam kerajaan-Mu.”[41]
Menyadari hal ini, Paulus sangat terpukul melihat perpecahan di antara umat Kristen di Korintus, ketika mereka ikut ambil bagian dan Perjamuan Ekaristi.[42] Mereka bukannya bersatu satu sama lain dalam merayakan misteri persatuan dan persaudaraan yang paling penting, tetapi membentuk kelompok-kelompok: yang kaya memisahkan diri dari yang miskin sehingga: “yang seorang lapar, dan yang lain mabuk;” masing-masing memakan dahulu makanannya sendiri.[43]
Betapa bertentangan apa yang menjadi prinsip dengan kenyataan! Bagaimana mungkin orang melecehkan kasih, persaudaraan dan kesatuan itu sendiri sementara orang ambil bagian dalam Roti Ekaristi yang menyatukan semua umat Kristen? Sakramen Kesatuan menjadi kesempatan perpecahan; itu “bukan lagi berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan.”[44]
Dengan seruan yang penuh semangat, Paulus memohon supaya Perjamuan Ekaristi kembali menjadi perjamuann persekutuan dan bahwa tidak ada sebuah kelompok atau pribadi karena keistimewaannya dapat menyalahgunakan Sakramen kesatuan: “Karena itu, saudara-saudaraku, jika kamu berkumpul untuk makan, nantikanlah olehmu seorang akan yang lain.”[45]
Kesatuan yang demikian akan menjadi tanda yang membedakan umat Kristen yang sejati dengan yang hanya namanya saja kristen: “Sebab di antara kamu harus ada perpecahan, supaya nyata nanti siapakah di antara kamu yang tahan uji.”[46]
Mystici Corporis juga menekankan bahwa melalui Ekaristi kesatuan Tubuh Mistik Kristus dengan Kepala mencapai tinggkatan yang paling tinggi yang mungkin dalam kehidupan di dunia ini: “Melalui Korban Ekaristi, Kristus Tuhan kita dengan rela memberikan kepada para beriman ungkapan yang mencolok tentang kesatuan diantara kita sendiri dan dengan Kepala ilahi, yang mengagumkan dan mengatasi segala pujian. Sebab dalam Korban ini pelayan suci bertindak sebagai wakil, bukan hanya dari Penyelamat kita tetapi juga dari keseluruhan Tubuh Mistik dan dari tiap-tiap umat beriman. Dalam tindakan pengorbanan ini, melalui tangan-tangan imam, yang melalui kata-katanya Anak Domba yang Tak Bercela hadir di atas altar, sementara para beriman sendiri, disatukan dalam doa dan kerinduannya, mempersembahkan kepada Bapa Kekal korban yang paling berkenan dengan pujian dan permohonan bagi kebutuhan keseluruhan Gereja.”[47]
[1] Ef 4:4-6
[2] Ef 4:1-3.
[3] Ef 4:6; lih. 4:4-6.
[4] St. Siprianus, On the Unity of the Catholic Church, 5.
[5] Lih. Ef 4:11-13.
[6] Lih. Ef 4:12, 16.
[7] Lih. Ef 2:19-22.
[8] Lih. 1 Kor 12:13.
[9] Lih. 1 Kor 12:8-10; Rom 12:6-8; Ef 4:7-11.
[10] 1 Kor 12:13.
[11] Ef 4:3-4.
[12] Ef 2:16, 18.
[13] 1 Kor 12:4.
[14] Lih. 1 Kor 12:11.
[15] 1 Kor 12:11.
[16] 1 Kor 6:19; lih. 1 Kor 3:16-17; 2 Kor 6:16; Rom 8:11; Ef 2:22; 3:17.
[17] Rom 8:2; lih. Yoh 6:63.
[18] Gal 5:22-23.
[19] Lih. 1 Kor 12:4.
[20] Lih. 1 Kor 2:10.
[21] 1 Yoh 4:8.
[22] Rom 5:5.
[23] Lih. Rom 8:5, 9; Gal 5:16, 18, 25.
[24] Lih. Rom 8:14-17.
[25] Lih. 1 Kor 6:17.
[26] Lih. 2 Kor 3:18.
[27] Lih. 1 Kor 12:13.
[28] Rom 6:3-5.
[29] 1 Kor 12:13.
[30] Gal 3:27-28.
[31] Lih. Gal 3:27-28.
[32] 1 Kor 10:16-17.
