Senin, 18 Mei 2009

"Kita adalah Satu Tubuh" - Bab 2

«Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil. Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil. Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.(1 Kor 9:16-23)»


Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh[1]

Paulus menggunakan banyak kiasan untuk menggambarkan kodrat dan fungsi Gereja dan hubungan antara Kristus dengan Gereja,[2] tetapi tidak satu pun diantara kiasan-kiasan itu yang sungguh-sungguh dapat membawa ide ini. Mungkin, yang paling sering dipakai, kiasan “Tubuh Kristus,” secara teologis, tidak dapat diragukan lagi sebagai yang paling penting, yang paling tepat, yang paling indah dan yang paling berkembang. Yang lebih penting lagi, kiasan ini mengungkapkan secara paling jelas kesatuan mesra antara Kristus dengan umat beriman dan relasi khusus antara kegiatan Kristus yang tidak kelihatan dan kegiatan Gereja yang kelihatan.
Pius XII dalam Mystici Corporis, sebuah dokumen yang mengembangkan banyak kiasan-kiasan Paulus, menggunakan ungkapan “Tubuh Mistik” untuk menggambarkan Gereja: “Jika kita harus mendefinisikan dan menggambarkan Gereja Yesus Kristus yang benar – yang adalah satu, kudus, katolik, apostolik dan Gereja Roma – kita tidak akan menemukan yang lain yang lebih agung, lebih luhur dan ilahi daripada ungkapan “Tubuh Mistik Kristus” – suatu ungkapan yang memancar keluar, sebagaimana sejak dulu suatu ajaran yang selalu berulang dari Kitab Suci dan Bapa-bapa Paus.”[3]
Ajaran Gereja, sebagai Tubuh Kristus, secara khas milik Paulus, tetapi ungkapan persis “Tubuh Mistik Kristus” tidak ditemukan di dalam surat-suratnya. Hal ini muncul dalam tradisi Bapa-bapa Gereja.[4]
Umat di Korintus menanyakan kepada Paulus banyak hal,[5] satu diantaranya berkaitan dengan karunia-karunia rohani. Umat Kristen di Korintus belum sepenuhnya melepaskan mentalitas mereka yang dulu sebelum mereka menjadi percaya baik dalam hal menggunaan karisma maupun dalam menilainya. Daripada mengingini “karunia-karunia yang utama”[6] yang sangat menyumbang bagi kemajuan rohani Gereja, mereka lebih bersemangat memperoleh karunia bahasa lidah, yang lebih nyata dan lebih berkesan, sebab mereka dapat berbicara dalam berbagai bahasa dalam keadaan ekstasi. Karunia seperti ini mirip dengan suasana hingar-bingar dari rasa sukacita yang biasanya terjadi dalam pertemuan-pertemuan para pengikut Dionisius.[7] Para dukun mereka biasa masuk dalam keadaan kerasukan sambil berteriak-teriak yang kata-katanya tidak dapat dipahami; mereka seperti kehilangan daya nalar dan kadang sampai tidak sadarkan diri, dibawah kekuatan roh jahat atau sebagai akibat dari histeris mereka.
Keadaan ekstasi yang disebabkan oleh Roh Kudus secara mendalam berbeda. Pada kenyataannya tidaklah mungkin bahwa Allah dapat menyebabkan kekacauan dan tingkahlaku yang aneh-aneh atau yang memperkosa kebebasan manusia.
Paulus mengingatkan bahwa kejadian-kejadian yang terjadi di Korintus diragukan keasliannya: “Kamu tahu, bahwa pada waktu kamu masih belum mengenal Allah, kamu tanpa berpikir ditarik kepada berhala-berhala yang bisu.”[8] Karunia bahasa lidah memberikan ilusi dan kualitas mistik yang dicari oleh mereka yang menderita sifat sombong. Karena itu Paulus harus memperbaiki pikiran-pikiran yang keliru dari umat di Korintus.
Dengan semangat yang menggebu-gebu untuk mengajar mereka dengan tepat tentang karunia-karunia Roh, Paulus mengajukan prinsip bagaimana membedakan apakah inspirasi datang dari Allah atau bukan – pengakuan akan Yesus sebagai Tuhan.[9] Dalam kaitan dengan hal ini, ia menunjukkan bahwa mereka yang tidak percaya menganggap ekstasi mereka berasal dari keberagaman dewa-dewa, orang-orang Kristen sebaliknya harus memahami bahwa banyak karisma dari Gereja tidak berasal dari hal demikian; mereka adalah karya dari “Roh yang satu dan sama,” dan dari “Tuhan yang satu dan sama,”[10] yang membagi-bagikan karunia-Nya sesuai kehendak-Nya demi kebaikan umum.[11]
Komunitas pengikut Kristus adalah seperti tubuh manusia, tempat keberagaman anggota-anggotanya secara istimewa dibangun dalam satu kesatuan dari Pribadi Kristus.
Yang berikut ini adalah refleksi Paulus – salah satu yang paling indah dalam semua surat-suratnya – atas kiasan tubuh yang diterapkan pada Gereja. “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh. Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Andaikata kaki berkata: "Karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Dan andaikata telinga berkata: "Karena aku bukan mata, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman? Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Andaikata semuanya adalah satu anggota, di manakah tubuh? Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh. Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: "Aku tidak membutuhkan engkau." Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: "Aku tidak membutuhkan engkau." Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan. Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap anggota-anggota kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus. Hal itu tidak dibutuhkan oleh anggota-anggota kita yang elok. Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.
Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?”[12]
Sebagai kesimpulan, Paulus mendorong umat Korintus dengan bersungguh-sungguh merindukan karunia-karunia yang utama, yang terbesar diantaranya adalah kasih.[13]
Seperti yang disebutkan tadi, Paulus melihat keberagaman karunia adalah hal yang lumrah. Setiap karunia menunjuk pada kenyataan bahwa setiap anggota Gereja memiliki peran khusus yang dipercayakan Allah. Beberapa sebagai rasul, yang lain sebagai nabi, dan yang lain lagi sebagai pengajar; ada pembuat mujizat, penolong, pemimpin atau berkata-kata dalam bahasa Roh.[14]
Jika kesatuan diantara umat beriman belum nyata, hal ini hanya dapat dicari penyebabnya dalam perwujudannya yang lebih besar bahwa “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.”[15]
Karena semua karunia berasal dari “Roh yang sama” dan semua dimaksudkan untuk kesejahteraan Gereja, maka mereka yang menerima karunia yang paling rendah tidak boleh merasa tidak puas apalagi iri terhadap mereka yang menerima karunia yang lebih tinggi. Demikian juga mereka yang menerima karunia yang lebih besar tidak boleh memandang rendah mereka yang menerima yang lebih rendah.
Tubuh tidak bisa disamakan dengan salah satu anggota manapun secara khusus tidak juga dengan anggota yang tampaknya paling penting seperti tangan atau mata. Menurut kebutuhan, tidak ada satu bagian dari tubuh manusia yang dapat menuntut sebagai bagian yang paling penting sendiri, sebab hidup tidak terletak dalam organ tertentu, tetapi di dalam semua anggota sebagai satu kesatuan secara menyeluruh. Maka tiap anggota harus ambil bagian secara aktif dalam suatu tindakan yang paling sederhana sekalipun yang memberi kehidupan kepada tubuh, meskipun tindakan itu tidak dilakukan dengan cara yang sama, tetapi tetap berdasarkan pada peran dan tatanan tiap-tiap anggota.
Maka, mata tidak dapat menganggap berbuat lebih jika dibandingkan tangan hanya karena ia mengerjakan sebuah fungsi yang lebih mulia; sama halnya dengan kepala tidak dapat dikatakan lebih penting jika dibandingkan dengan kaki. Semua anggota adalah perlu untuk kehidupan seluruh tubuh, “Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan.” Hal yang sama berlaku juga terhadap anggota-anggota yang kita kira kurang terhormat atau kurang elok; mengenai hal ini kita yakin, kita memberikan kepada mereka penghormatan khusus, memperlakukan mereka dengan kasih dan dengan perhatian khusus.[16] Misalnya, perut selalu mendapat kehormatan didandani dengan pakaian dan anggota-anggota yang paling tidak elok dilindungi dengan kesopanan sebagai imbalan dari tata sopan santun yang pantas, yang menurut St. Agustinus: “Kesopanan memulihkan apa yang dilecehkan oleh keinginan daging.”[17]
Dalam pengetahuan-Nya yang tidak terbatas, Allah sendiri membuat tubuh manusia sedemikian rupa untuk memberi perhormatan yang lebih besar kepada bagian-bagian yang lebih rendah. Dia juga menetapkan bahwa tidak hanya ada keselarasan diantara berbagai anggota tetapi juga kesalingtergantungan satu sama lain. Dengan bekerjasama dengan cara ini, seluruh tubuh terpelihara dan berkembang.[18]
Jika setiap anggota diperlukan demi hidup tubuh, maka setiap keputusan anggota untuk memberi atau menarik sumbangannya adalah sangat penting. Kenyataannya, penolakan tanggungjawab satu anggota menyebabkan suatu beban yang semakin besar bagi anggota-anggota lain, sementara kerjasama dari tiap anggota demi hidup tubuh, walau sekecil apapun, membawa keuntungan bagi seluruh anggota: “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.”[19]
St. Agustinus yang mengomentari pikiran Paulus ini menulis: “Saudara-saudara, perhatikanlah bagian-bagian tubuh dan lihat bagaimana masing-masing memiliki fungsinya. Mata melihat, tapi tidak mendengar; telinga mendengar tetapi tidak melihat; kaki melangkah tapi tidak mendengar, atau melihat atau bekerja keras sebagaimana tangan. Jadi tubuh membentuk kesatuan dan bagian-bagian sehat dan harmonis di antara mereka, telinga melihat dengan pertolongan mata dan mata mendengar dengan pertolongan telinga. Tidak ada yang dapat mengatakan bahwa telinga karena tidak dapat melihat lalu mengatakan: ‘kamu tidak berarti, kamu lebih rendah, kamu tidak seperti mata yang bisa membedakan warna? Demi kedamaian pada tubuh, telinga akan menjawab: saya berada di mana mata juga berada, kami berbagi tubuh yang satu dan sama, dalam diri saya sendiri saya tidak memiliki kemampuan melihat, saya melihat karena saya disatukan dengan yang memiliki fungsi itu.’ Dengan cara yang sama, telinga akan berkata: ‘Mata melihat untuk saya,’ mata akan berkata: ‘Telinga mendengar untuk saya.’ Keduanya juga akan berkata: ‘Tangan bekerja untuk kami;’ dan tangan berkata: ‘Mata dan telinga melihat dan mendengar untuk saya.’ Lalu mata, telinga dan tangan berkata: ‘Kaki melangkah untuk kita.’
Ketika berbagai anggota melaksanakan kegiatan mereka dalam tubuh yang sama, jika tubuh sehat dan semua anggota selaras, semua menikmati dan setiap anggota bergembira atas yang lain. Jika satu anggota menderita, anggota yang lain tidak tanpa terpengaruh; semua menanggung sakit yang sama.
Misalnya kaki. Mereka ada di tubuh, katakanlah, jauh dari mata. Kenyataannya memang mata menjadi bagian yang paling tinggi dari tubuh dan kaki yang paling rendah. Tetapi jika kebetulan kaki menginjak duri, bukankah mata akan memberi perhatian atas apa yang terjadi? Bukankah seluruh tubuh akan bereaksi berhenti seketika, duduk dan membungkuk untuk menemukan duri tadi yang hanya menusuk kaki saja? Seluruh bagian akan melakukan yang terbaik untuk menarik duri yang menusuk bagian tubuh yang paling rendah dan yang paling tidak berarti dari tubuh.
St. Agustinus melanjutkan mengomentari 1 Kor 12:12-27: “Demikian juga, saudara-saudara, jika satu anggota dari Tubuh Kristus tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan orang dari mati, anggota tersebut tidak harus bersikeras untuk itu. Dia hanya perlu menjaga agar tidak terpisah dari Tubuh, sebagaimana telinga yang dituntut untuk melihat. Sebenarnya ia tidak akan pernah mampu berfungsi sebagaimana yang tidak dimaksudkan untuk dia. Saya harap ada yang berkeberatan: ‘Jika kamu orang yang logis, kamu akan membangkitkan orang mati seperti yang diperbuat Petrus.’ Kenyataannya, semua tahu bahwa Para Rasul melakukan pekerjaan-pekerjaan lebih besar dari Tuhan sendiri, karena Kristus. Tetapi bagaimana dapat terjadi cabang-cabang dapat menyelesaikan hal-hal yang lebih besar dari pokoknya sendiri? Dan apa ukurannya bahwa satu perbuatan lebih besar dari yang lainnya? Inilah jawabannya. Orang mati bangkit begitu dipanggil Tuhan; ketika Petrus lewat, bayang-bayangnya jatuh pada orang yang tadinya mati lalu hidup. Kejadian ini dilihat sebagai lebih besar dari pada yang pertama, tetapi Kristus melakukan mukjizat tanpa campur tangan Petrus. Petrus sendiri tidak memiliki kemampuan itu jika tidak karena Kristus.
Tuhan mengatakan: “Tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.’ Benar. Jika seorang yang tidak percaya atau orang yang sedikit tahu tentang sabdaNya mengajukan pertanyaan, mengapa orang-orang Kristen tidak dapat membangkitkan orang mati sebagaimana yang dilakukan Petrus? Seorang Kristen yang matang, jika ia berusaha menjadi satu dengan Kristus, akan menjawab ‘Kalian mengecam saya seakan saya tidak logis karena saya tidak melakukan mukjizat. Dapatkah kamu mengatakan kepada mata bahwa ia tidak termasuk bagian dari tubuh kalau ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat?’ Jika mereka mendesak, katakanlah: ‘Haruskah kamu melakukan hal yang sama seperti Petrus lakukan?’ Kebalikannya benar! Petrus melakukan itu dalam nama Kristus. Sejak semula saya menjadi bagian dari Tubuh sebagaimana Petrus, dalam kesatuan dengan Tubuh yang sama, saya mampu melakukan apa yang ia lakukan, jika saya tetap bersatu dengan Tubuh. Tetapi jika saya berarti sedikit saja dari diri saya, Kristus turun kepada saya dalam kerendahan saya, dan saya bersukacita dalam keagunganNya.”
Dalam kesimpulannya, St. Agustinus melihat pertanyaan yang diajukan Yesus kepada Saulus dalam perjalanan ke Damsyik[20] sebagai bukti bahwa Kristus dan Gereja adalah satu: “Tuhan kita berseru dari sorga atas nama Tubuh-Nya: ‘Saulus, Saulus, mengapa kamu menganiaya Aku?’ Tak seorang pun menyentuh diri-Nya secara pribadi, tetapi sang Kepala berteriak dari sorga atas nama Tubuh-Nya yang menderita di bumi.”[21]
Kenyataannya Saulus tidak menganiaya Pribadi Kristus yang tidak pernah dikenalnya “dalam daging,” karena pada waktu itu Yesus sudah bangkit dari mati, karena itu sudah tidak tampak lagi. Paulus mencari untuk memenjarakan orang-orang Kristen yang dapat dilihatnya.