[33] Lih. 1 Kor 7:1-40.
[34] Lih. 1 Kor 8:1-13; 10:14-30.
[35] 1 Kor 10:20.
[36] 1 Kor 10:16.
[37] 1 Kor 10:21.
[38] 1 Kor 10:17.
[39] St. John Damascene, An Exact Exposition of the Orthodox Faith, IV, 14.
[40] St. Agustine, Tractates on the Gospel of John, 26, 13.
[41] Didache, 9, 4.
[42] 1 Kor 11:18.
[43] 1 Kor 11:21.
[44] 1 Kor 11:20.
[45] 1 Kor 11:33.
[46] 1 Kor 11:19.
[47] Pius XII, Mystici Corporis, 82.
“Satu Tubuh dan Satu Roh,
Satu Harapan, Satu Tuhan, Satu Iman,
Satu Baptisan, Satu Allah dan Bapa”[1]
Sesudah mengagungkan misteri penyelamatan yang terlaksana dalam Kristus, Paulus menulis dalam bagian teolgis dari Surat kepada jemaat di Efesus: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.”[2]
Untuk menghayati keutamaan yang disarankan oleh St. Paulus diperlukan kesatuan dalam roh, dengan kata lain, jiwa-jiwa yang bersatu diantara mereka sendiri dalam ikatan damai.
Paulus melihat dasar dari kesatuan yang harus ada diantara orang-orang Kristen. Mereka membentuk satu Tubuh, yang dijiwai oleh Roh Kudus yang sama; mereka memiliki satu harapan yang membuat mereka berjuang mengejar satu tujuan – menjadi milik Allah dalam keabadian; mereka digembalakan oleh satu Tuhan; mereka mengakui satu iman; mereka dilahirkan untuk hidup adikodrati melalui satu baptisan; dan mereka memuliakan satu Allah, yang adalah “Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.”[3]
St. Siprianus mengomentari kutipan dari St. Paulus ini dengan gambaran yang jelas: “Gereja juga adalah satu, tersebar jauh kemana-mana dengan jumlah yang besar yang terus menerus bertumbuh. Ada banyak sinar cahaya, tetapi hanya ada satu matahari; banyak cabang pohon, hanya satu sumber kehidupan dalam akar-akarnya yang kuat; dan dari mata air yang satu mengalir banyak arus. Dengan cara yang sama, meskipun mereka bisa hadir dengan bebas dalam kelimpahan, kesatuan tetap dijaga dalam satu sumber. Memisahkan sinar cahaya dari matahari tidaklah mungkin karena kesatuan mereka; mematahkan cabang dari pohon, jika itu terjadi ia tidak akan dapat lagi hidup; memotong arus dari sumber mata air akan membuatnya kering. Hal yang sama terjadi dengan Gereja; bercahaya bersama terang dari Tuhan, Gereja memancarkan cahayanya keseluruh dunia, namun tetap ada satu cahaya yang dibiaskan kemana-mana, tanpa merugikan kesatuan Tubuh. Ia dengan murah hati memperpanjang cabang-cabangnya ke seluruh dunia. Ia membiarkan sungai-sungai mengalir dengan bebas, namun Kepalanya tetap satu, sumbernya satu. Gereja adalah Bunda yang satu, kaya berlimpah: dari rahimnya kita lahir, oleh susunya kita dikenyangkan dan oleh semangatnya kita hidup.”[4]
Keberagaman karisma - yakni, kenyataan bahwa Gereja terdiri dari para rasul, para nabi, penginjil, gembala dan guru – bukannya mengancam kesatuan, tetapi sebaliknya meneguhkan, sebab semua karunia-karunia datang dari Allah dan dicurahkan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.”[5]
Sebagaimana yang dapat dilihat, Paulus memakai dua gambaran yang berbeda dalam kutipan ini: sebuah tubuh dan sebuah bangunan,[6] dua konsep yang telah dikembangkan.[7] Tubuh dapat dianggap hanya sebagai badan yang berbeda dengan kepala atau dapat dilihat sebagai satu kesatuan.
Sama seperti tubuh manusia memiliki banyak bagian-bagian, orang-orang Kristen berasal dari berbagai bangsa; ada orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi, orang-orang dari lapisan masyarakat yang berbeda; budak-budak dan orang merdeka;[8] namun di atas semuanya, tiap-tiap orang dikarunia karisma yang khas.[9]
Keberagaman tidak mengancam kesatuan. Kenyataannya, Paulus menunjuk apa yang menjadi dasar untuk kesatuan ini: Roh Kudus, Baptis dan Ekaristi.