Dua konsep yang saling melengkapi menjadi inti dari pemikiran Paulus: “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan semua anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. […] Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.”[22]
Mengomentari kutipan ini St. Yohanes Krisostomus menulis: “’demikian pula Kristus.’ Ia seharusnya mengatakan, ‘demikian pula Gereja,’ […] Menggantikan nama ‘Kristus’ menjadi nama ‘Gereja’ […] Dengan mengganti kata untuk ‘Gereja’ dengan nama Kristus, ia memaksudkan: ‘Demikian pula Tubuh Kristus, yang adalah Gereja.’”[23] Secara sederhana St. Yohanes Krisostomus mau menggarisbawahi bahwa, dalam arti tertentu, Kristus dan Gereja adalah dua istilah yang dapat saling menggantikan.
Paulus tidak pernah menyebut pribadi tertentu sebagai “tubuh” atau “Tubuh Kristus.”[24] Obyek dari kiasan tentang Tubuh selalu dimaksud komunitas Kristen, baik dalam arti Gereja lokal,[25] atau Gereja universal, baik secara implisit[26] atau secara eksplisit.[27]
Kiasan ini diterapkan pada komunitas Kristen yang sudah memiliki struktur yang jelas dengan para pemimpin dan pengikut, dengan berbagai tugas,[28] singkatnya, sesuatu yang jelas dan dapat dilihat, sebagaimana yang diungkapkan dengan kata “tubuh”.
Ciri dinamis dari penerapan kiasan tubuh ini pantas mendapat tekanan. Kenyataannya, Paulus memikirkan sebuah keberfungsian tubuh dengan anggota-angotanya, sebuah tubuh yang bertumbuh dan berkembang.[29] Tradisi selalu menggunakan bahasa kiasan.[30]
Dalam surat kepada jemaat di Korintus perbandingan dibuat antara tubuh fisik kita dengan Kristus,[31] sementara dalam surat kepada jemaat di Roma perbandingannya adalah antara tubuh fisik kita, suatu kesatuan dengan bagian-bagian yang berfungsi, dan komunitas Kristen, suatu kesatuan dalam keberagamannya.[32]
Kiasan tentang “Gereja, Tubuh Kristus,”[33] secara implisit memuat gagasan bahwa misi Gereja adalah sama seperti tubuh fisik Kristus.
Tubuh fisik Kristus adalah sarana Penebusan. Sang Sabda membutuhkan tubuh, lahir dari Perawan Maria, untuk mewujudkan kegiatan ilahinya di bumi, artinya, tubuhnya memungkinkan Dia berkarya dengan cara kelihatan dan secara terbuka menggunakan indra-indra manusiawi.
Secara yang sama dapat dikatakan juga tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus dalam relasi dengan Penyelamat. Gereja, dari dirinya sendiri secara intim bersatu dengan-Nya dan menjadi milik-Nya, persis sama seperti tubuh fisik-Nya.[34] Gereja juga menampilkan alat yang kelihatan yang dipakai Kristus, yang sekarang mulia dan tidak kelihatan, terus berkomunikasi dengan umat manusia di dunia, sebagaimana yang telah Ia lakukan dulu ketika Ia berkeliling dengan tubuh fisik-Nya di kota-kota dan desa di Palestina. Inilah misi agung Gereja: menghadirkan karya Kristus yang sama dan tetap hadir, “satu-satunya Penyelamat,”[35] kepada semua orang di segala jaman. Arti dari kiasan “Tubuh Kristus” mencakup kesatuan Gereja dengan Kristus secara ontologis dan sekaligus secara organis.
Kegiatan Komunitas, bukan secara individu, menjadikan Gereja “Tubuh Kristus.” Tindakan seorang Kristen secara pribadi hanya dapat menambah kegiatan komunitas Gereja, seperti Paulus, dengan menunjuk pada dirinya sendiri, dengan jelas menyatakan: “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.”[36]
Tindakan yang paling agung yang dapat dikerjakan oleh Gereja sebagai Tubuh Kristus adalah Liturgi, yang adalah tindakan pengantara satu dan sama dari Kristus. “Maka memang sewajarnya juga Liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.”[37]
Maka, Gereja bukanlah pengantara yang lain; Gereja selalu berarti Kristus, pengantara satu-satunya. Dalam hakekat liturgi, karya yang tidak dapat dilihat dari Kristus sang Imam diwujudnyatakan dalam cara yang kelihatan bagi seluruh dunia untuk melihatnya.
Mystici Corporis menyatakan bahwa Gereja memiliki setiap cara yang perlu untuk penyucian: “Sekarang kita melihat bahwa tubuh manusia dilengkapi dengan sarana-sarana yang pas untuk mencukupi hidupnya sendiri, untuk kesehatan dan pertumbuhannya, dan untuk semua anggota-anggotanya. Demikian juga, Sang Penyelamat umat manusia, mengalir dari kebaikan-Nya yang tak terbatas, telah menyediakan dengan cara yang luar biasa untuk Tubuh Mistik-Nya, memberkatinya dengan Sakramen-sakramen, sehingga seakan-akan oleh berkat-berkat yang tanpa putus, anggota-anggotanya dapat ditopang selama hidupnya, dan bahwa suatu persediaan yang murah hati dapat dilakukan untuk kebutuhan-kebutuhan sosial Gereja.”[38]
Bila imam-imam merayakan Sakramen-sakramen dan melaksanakan tugas suci mereka dalam ibadat secara umum, mereka bertindak “atas nama Kristus.”[39] Dalam kaitannya dengan hal ini, St. Agustinus dengan tepat mengamati: “Petrus memang membaptis, tetapi sesungghnya Dialah (Kristus) yang membaptis; Paulus memang membaptis tetapi tetap Kristuslah yang membaptis; Yudas memang membaptis, tetap Kristus jugalah yang membaptis.”[40]
Tindakan Gereja sebagai Tubuh Kristus disadari juga melalui penggembalaan dan ajaran resmi para uskup, yang menjadi alat yang kelihatan dari Kristus yang mengajar dan menuntun umat. “Para Uskup secara mulia dan kelihatan mengemban peran Kristus sebagai Guru, Gembala dan Imam Agung, dan bertindak atas nama-Nya.”[41]
St. Agustinus mencatat perbedaan antara mereka yang melihat dan menyentuh dengan tangan mereka “Sabda Kehidupan”[42] dengan pengikut-pengikut Kristus sepanjang sejarah, yang merupakan Gereja: “Para murid tidak juga melihat Gereja yang tersebar diantara semua bangsa, mulai dari Yerusalem; hal ini masih belum mereka lihat. Mereka melihat sang Kepala dan mereka percaya akan apa yang Kepala katakana tentang Tubuh-Nya (Gereja). Melalui apa yang mereka lihat, mereka percaya akan apa yang belum mereka lihat. Kita sama seperti mereka; kita melihat apa yang belum mereka lihat, kita tidak melihat apa yang mereka lihat. Apa yang kita lihat yang mereka tidak lihat? Gereja yang tersebar di seluruh dunia. Apa yang kita tidak lihat apa yang mereka lihat? Kristus dalam daging. Sama seperti mereka melihat-Nya dan percaya akan Tubuh-Nya, demikian juga kita melihat Tubuh-Nya dan percaya akan sang Kepala. Apa yang mereka lihat dan apa yang sekarang kita lihat saling mendukung. Itu adalah sebuah pertolongan bagi mereka yang telah melihat Kristus, dan lalu mereka mampu percaya kepada Gereja di masa depan. Hal ini juga membantu kita untuk melihat Gereja, sehingga kita percaya bahwa Kristus telah bangkit. Iman mereka terpenuhi berkenaan dengan Kepala; iman kita terpenuhi berkenaan dengan Tubuh. Dengan cara ini keseluruhan Kristus dinyatakan. Akan tetapi mereka tidak melihat-Nya secara utuh, kita juga tidak. Mereka melihat Kepala dan mereka percaya akan Tubuh; kita melihat Tubuh dan percaya akan Kepala. Namun, Kristus tidak kurang untuk siapapun; Dia sepenuhnya hadir dalam semua, sementara Ia masih memiliki sebuah Tubuh.”[43]


[1] 1 Kor 2:20; lih. 110:17; 2:12.
[2] Paulus juga memakai kiasan atau perbandingan lainnya, yang beberapa diantaranya cukup dikembangkan dan yang lain hanya disebut sekilas saja. Diantara yang dikembangkan antara lain: sebuah bangunan (lih. Ef 2:19-22), mempelai (lih. Ef 5:22-32), surat Kristus (lih. 2 Kor 3:2-3) dan yang hanya disebut sekilas antara lain: sebuah “keluarga” (lih. Ef 2:9-19); Gal 6:10; Ibr 3:6); sebuah “ladang” yang dikerjakan (lih. 1 Kor 3:6-9); sebuah “pohoh zaitun” dengan akarnya yang kudus dan batang yang terberkati, yang padanya orang-orang yang belum percaya telah dicangkokkan sebagai cabang yang muda (lih. Rom 11:16-24); sebuah “persemakmuran” (lih. Ef 2:12-9); “Kerajaan Allah” (lih. Kis 20:28; 1 Kor 15:24; Kol 1:13; 4:1; 1 Tes 2:12). Paulus juga melihat Gereja sebagai “manusia baru” (lih. Ef 2:15); ide ini didasarkan pada gambaran dasariah dari manusia yang adalah sebuah “ciptaan baru dalam Kristus” (2 Kor 5:17; lih. Kol 3:9; Gal 6:15).
[3] Pius XII, Mystici Corporis, 13. Pius XII menggunakan ungkapan yang kuat untuk menggambarkan ikatan antara Kristus dan Gereja, misalnya: “Penyelamat kita sendiri menopang secara ilahi masyarakat yang didirikan-Nya” (52); “Penyelamat Ilahi dan masyarakat yang adalah Tubuh-Nya membentuk hanya satu pribadi mistik, yakni seperti yang dikutip Agustinus, “keseluruhan Kristus” (Expositions on the Psalms,XVII, 51 dan XC, II.1)” (67). Mengomentari ungkapan dari St. Agustinus, Bapa Suci menyatakan: “Kristus dan Gereja, yang di sini dibawah sebagai Kristus yang lain memperlihatkan terus menerus diriNya, yang merupakan satu manusia baru” (77).
[4] Dalam milenium pertama, ungkapan “Tubuh Mistik Kristus” diterapkan hanya untuk Ekaristi sebagaimana yang saksikan oleh Hesychius dari Yerusalem (+450): “Kita menjadi Tubuh Kristus, ketika kita menerima Tubuh Mistik-Nya.” (Glos on the Psalms, Psalm CII.15).
Ketika sebuah diskusi muncul mengenai Kehadiran Nyata Kristus dalam Ekaristi, ungkapan yang sama diterapkan untuk Gereja, sebagaimana dinyatakan oleh Master Simon: “Dalam Sakramen Altar ada dua kenyataan: Tubuh sesungguhnya dari Kristus dan apa yang disimbolkannya, yakni Tubuh Mistik-Nya, Gereja” (Tractatus de Sacramentis Corporis et Sanguinis Domini, dalam H. Weisweiler, Maître Simon et son groupe. De sacramentis, Louvain 1937, p 27; ide yang sama diungkapkan juga pada hal 34).
Ungkapan “Tubuh Mistik” juga dimaksudkan untuk membedakan Gereja dari tubuh badaniah Kristus, yang dilahirkan oleh Perawan Maria, dan kesatuan dari para beriman dengan Kristus di dalam Tubuh yang unik ini dari semua bentuk kesatuan yang lain, baik secara fisik maupun secara moral.
Yohanes XXIII dalam Konstitusi Apostolik Humanae salutis (25 Desember 1961), dengan mana ia memanggil Konsili Vatikan 2, menggunakan ungkapan “Tubuh Mistik,” ketika ia menunjuk pada program kerja pertemuan Konsili. Paulus VI membuat banyak referensi di dalam pidato-pidatonya selama Konsili (29 September dan 4 Desember 11963; 4 September dan 21 November 1964; 14 September, 29 Oktober dan 18 November 1965); Dalam Ecclesiam Suam (6 Agustus 1964, ia berbicara tentang “segi ilmiah dari Tubuh Mistik” (33).
Lumen Gentium sepenuhnya menggunakan ajaran dari Mystici Corporis (lih. No. 7; no. 8 beberapa kali mengutip ungkapan “Tubuh Mistik” pada catatan kaki); lih. Sacrosanctum Concilium, 7.
[5] Lih. 1 Kor 7:1, 25; 8:1.
[6] Lih. 1 Kor 12:31
[7] Lih. Plato, Phaedra dan Timaeus.
[8] 1 Kor 12:2.
[9] Lih. 1 Kor 12:1, 3.
[10] Lih. 1 Kor 12:4-6.
[11] Lih. 1 Kor 12:7-11.
[12] 1 Kor 12:12-30.
[13] 1 Kor 12:31; 13:1-8.
[14] Lih. 1 Kor 12:28-30.
[15] 1 Kor 12:13.
[16] Lih. 1 Kor 12:22-23.
[17] St. Agustinus, Against Julian, 4,1.
[18] Lih. 1 Kor 12:24-25.
[19] 1 Kor 12:26.
[20] Lih. Kis 9:6.
[21] St. Agustinus, Expositions on Psalms, CXXX, 6.
[22] 1 Kor 12:12, 27.
[23] St. Yohanes Krisostomus, Homily XXX; lih. St. Agustinus, Expositions on Psalms, XXX.
[24] Umat beriman biasa disebut “bagian Tubuh (Ef 4:16), atau hanya sebagai “anggota-anggota” (1 Kor 12:24; Rom 12:5; Ef 4:24) atau “anggota-anggota Kristus” (dua kali dalam 1 Kor 6:15), atau “anggota-anggota Tubuh-Nya” (Ef 5:30).
[25] Lih. 1 Kor 12:27.
[26] Lih. 1 Kor 10:17; Rom 12:5.
[27] Lih. Kol 1:18; 2:19; Ef 4:16; 5:23.
[28] Lih. 1 Kor 12:4-12; Rom 12:5; Ef 4:1-11, 16.
[29] Lih. Kol 2:19; Ef 4:15.
[30] Lih. Pius XII, Mystici Corporis, 85.
[31] Lih. 1 Kor 12:12.
[32] Lih. Rom 12:4.
[33] Kita dapat mengelompokkan dalam dua kelompok tulisan-tulisan Paulus yang menyebut “tubuh” dalam arti Gereja: yang biasanya hanya disebutnya “Tubuh” (lih. Kol 1:18; 2:19; Ef 4:16; 5:23) atau”satu Tubuh” (lih. 1 Kor 10:17; 12:13; Rom 12:5; Kol 3:15; Ef 2:16; 3:6; 4:4) dan yang lain ketika ia menyebut “Tubuh Kristus” (lih. 1 Kor 12:27; mungkin juga Kol 2:17; Ef 4:12 – dalam bentuk genetivus “milik Kristus”; Kol 1: 24; Ef 1:3; 5:30 – dengan kata ganti “nya”). Kedua kelompok ini muncul pertama kali dalam surat kepada jemaat di Korintus, yang ditulis sekitar tahun 55 M; karena itu, munculnya mereka dalam tulisan-tulisan Paulus pada jaman yang sama.
[34] Lih. 1 Kor 3:23; Gal 3:29.
[35] 1 Tim2:5; lih. Ibr 9:15; 12:24; Yoh 14:5-7.
[36] Kol 1:24.
[37] Sacrosanctum Concilium, 7.
[38] Pius XII, Mystici Corporis, 18
[39] Lumen Gentium, 28. St. Siprianus menulis: “Seorang imam mengambil tempat Kristus” (Letters, 63, 14).
[40] St. Agustinus, Tractate on the Gospel of John, 6, 7.
[41] Lumen Gentium, 21
[42] 1 Yoh 1:1.
[43] St. Agustinus, Discourses, CXVI, 6, 6.