Dengan jelas Paulus menyatakan bahwa Roh Kudus menyatukan orang-orang Kristen dalam satu Tubuh: “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”[10]
Pernyataan ini dengan mudah membantu kita memahami teks-teks lainnya. Paulus mendorong para beriman dari Efesus untuk tetap “bersatu dalam Roh dalam ikatan damai,” dengan kasadaran bahwa: “satu Tubuh dan satu Roh.”[11] Paulus juga mengingatkan bahwa “(Yahudi dan bukan Yahudi) keduanya telah diperdamaikan dengan Allah dalam satu Tubuh […] oleh Dia kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.”[12]
Dengan keberagamannya, karisma memiliki sumber yang sama: “Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh;[13] tiap-tiap orang memiliki karunia khusus,[14] tetapi “semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya.”[15]
Roh Kudus bukan hanya prinsip yang membentuk Tubuh Gereja tetapi juga prinsip yang memberi kehidupan bagi Tubuh. Kepala dan jiwa diperlukan bagi tubuh untuk hidup. Tubuh Gereja memiliki Kristus sebagai Kepala dan Roh Kudus sebagai Jiwanya.
Roh Kudus tinggal di dalam Gereja dan dalam tiap orang beriman sebagaimana Ia tinggal dalam sebuah Bait: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah?”[16] Sebagai tamu bagi jiwa, Roh Kudus selalu berkarya; dibawah inspirasinya buah-buah rohani kehidupan berkembang. Paulus menyebutnya: “Roh Kehidupan.”[17] Keseluruhan kumpulan keutamaan adalah “buah Roh Kudus.”[18] Roh Kudus menghasilkan karunia-karunia[19] dan mewahyukan kepada Rasul “misteri agung” yang menjadi ide dasar dari Injilnya, sebab Roh menyelidiki kedalaman Allah yang mewahyukan kehendak-Nya.[20] “Allah adalah Kasih.”[21] “Karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”[22]
Melalui kesatuan yang akrab yang diciptakan oleh Roh Kudus, karya kita menjadi karyanya dan tindakannya menjadi tindakan kita, sebab kita tinggal dan bergerak dalam Dia.[23] Roh Kudus lah yang memunculkan dari hati ke bibir kita sebutan “Bapa” yang sekaligus memberi kesaksian bahwa kita adalah anak-anak Allah.[24] Sebab Roh Kudus adalah Roh Tuhan, melalui Dia kita menjadi “serupa” dengan gambar Putera Allah, sebab “dia yang disatukan dengan Tuhan menjadi satu roh dengan-Nya.”[25] Karena itu setiap kali Paulus berbicara tentang “perubahan” adikodrati kita, dia menyatakan bahwa itu adalah campur tangan Roh Allah sendiri.[26]
St. Paulus juga melihat baptisan sebagai suatu ikatan yang lain yang menyatukan umat beriman dengan Tubuh Mistik.[27]
Menurut arti katanya, “membaptis” berarti “menenggelamkan” dan ritus lama Gereja menjelaskan secara konkrit arti ini. Melalui penenggelaman, katekumen “dikuburkan” dalam air baptis, yang melambangkan kematian dan pemakaman Kristus. Baptisan baru yang bangkit dari air baptis melambangkan kebangkitan Penyelamat.
Hal ini bukan hanya sebuah tindakan simbolis. Melalui penerimaan Sakramen Baptis, baptisan baru disatukan dengan Kristus, melalui keikutsertaan nyata dalam kematian dan kebangkitan mulia: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru. Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.”[28]
Kesatuan dengan Kristus ini menjadi dasar untuk kesatuan para beriman. Orang-orang Kristen dijadikan satu Tubuh melalui Pembaptisan: “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”[29] Dan setiap perbedaan kebangsaan dan status sosial ditiadakan: “Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”[30]
Dalam Surat Galatia, Paulus mengarisbawahi dua akibat dari Pembaptisan: “mengenakan Kristus” dan “menjadi satu dalam Kristus.”[31]
Simbol ketiga dan sumber kesatuan Gereja adalah Ekaristi: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.”[32]
Jalan pikiran Paulus didasarkan pada konsep “komunio,” yang pertama-tama akan kita mengerti dalam arti umum menurut pengertian budaya Semit, yakni “perjamuan yang dirayakan secara umum,” dan kemudian dalam arti khusus, dalam penerapannya pada Perjamuan Suci.