“Kita adalah Satu Tubuh” - Bab I

Pengantar
Sejak dulu dan selalu dimana-mana manusia selalu hidup dalam dunia yang terpecah-belah. Dorongan kekuatan yang membuat sesorang melawan yang lain, sebagaimana yang Kain lakukan terhadap saudaranya Habel,[1] tinggal tetap di dalam hati manusia, sumber dari “segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.”[2] Inilah misteri kejahatan yang tidak mudah dipahami!
Paulus mengenal dengan baik kecenderungan misterius ke arah kejahatan dalam diri pribadi sesorang: “Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat [...] Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” sebab “aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.”[3] Jauh sebelumnya, Ovid membuat penilaian yang sama tentang jiwa manusia: “Saya menemukan hal-hal yang lebih baik dan saya setuju dengannya, namun saya mengikuti hal-hal yang lebih buruk.”[4] Kecendrungan ini, yang dapat dilihat dalam banyak contoh sepanjang sejarah, adalah apa yang membuat pribadi-pribadi menjadi “serigala bagi sesama.”[5]
Dengan bermacam-macam cara,[6] semua agama mewartakan damai sebagai kebaikan tertinggi bagi pribadi-pribadi dan seluruh masyarakat yang didasarkan pada kebersamaan dan kesetaraan.
Dalam agama Yahudi, “Tuhan hendak berbicara tentang damai”[7] “kepada yang jauh dan yang dekat.”[8] Nabi Yesaya menyerukan: “Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat.”[9] Mesias yang datang disebut “Raja Damai;”[10] apabila Ia datang, “serigala akan tinggal bersama domba”[11] dan “mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak.”[12] Namun damai hanya datang jika setiap orang dapat menghayati ajaran berikut ini: “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”[13]
Dalam agama Kristen, ketika Yesus dilahirkan, para malaikat berseru: “damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya."[14] Sebab “Kristus adalah damai kita.”[15] Sama seperti ia memaklumkan “berbahagialah orang yang membawa damai”[16] pada malam perjamuan terakhir Yesus menyampaikan sabda perpisahan dengan mengatakan: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu.”[17] Dalam Perjanjian Baru, Paulus adalah yang paling setia meneruskan seruan damai ini.[18] Bagi orang Kristen, damai adalah buah dari kasih abadi: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi."[19]
Dalam agama Islam, satu dari “nama-nama yang paling indah” untuk Allah adalah Damai.[20] Quran melanjutkan: “Jika dua kelompok orang beriman berselisih satu terhadap yang lain, usahakanlah damai diantara mereka dengan keadilan; dan bertindaklah dengan adil, sebab Allah mengasihi orang benar. Semua yang percaya adalah saudara. Maka usahakanlah damai diantara kamu sesama saudara dan takutlah akan Allah, jika kamu menghendaki Allah menunjukkan belas kasih-Nya bagimu.”[21]
Sayangnya, seruan ini seperti terabaian. Berabad-abad kita menyaksikan banyak peperangan yang memecah-belah dunia dan tindakan-tindakan sederhana yang telah memecah-belah umat manusia, kerapkali atas nama salah satu dari tiga agama besar yang sebenarnya mengakui Abraham sebagai bapa bersama. Dalam agama-agama itu sendiri terdapat keretakan-keretakan yang tidak dipulihkan di antara penganut iman yang sama, berikut dengan perpecahan dan pertengkaran.
Dalam agama Kristen, perpecahan diantara pengikut Kristus terjadi sejak awal mula, meskipun Lukas menggambarkan dengan bagus suatu komunitas ideal, dimana suatu “persekutuan”[22] yang akrab, yang membuat mereka “sehati dan sejiwa.”[23] Namun jelas ada perpecahan dalam jemaat di Yerusalem dan di Korintus.
Jemaat di Yerusalem pada mulanya terdiri dari kelompok Yahudi Palestina yang disatukan oleh bahasa Aram dan kebiasaan yang sama. Jumlah murid-murid Yesus bertambah terus dari hari ke hari.[24] Meskipun pendatang-pendatang baru kemudian terutama dari Yahudi, ada juga beberapa dari kalangan Yunani di antara mereka, yakni mereka yang lahir dan tinggal di Diaspora. Penulis Kisah Para Rasul membuat daftar panjang orang-orang ini diantara para pendengar kotabah Petrus pada hari Pentakosta[25] dan mereka yang menyerang Stafanus.[26]
Orang-orang Ibrani memandang mereka yang dari kebudayaan Yunani sebagai warga kelas dua. Tidak diragukan bahwa pandangan ini dibawa juga ke dalam Gereja ketika mereka menjadi Kristen. Diantara orang-orang Kristen-Yunani, para janda mereka terutama diabaikan. Mereka bukan hanya telah kehilangan suami-suami mereka, tetapi juga sarana-sarana untuk menunjang keluarga mereka, sebab mereka tidak dapat kembali ke daerah asal mereka yang jauh, dan tidak juga bisa masuk ke sinagoga untuk mendapat bantuan.
Situasi yang sebenarnya bisa jadi lebih rumit daripada yang digambarkan dalam Kisah. Ini salah satu petunjuk awal bahwa sebuah komunitas Kristen sangat beraneka ragam. Kedua kelompok itu, yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, merasa tidak senang dibawah pengaturan satu kelompok. Mereka, “orang-orang pinggiran” yakni kaum Yunani menuntut otonomi yang lebih besar dalam komunitas, untuk menjaga identitas dan kebebasan mereka mengungkapkan diri dalam bahasa dan budaya mereka.
Oleh sebab itu “timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani.”[27] Meskipun “pembagian makanan” juga penting, namun pastilah itu bukan satu-satunya masalah atau yang paling penting. Keluhan mereka “diabaikan” begitu serius sehingga sungut-sungut mereka mengancam kesatuan komunitas. Dalam menggambarkan kejadiannya, Lukas menggunakan kata sungut-sungut gonghysmós yang dulu digunakan bangsa Ibrani bersungut-sungut memberontak melawan Musa di padang gurun.[28]
Dengan pemilihan tujuh diakon,[29] orang-orang Kristen yang berbahasa Yunani menjadi sebuah kelompok yang terpisah dari kelompok Yahudi, bahkan jika hanya soal “pembagian jatah makanan.” “Dewan Tujuh Diakon” ini dibentuk disamping “Kelompok Dua Belas” walaupun posisinya agak dibawah. Jadi meskipun semua tergantung pada Sabda yang sama, setiap kelompok memiliki fungsi khas dan “dilayani” sesuai dengan “jabatan”nya masing-masing.
Selanjutnya disamping perpecahan yang disebabkan oleh pengabaian pada para janda dari mereka yang berbahasa Yunani dalam jemaat di Yerusalem, ada masalah lain yang menimbulkan perdebatan serius, seperti masalah yang menjengkelkan apakah laki-laki yang bertobat menjadi Kristen perlu disunat.[30] Masalah ini diselesaikan, sekurang-kurangnya “secara resmi” dalam Konsili Yerusalem,[31] bersama dengan masalah aturan Yahudi tentang makanan yang dilarang, yang menyebabkan perpecahan lebih lanjut dalam komunitas Kristen awal.[32]
Perpecahan lain yang terjadi dikalangan pengikut-pengikut awal Kristus terekam dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus.
Dalam masanya Paulus, Korintus adalah sebuah kota kosmopolitan tempat orang-orang Yunani, Romawi,[33] sejumlah kelompok Yahudi dari Diaspora[34] dan banyak suku bangsa minoritas lainnya tinggal, karena alasan perdagangan yang maju. Keberagaman orang menimbulkan beragam bahasa, kebiasaan dan terutama agama.[35]
Selama satu setengah tahun ia tinggal di Korintus (51-52 Masehi), Paulus mendirikan sebuah komunitas Kristen yang jelas menggambarkan sifat sebuah kota kosmopolitan. Sesungguhnya, sebagaimana dinyatakan Paulus dalam suratnya, mereka terdiri dari orang-orang Kristen Yunani yang aslinya kafir dan dari kelas bawah[36] dan orang-orang Kristen Yahudi.[37] Maka tidaklah mengherankan perpecahan dapat muncul dalam lingkungan seperti ini. Paulus sungguh menyadari adanya ketegangan antara kelompok Yahudi dan Yunani ini,[38] antara budak dan orang-orang merdeka,[39] antara laki-laki dan kaum perempuan[40] dan antara kaya dan miskin.[41]
Perpecahan-perpecahan di atas bukanlah satu-satunya ancaman terhadap komunitas di Korintus. Beberapa kelompok perlahan-lahan mulai terbentuk di sekitar tiga pemimpin Kristen yang berpengaruh: Petrus, Paulus dan Apolos, “seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci,” yang telah mengunjungi Korintus[42] dan yang diundang lagi kemudian oleh Paulus.[43]
Paulus menulis: “Aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas,” Jawaban Paulus terhadap kelompok-kelompok yang berselisih adalah: “Aku dari golongan Kristus!”
Paulus menunjukkan seriusnya perpecahan dengan mengajukan empat pertanyaan refleksif: “Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?”[44] Untuk menyimpulkannya ia bertanya kepada mereka: “Karena jika yang seorang berkata: ‘Aku dari golongan Paulus,’ dan yang lain berkata: ‘Aku dari golongan Apolos,’ bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?”[45] Dengan membuat pernyataan-pernyataan ini, jemaat di Korintus meniadakan keselamatan yang diperoleh hanya oleh Kristus.
Paulus sungguh tidak dapat menerima bahwa “Kristus” terbagi-bagi, yakni, “Tubuh Kristus, Gereja.”[46] Sehingga ia dengan sepenuh hati mendesak jemaat di Korintus: “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir.”[47] Sebab Kristus telah meruntuhkan “tembok pemisahan” yang memisahkan Yahudi dan bangsa lain, dan membuat mereka menjadi satu,[48] “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus;”[49] “baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh.”[50]
Ketika orang-orang Korintus bertanya kepada Paulus tentang karisma untuk bernubuat atau berbicara dalam bahasa Roh dalam keadaan sukacita yang mendalam adalah karisma yang paling penting, Paulus mengungkapkan pendapat pribadinya tentang karisma-karisma tersebut, sebab itu lebih berguna untuk pembangunan jemaat.[51] Namun dengan cepat ia menambahkan: “Aku mengucap syukur kepada Allah, bahwa aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari pada kamu semua. Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.”[52] Kiranya lima kata yang dimaksudkan Paulus “lebih suka berbicara ditengah jemaat” adalah mengenai masalah kasih.
Berkaitan dengan hal ini, ketika Paulus menulis kepada jemaat yang terpecah di Korintus, ia menyusun sebuah madah dan sekaligus teologi yang paling mengesankan bukan hanya dalam seluruh suratnya melainkan juga dalam semua tulisan-tulisan rohani yang pernah ada – yang terkenal dengan Madah Kasih: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan.”[53]
Tanpa kasih manusia tidak berarti apa-apa walau apa yang ia katahui, atau ia miliki, atau ia percaya maupun apa yang ia lakukan: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.”[54]
Inilah pesan Paulus bagi dunia yang terpecah-belah saat ini: “Kejarlah kasih itu,”[55] sebab kasih adalah karunia paling tinggi diantara semua karisma dan penopang untuk setiap orang. Hanya melalui kasih perpecahan dapat diatasi; hanya melalui kasih damai dapat lahir di hati; hanya melalui kasih umat manusia dapat menjadi satu keluarga yang besar.
Sama seperti yang dilakukan oleh Menenius Agrippa di masa Roma Kuno dengan dongeng yang terkenal ia menunjukkan perlunya solidaritas diantara kelas-kelas sosial, Paulus mengetengahkan kasih secara teologis melalui penerapan kiasan tubuh kepada Gereja: “maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh.”[56]
Paulus menemukan “keseluruhan Kristus,”[57] yakni Tubuh Kristus dan Kristus, Kepala Jemaat, pada saat pertobatannya. Ketika ia bertanya kepada suara misterius dari sorga “Siapakah engkau?” Dia mendengar jawaban: “Akulah Yesus yang engkau aniaya.”[58] Kata-kata ini menunjukkan bahwa Kristus menyamakan diri-Nya dengan para pengikut-Nya, sebagaimana St. Agustinus mencatat: “Tuhan sendiri berseru dari sorga atas nama Tubuh-Nya: ‘Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?’ Tidak ada seorang pun yang pernah menyentuhNya secara pribadi, tetapi sang Kepala berseru dari sorga mewakili Tubuh-Nya yang menderita di bumi.”[59] Saulus bukan menganiaya Pribadi Kristus, yang tidak pernah dikenalnya sebelumnya, Kristus sudah bangkit dan karena itu tidak dapat dijamah lagi. Tetapi ia mencari untuk memenjarakan orang Kristen yang dapat dilihatnya.
Yesus sekali lagi menjelaskan pernyataan langsung identifikasi diri-Nya dengan para murid-Nya: “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”[60]
Origenes yang mengomentari kiasan Paulus tentang tubuh manusiawi, memperhatikan bahwa “keseluruhan Kristus” tidak dapat diwujudnyatakan tanpa kesatuan antara Dia dan anggota-anggota Gereja: “Jika kamu sebagai anggota Gereja merasa tidak bahagia atas hilangnya anggota yang lain, betapa lagi Tuhan dan Penyelamat, yang adalah Kepala dan dan Penguasa dari seluruh Tubuh akan merasa tidak bahagia.”[61]
Untuk memperingati saat ketika Paulus menemukan “keseluruhan Kristus,” kami mempersembahkan dalam buku kecil ini berbagai gambaran yang berkaitan dengan pertobatan[62] dan pewartaan pesannya yang terus menerus masih relevan untuk dunia jaman sekarang ini, yang tercabik oleh peperangan di berbagai negara[63] dan yang terpecah-pecah oleh karena suku, agama, budaya, politik dan ekonomi.

Roma, 4 Oktober 2004

+ Francesco Gioia, Archbishop
Pontifical Administrator
Of the Patriarchal Basilica of St. Paul.



« Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: "Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga. Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia. Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati." (Kis 17:22-31)»


“Ketika Anggota-anggota Tubuh Belum Bertindak sebagai Satu …”[64]

Tubuh manusia menarik perhatian sebab anggota-anggotanya yang banyak dan harmonis. Kedua ciri ini telah menginspirasi banyak pengarang membuat perbandingan antara tubuh dan masyarakat manusia, sebab keduanya memakai kesatuan organis di dalam struktur, walaupun banyak bagian-bagian dan beragam fungsi yang mengerjakan tiap bagiannya. Menenius Agrippa dan Seneca menerapkan tubuh pada masyarakat negara pada masanya dan Paulus melakukan hal yang sama, ketika ia berbicara tentang komunitas Kristen yang membentuk Gereja.[65]
Pada tahun 509 SM, kondisi yang sudah kritis dari kehidupan rakyat jelata di Roma diperparah dengan adanya perang melawan Porsenna yang legendaris, Raja Etruscan dari Chiusi dan sekutu-sekutunya.[66] Untuk bertahan hidup, kepala-kepala keluarga-keluarga harus berhutang dalam jumlah yang besar. Ketika mereka tidak mampu untuk membayar, seluruh keluarga dijadikan budak. Dipaksa oleh keadaan putus asa, mereka memutuskan untuk berhenti bekerja dan melarikan diri ke Mons Sanctus (Gunung Suci), dekat Anio.
Pada saat yang sama, bangsa Volcius sedang bersiap-siap untuk meduduki Roma. Titus Livius (59 SM – 17 Sesudah Masehi) mengatakan bahwa para bangsawan, yang tidak mampu melawan perang ini seorang diri, mencoba meyakinkan rakyat jelata untuk kembali ke kota dan memutuskan untuk mengirim kepada mereka seorang utusan, Menenius Agrippa, seorang konsul Roma pada tahun 503 SM, yang menaklukkan Sabines pada tahun 494 SM, dan yang dianggap “seorang yang fasih berbicara dan diterima oleh orang-orang desa, karena ia sendiri berasal dari desa.”
Menenius, “dalam gaya yang sederhana yang umum untuk orang-orang jaman itu,” menceritakan dongeng yang terkenal tentang bagian-bagian dari tubuh, yakni para penduduk desa memberontak melawan perut, yang mewakili para bangsawan, yang akibatnya menyakiti seluruh tubuh, yang melambangkan negara.[67]
Pada saat ketika semua bagian dari tubuh manusia tidak bertindak sebagai satu kesatuan, setiap anggota mencari dirinya sendiri dan memiliki pikirannya sendiri. Anggota-anggota ini, dengan marah melihat bahwa semua yang dicapai melalui usaha, pekerjaan dan pelayanan mereka lari ke perut, sementara itu perut tenang-tenang di tengah dan tidak berbuat apa-apa selain menikmati kenikmatan yang telah disediakan. Lalu para anggota bersekongkol. Tangan tidak mau membawa makanan ke mulut; mulut pun tidak mau menerima jika disuapi; dan gigi tidak mau mengunyah. Akan tetapi dalam kebencian dan keinginan mereka untuk membuat lapar perut supaya takluk, para anggota sendiri menderita, dan seluruh tubuh menjadi tidak berdaya sama sekali. Hal ini menjadi jelas bahwa perut bukannya tidak menyumbangkan pelayanan dengan bermalas-malasan, dengan diberi makan sebagai gantinya ia menyediakan sari makanan bagi seluruh bagian-bagian dari tubuh dengan mencernakan makanan dan menyalurkannya daya hidup dan kekuatan melalui urat nadi bagi setiap bagian.”
Titus Livius menyimpulkan: “Dengan menggunakan kiasan ini, dia menunjukkan bagaimana penyelewengan di dalam dari berbagai bagian dari tubuh menyerupai darah jelek seperti orang-orang desa yang melawan para bangsawan, dan, pada akhirnya, berhasil memenangi para penontonnya.”[68] Pada kenyataannya, para penduduk desa begitu terkejut dengan dongeng ini sehingga mereka menyadari bahwa korban pertama dari protes mereka adalah diri mereka sendiri. Perut bukanlah satu-satunya yang terhukum, tetapi seluruh tubuh. Mereka berjanji untuk kembali ke Roma dengan syarat hutang-hutang mereka dibatalkan dan sebuah tubuh yang demokratis dibentuk untuk menjaga hak-hak mereka (pengadilan rakyat).
Seneca (50 SM – 40 Ses. M), orang yang sebaya dengan Paulus, bersandar pada gambaran tubuh yang sama, ketika ia menegaskan perlunya solidaritas diantara manusia demi hidup yang tenang. Tetapi ia menambahkan sebuah sisi yang menggelitik.
Ia mengajukan pertanyaan: “bagaimana kita memperlakukan sesama. Apa tujuan kita? Aturan apa yang kita tawarkan? Haruskah kita tawar-menawar supaya jangan terjadi pertumpahan darah? Mudah untuk tidak melukai seseorang yang seharusnya engkau tolong! Adalah berguna memperlakukan sesama dengan baik! Haruskah kita memberi nasehat supaya orang mengulurkan tangan bagi pelaut yang kapalnya karam, atau memberi tahu arah jalan bagi orang yang sedang tersesat atau berbagi sekeping roti bagi seorang yang kelaparan? Ya, semoga saya dapat mengatakan pertama-tama kepadamu, apa yang seharusnya dibagikan dan apa yang harus disimpan. Sementara itu saya dapat menetapkan sebuah aturan untuk seluruh umat manusia, sebuah hukum, menyangkut kewajiban-kewajiban kita dalam relasi-relasi kita: semua yang harus kamu lihat, yang terdiri dari baik Allah maupun manusia, adalah satu – kita adalah bagian dari sebuah tubuh yang besar. Alam melahirkan kita, maka kita berhubungan satu dengan yang lain; dia menciptakan dari sumber yang sama dan untuk tujuan yang sama. Dia melahirkan afeksi yang saling timbal balik di dalam diri kita, dan membuat kita siap untuk membentuk persahabatan. Dia mengadakan kejujuran dan keadilan; menurut aturannya, adalah lebih celaka menyebabkan penderitaan daripada sendiri menderita luka-luka. Sebagai jawabannya, biarlah tangan kita siap untuk menolong semua yang membutuhkan [...] Marilah kita menempatkan semua milik kita tersedia bagi sesama, sebab dalam kelahiran, kita berbagi kehidupan yang sama.”[69]
Awalnya, harus ditunjukkan bahwa kesatuan yang dibela oleh Menenius Agrippa dan Seneca secara mendalam berbeda dengan kesatuan yang Paulus minta pada para pengikut Kristus, ketika ia menggunakan kiasan yang sama dari tubuh manusia, sebagaimana yang akan kita lihat kemudian.
Kenyataannya, kesatuan dari berbagai bagian dari masyarakat, sebagaimana yang digambarkan dalam dongeng Agrippa dan tulisan-tulisan Seneca, adalah kesatuan eksternal, yang pada dirinya sendiri perlu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, seperti, berfungsinya secara mulus suatu struktur organisasi, untuk menjamin kehidupan yang pantas dan damai. Menenius juga sadar hal ini, dalam pernyataannya dengan jelas ia mengatakan bahwa pemberontakan melawan perut terjadi “ketika anggota-anggota tubuh tidak lagi bertindak sebagai satu kesatuan, tetapi masing-masing mencari untuk dirinya sendiri dan memiliki pendapatnya sendiri.”
Kesatuan yang Paulus bicarakan adalah kesatuan hakiki untuk Gereja, yang menjadi kodratnya. Tanpa kesatuan ini komunitas Kristen tidak dapat ada.
Yesus berdoa kepada Bapa-Nya bagi para murid-Nya dan “juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu.” Dalam doa ini Ia mengungkapkan ciri asli yang mutlak dari kesatuan yang harus ada diantara para anggota Gereja. “sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita […] supaya mereka sempurna menjadi satu.” Dan Ia menunjukkan juga maksud sesungguhnya dari kesatuan ini: “agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.”[70]
Paus Yohanes paulus II mengamati: “Kesatuan ini, yang telah dianugerahkan Tuhan bagi Gereja-Nya dan yang diharapkannya menyebar ke semua orang, bukanlah sesuatu yang ditempelkan, tetapi sesuatu yang berdiri pada jantung misi Kristus. Sifat itu bukan pula tambahan pada sifat komunitas para murid. Ia terutama unsur hakiki dari komunitas ini. Allah menghendaki Gereja, sebab Dia menghendaki kesatuan. […] Mempercayai Kristus berarti menginginan kesatuan; mengingini Gereja berarti mengingini kesatuan dari rahmat yang berkaitan dengan rencana Bapa sejak segala abad. Itulah makna dari doa Kristus: ‘Ut unum sint.’”[71]
Kesatuan yang dimohonkan kepada Bapa-Nya adalah bahwa yang ada diantara ketiga Pribadi dari Trinitas. Sayangnya, kesatuan yang seperti ini tidak dapat sepenuhnya dicapai oleh umat manusia dalam kehidupan ini. Namun demikian, Yesus memberitahukan kepada para pengikut-Nya bahwa jalan menuju kesatuan berkelanjutan; mereka hanya perlu ambil bagian di dalam komunio yang menjadi ciri dari Trinitas: “Komunio orang-orang Kristen tidak lain daripada pengejawantahan dalam diri mereka rahmat yang dengannya Allah membuat mereka berbagi satu sama lain di dalam komunio ...”[72]
Kesatuan yang akrab dari orang-orang Kristen dengan Kristus juga mendapat ungkapannya dalam gambaran pokok anggur dan cabang-cabangnya. Yesus membuat sebuah seruan nyata: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.”[73] Tanpa komunio dengan pokok ini, yakni Kristus, cabang tidak berbuah; ia menjadi layu dan diperuntukan bagi api.






