Rumusan: “satu roti, satu tubuh” mengungkapkan dengan jelas rasa persekutuan yang terjalin diantara para peserta dengan satu kenyataan makan bersama.
Perlu disadari bahwa bagi orang-orang jaman dulu, terutama bagi orang Timur dan orang Timur Tengah, memecahkan roti dengan seseorang sama artinya menjadi satu keluarga dalam arti tertentu, mempunyai hubungan darah.
Mentalitas Semit yang mendalam ini terhadap para peserta pada sebuah perjamuan menjadi kenyataan yang hidup, ketika halnya menyangkut Roti Ekaristi: Tubuh dan Darah Kristus sungguh-sungguh menjadi bagian dari tubuh dan darah kita. Karena itu Darah yang sama mengalir dalam nadi mereka yang makan Roti Ekaristi.
Paulus, sesudah mengakhiri pembicaraan tentang perkawinan dalam Surat Pertama Korintus[33] kembali ke masalah “komunio” dengan Tubuh Kristus dan sebuah diskusi tentang masalah daging yang dipersembahkan kepada berhala-berhala.[34] Dari konteksnya tampaknya orang-orang Korintus mempertanyakan bagaimana mereka harus bersikap dan apakah diperbolehkan ikut serta dalam perjamuan korban dengan orang-orang yang tidak beriman. Paulus menjawab jelas bahwa hal ini tidak dibenarkan, sebab memakan daging yang dipersembahkan kepada berhala sama dengan berkorban untuk hantu-hantu dan ikut dalam persekutuan dengan mereka.[35] Karena orang-orang Kristen telah memiliki persekutuan dengan Tubuh Kristus melalui Ekaristi,[36] maka ini harus meniadakan yang lainnya.[37]
Kemudian Paulus memberikan refleksi dalam tanda kurung untuk mengingatkan arti mistik dari Sakramen Ekaristi: “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.”[38] Karena itu, ciri khas dari roti Ekaristi adalah sumber kesatuan diantara pengikut-pengikut Kristus.
Roti yang satu ini sungguh-sungguh Tubuh Kristus, keseluruhan Kristus. Roti itu satu, karena Kristus yang satu yang diterimakan setiap kali Ekaristi dirayakan mengatasi segala ruang dan waktu. Kesatuan Ekaristi dan Kristus menjadi hal mendasar bagi kesatuan diantara umat Kristen.
St. Yohanes Damasenus (675-749) berkomentar: “Ekaristi dikatakan komunio dan memang demikian, sebab melaluinya kita disatukan. Karena kita ambil bagian dalam satu roti, semua menjadi satu Tubuh Kristus dan satu Darah, dan menjadi anggota satu sama lain, satu Tubuh dalam Kristus.”[39]
Ekaristi adalah “sakramen belas kasih, tanda kesatuan, ikatan amal kasih.”[40] Buku Didache (“Pengajaran dari Dua Belas rasul”), yang ditulis sekitar tahun 70 dan 80 M., memuat sebuah doa yang menggunkan kiasan yang indah tentang kesatuan umat Kristen dalam Ekaristi: “Bapa kami, sebagaimana roti yang dipecah-pecahkan ini, tadinya tersebar dilereng-lereng bukit, dan yang telah dikumpulkan menjadi satu, semoga Gereja-Mu dikumpulkan bersatu dari segala ujung bumi ke dalam kerajaan-Mu.”[41]
Menyadari hal ini, Paulus sangat terpukul melihat perpecahan di antara umat Kristen di Korintus, ketika mereka ikut ambil bagian dan Perjamuan Ekaristi.[42] Mereka bukannya bersatu satu sama lain dalam merayakan misteri persatuan dan persaudaraan yang paling penting, tetapi membentuk kelompok-kelompok: yang kaya memisahkan diri dari yang miskin sehingga: “yang seorang lapar, dan yang lain mabuk;” masing-masing memakan dahulu makanannya sendiri.[43]