[1] Lih. Kej 4:8.
[2] Mat 15:19; bdk. Mrk 7:21-22.
[3] Rom 7:15, 19, 21.
[4] Ovid, Metamorphoses, VII, 20 (Video meliora proboque, deteriora sequor).
[5] Plato, Asinaria, II, 8 (Homo homini lupus). Filsuf Thomas Hobbes (1588-1679) memakai ungkapan ini sebagai topik utama dalam teori moralnya: manusia bertindak hanya keluar dari kepentingan dirinya dan menciptakan masyarakat hanya melarikan diri dari kekejaman yang terus menerus membuat semua orang saling bermusuhan (Bellum omnium contra omnes) dan kemudian menyelamatkan dirinya sendiri
[6] St. Agustinus merumuskan dengan tajam beberapa aspek dari damai dengan cara berikut ini: “Kedamaian tubuh terdiri dari pengaturan yang semestinya dan sewajarnya dari bagian-bagiannya. Kedamaian dari jiwa yang irrasional adalah penempatan yang harmonis dari nafsu-nafsu, dan dari jiwa yang rasional adalah keseimbangan antara pengetahuan dan tindakan. Kedamaian tubuh dan jiwa adalah hidup dan kesehatan yang teratur dan harmonis dari makhluk hidup. Damai antara manusia dan Allah adalah ketaatan iman yang tertib terhadap hukum abadi. Damai antara manusia dengan sesama adalah kerukunan yang tertata. Kedamaian dalam rumah tangga adalah kerukunan yang tertata antara semua dalam keluarga, antara mereka yang memimpin dan mereka yang mentaati. Kedamaian dalam masyarakat adalah kerukunan diantara warganya. Kedamaian dalam kota surgawi adalah sukacita yang teratur dan harmonis secara sempurna bersama Allah, dan satu dengan yang lain di dalam Allah. Kedamaian dari segala sesuatu adalah keheningan dari keteraturan. Keteraturan adalah pembagian dari bermacam-macam hal, yang sama dan tidak sama, masing-masing pada tempatnya sendiri.” (The City of God, XIX, 13).
[7] Mzm 85:8.
[8] Yes 57:19; Lih. Dan 3,98; 6:26.
[9] Yes 52:7; . bdk. Nah 2:1. Salam damai adalah tema yang terus berulang dalam Perjanjian Lama (lih. Est 4:18; Hak 6:23; 1 Sam 25:6; 1 Taw 12:19; Tob 12:17; 1 Mak 7:33; 2 Mak 1:1; Mzm 125:5; 128:6; Sir 50:23).
[10] Yes 9:5
[11] Yes 11:6; bdk. 65:25.
[12] Mik 4:3.
[13] Im 19:18.
[14] Luk 2:14; lih. Ef 2:17.
[15] Ef 2:14.
[16] Mat 5:9.
[17] Yoh 14:27; bdk. 16:33.
[18] Beberapa seruan termasuk: “Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera.” (1 Kor 7:15); “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu.” (Kol 3:15; bd. Flm 4:7, 9; Rom 1:7; 15:13, 32); “Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya terus-menerus, dalam segala hal, kepada kamu.” (2 Tes 3: 16); “Hiduplah dalam damai.” (2 Kor 13:11; bd. Rom 12:18; 1 Tes 4:11; 5:13); “Berusahalah hidup damai dengan semua orang.” (Ibr 12: 14; bdk 2 Tim 2:22); “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya.” (1 Tes 5:23; bdk. Ibr 13:20); “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera.” (Rom 14: 19; bdk. 2:10; 2 Tes 3:12); “Buah Roh ialah: damai.” (Gal 5:22; lih. Rom 8:8; 4:17; Ef 4:3).
[19] Yoh 13:34-35.
[20] Quran, Sura 59,23.
[21] Quran, Sura 49,9-10. Bdk Sura 3,103: “Ingatlah akan manfaat yang Allah telah curahkan atas kamu: dahulu kamu bermusuhan dan dia telah menyatukan hati-hatimu dan melalui rahmatnya kamu telah menjadi saudara.”
[22] Lih. Kis 2:42.
[23] Kis 4:32
[24] Lih. Kis 6:1.
[25] Lih. Kis 2:7-11.
[26] Lih. Kis 6:9.
[27] Kis 6:1.
[28] Lih. Kel 14:11-12; Bil 11:1-6.
[29]Angka “7” itu dapat diperdebatkan. Para diakon jelas semuanya orang-orang Kristen dari kalangan Yunani, dengan memperhatikan nama-nama mereka, dengan kekecualian untuk Nikolaus, yang adalah “seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia” (Lih. Kis 6:5).
[30] Lih. Kis 11:12; 15:1-2; 21:21; Gal 2:11-15.
[31] Lih. Kis 15:8-29.
[32] Lih. 1 Kor8-10; Kis 15:20,29; 21:25.
[33] Lih. Cicero, Tusculan Disputations, 3, 5, 3.
[34] Lih. Philo dari Alexandria, The Legatio ad Gaium, 281-282; Kis 18, 4.7-8.
[35] Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa Paulus orang sangat berpengaruh di kalangan bangsa Yahudi (18:6), sehingga Krispus pemimpin sinagoga di sana ditobatkan menjadi Kristen (18:4, 7-8) dan bahwa seorang yang belum percaya, Titius Yustus menerima dia di dalam rumahnya dekat sinagoga. Pemujaan terhadap Dewi Aphrodite Pandemos (= dari semua bangsa) menjadi sangat penting pada waktu itu.
[36] Lih. 1 Kor 1:26; 8:7; 10:114-20; 12:2.
[37] Lih. 1 Kor 1:22-24; 10:32; Kis 18:8.
[38] Lih. 1 Kor 12:3.
[39] Lih. 1 Kor 7:21-23; 2:13.
[40] Lih. 1 Kor 7:-40; 11:3-15; 14:34-35.
[41] Lih. 1 Kor 1:21-22.
[42] Lih. Kis 18:24-19:1.
[43] Lih. 1 Kor 6:12.
[44] 1 Kor 1:11-13.
[45] 1 Kor 3:4.
[46] Kol 1:24; 1 Kor 12:12.
[47] 1 Kor 1:10.
[48] Lih. Ef 2:14.
[49] Gal 3:28.
[50] 1 Kor 12:13.
[51] Lih. 1 Kor 14:5, 12.
[52] 1 Kor 14:18-19.
[53] 1 Kor 13:4-8. Dicatat di sini bagaimana Kasih adalah pokok dari sejumlah 15 kata kerja, yang digambarkan Paulus sebagai hakekat kasih terhadap sesama, dan bagaimana istilah “segala sesuatu” yang diulang empat kali memberi belas kasih sebuah dimensi yang meliputi semuanya. Tambahan pula, bahkan jika kasih dihayati di sini sekarang di bumi, ia tidak terikat waktu dan tempat tetapi juga mengarah kepada keabadian: “kasih tidak berkesudahan.” Sebaliknya melalui pertentangan-pertentangan yang logis Madah ini juga mengungkapkan perasaan-perasaan yang berlawanan dari kasih, yang siap menjadi benih yang meracuni kehidupan.
[54] 1 Kor 13:1-3.
[55] 1 Kor 14:1.
[56] 1 Kor 10:17. Karya ini yang menerapkan metafora tubuh manusia kepada Gereja menurut pemikiran St. Paulus mencakup 249 bagian dari surat-suratnya (dalam bentuk kutipan atau hanya referensi), dan, dalam keseluruhan konteks, 94 bagian diambil dari berbagai buku dari Kitab Suci (35 dari Perjanjian Lama dan 59 dari Perjanjian Baru), sebagaimana terlihat dalam Indeks Keselurhan Kitab Suci ada 343 kutipan.
[57] St. Agustinus, Expositions on tha Psalms, XVII, 51; XC II,1. Bagi Origenes, “Keseluruhan Kristus” dibentuk bukan hanya oleh Pribadi Kristus dan mat manusia, tetapi juga oleh “keseluruhan ciptaan” (Commentary on the Psalm 36,1)
[58] Kis 9:5.
[59] St. Agustinus, Expositions on Psalms, CXXX, 6
[60] Mat 25:40. Dalam hal ini, Origenes mengamati bahwa penderitaan umat adalah juga penderitaan Kristus. “Dalam diri para murid-Nya yang sejati, Yesus selalu ada di atas salib, terhubungkan dengan para pelaku kejahatan, dan menanggung hukuman yang sama seperti yang Ia alami ketika masih hidup di dunia.” (Against Celsus, II, 44).
[61] Origenes, Homily VII on Leviticus, 2.
[62] Kerap kali Paulus menunjuk pengalaman pertobatannya di dalam surat-surat dan pewartaannya (lih. 1 Kor 15:9-10; Gal 1:13-23; Flp 3:6; 1 Tim 1:12-14; Kis 9:1-9; 22:1-21; 26:9-18).
[63] Tidaklah mengherankan bahwa Pius VII mengundang dunia Kristen untuk merefleksikan Gereja sebagai “Tubuh Mistik” Kristus, yang diterbitkan dalam Ensiklik Mystici Corporis, 29 Juni 1943, “ketika konflik yang luar biasa besar telah menyalut api hampir di seluruh dunia dan menyebabkan begitu banyak kematian, penderitaan dan kesulitan, … Dalam masa yang paling sulit ini, saudara-saudara yang terkasih, ketika tubuh-tubuh disiksa dengan kesakitan dan jiwa-jiwa ditekan dengan kepedihan, setiap individu harus bangkit menuju amal kasih yang mengatasi kodrat sehingga dengan segala usaha yang bersatu dari semua orang yang berkehendak baik berusaha keras mengalahkan satu sama lain dalam kasih dan belas kasihan – Kita tahu khususnya, mereka yang terlibat dalam karya pertolongan manapun – kebutuhan umat manusia yang luar biasa, baik yang rohani maupun yang jasmani, dapat diringankan, dan kemurahan hati yang tulus, berkat yang tidak habis-habisnya dari Tubuh Mistik Kristus, dapat bersinar dengan cemerlang di seluruh dunia.” (Mystici Corporis, 106 dan 96; lih. 5-6)
[64] Titus Livius, The History of Rome, Vol. I, Book 2,32.
[65] Tidak diketahui apakah Paulus sebagai warga Roma (lih. Kis 16:37; 22:25-27; 23:27), mengenal dongeng Menenius Agrippa.
[66] Menurut tradisi Etruscan, Raja Roma Tarquinius yang sombong, yang terbuang dari kota, berbalik kepada Porsenna dan beberapa kota di Etruria untuk meminta bantuan mengambil alih tahtanya. Porsenna menyerang Roma dan menaklukkannya, tetapi sebagai imbalan nya, ia menetapkan syarat-syarat yang berat untuk perdamaian. Menurut tradisi Roma, kepahlawanan Horatius Coacles (disebut demikian karena ia bermata satu), Mucius Scaevola dan Clelia memaksa Porsenna untuk meninggalkan pengepungan terhadap kota dan kembali ke Chiusi. Tetapi, apa yang dicatat tentang pahlawan-pahlawan ini kemungkinannya hanyalah penulisan kembali dari sejarah untuk menyembunyikan fakta bahwa kota sudah ditaklukkan.
[67] Pribadi Menenius Agrippa mungkin berasal dari cerita rakyat. Karena itu sulit untuk memberikan kebenaran historis pada dongeng ini atau sebuah dasar yang masuk akal ntuk menempatkannya pada permulaan abad ke 5 SM dalam sejarah Roma
[68] Titus Levius, The History of Rome, Volume I, Book II, 32.
[69] Seneca, Moral Epistle to Lucilius,XCV, 51-53.
[70] Yoh 17:20-23.
[71] Yohanes Paulus II, Ut Unum Sint, 9.
[72] Ibid, 9
[73] Yoh 15:4-6.

Yesus sebagai Guru

Mateus Pengarang Injil melihat Yesus terutama sebagai seorang Guru. Ia mengelompokkan sabda Yesus dalam lima pengajaran yang panjang dan menyusunnya secara indah. Kelima pengajaran ini mau menunjuk kepada Lima Kitab Musa, dengan demikian Yesus dilihat sebagai Musa baru yang memberi pengajaran baru.
PengajaranNya yang terbesar dan juga yang paling terkenal adalah apa yang disebut sebagai Kotbah di Bukit (Mat 5.1-7.29), seperti Musa, Yesus naik ke atas bukit. ”dan setelah Ia duduk, datanglah murid-muridNya kepadaNya. Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka” (Mat 5.1-2). Rabi-rabi Yahudi biasa duduk sementara mereka mengajar. Duduk adalah suatu sikap beristirahat. Orang Yahudi berbicara tentang kursi pengajaran, kursi Musa, tempat para rabbi duduk mengajar. Tetapi Yesus mengecam mereka karena mereka mengajar dan tidak melaksanakannya dan mereka menutup Kerajaan Sorga bagi orang lain dengan mengedepankan hukum (Mat 23.13). Ketika Yesus duduk mengajar, Yesus memperlihatkan bahwa Ia duduk pada Kursi Allah, bahwa Ia mendasarkan