Betapa bertentangan apa yang menjadi prinsip dengan kenyataan! Bagaimana mungkin orang melecehkan kasih, persaudaraan dan kesatuan itu sendiri sementara orang ambil bagian dalam Roti Ekaristi yang menyatukan semua umat Kristen? Sakramen Kesatuan menjadi kesempatan perpecahan; itu “bukan lagi berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan.”[44]
Dengan seruan yang penuh semangat, Paulus memohon supaya Perjamuan Ekaristi kembali menjadi perjamuann persekutuan dan bahwa tidak ada sebuah kelompok atau pribadi karena keistimewaannya dapat menyalahgunakan Sakramen kesatuan: “Karena itu, saudara-saudaraku, jika kamu berkumpul untuk makan, nantikanlah olehmu seorang akan yang lain.”[45]
Kesatuan yang demikian akan menjadi tanda yang membedakan umat Kristen yang sejati dengan yang hanya namanya saja kristen: “Sebab di antara kamu harus ada perpecahan, supaya nyata nanti siapakah di antara kamu yang tahan uji.”[46]
Mystici Corporis juga menekankan bahwa melalui Ekaristi kesatuan Tubuh Mistik Kristus dengan Kepala mencapai tinggkatan yang paling tinggi yang mungkin dalam kehidupan di dunia ini: “Melalui Korban Ekaristi, Kristus Tuhan kita dengan rela memberikan kepada para beriman ungkapan yang mencolok tentang kesatuan diantara kita sendiri dan dengan Kepala ilahi, yang mengagumkan dan mengatasi segala pujian. Sebab dalam Korban ini pelayan suci bertindak sebagai wakil, bukan hanya dari Penyelamat kita tetapi juga dari keseluruhan Tubuh Mistik dan dari tiap-tiap umat beriman. Dalam tindakan pengorbanan ini, melalui tangan-tangan imam, yang melalui kata-katanya Anak Domba yang Tak Bercela hadir di atas altar, sementara para beriman sendiri, disatukan dalam doa dan kerinduannya, mempersembahkan kepada Bapa Kekal korban yang paling berkenan dengan pujian dan permohonan bagi kebutuhan keseluruhan Gereja.”[47]
[1] Ef 4:4-6
[2] Ef 4:1-3.
[3] Ef 4:6; lih. 4:4-6.
[4] St. Siprianus, On the Unity of the Catholic Church, 5.
[5] Lih. Ef 4:11-13.
[6] Lih. Ef 4:12, 16.
[7] Lih. Ef 2:19-22.
[8] Lih. 1 Kor 12:13.
[9] Lih. 1 Kor 12:8-10; Rom 12:6-8; Ef 4:7-11.
[10] 1 Kor 12:13.
[11] Ef 4:3-4.
[12] Ef 2:16, 18.
[13] 1 Kor 12:4.
[14] Lih. 1 Kor 12:11.
[15] 1 Kor 12:11.
[16] 1 Kor 6:19; lih. 1 Kor 3:16-17; 2 Kor 6:16; Rom 8:11; Ef 2:22; 3:17.
[17] Rom 8:2; lih. Yoh 6:63.
[18] Gal 5:22-23.
[19] Lih. 1 Kor 12:4.
[20] Lih. 1 Kor 2:10.
[21] 1 Yoh 4:8.
[22] Rom 5:5.
[23] Lih. Rom 8:5, 9; Gal 5:16, 18, 25.
[24] Lih. Rom 8:14-17.
[25] Lih. 1 Kor 6:17.
[26] Lih. 2 Kor 3:18.
[27] Lih. 1 Kor 12:13.
[28] Rom 6:3-5.
[29] 1 Kor 12:13.
[30] Gal 3:27-28.
[31] Lih. Gal 3:27-28.
[32] 1 Kor 10:16-17.
[33] Lih. 1 Kor 7:1-40.
[34] Lih. 1 Kor 8:1-13; 10:14-30.
[35] 1 Kor 10:20.
[36] 1 Kor 10:16.
[37] 1 Kor 10:21.
[38] 1 Kor 10:17.
[39] St. John Damascene, An Exact Exposition of the Orthodox Faith, IV, 14.
[40] St. Agustine, Tractates on the Gospel of John, 26, 13.
[41] Didache, 9, 4.
[42] 1 Kor 11:18.
[43] 1 Kor 11:21.
[44] 1 Kor 11:20.
[45] 1 Kor 11:33.
[46] 1 Kor 11:19.
[47] Pius XII, Mystici Corporis, 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar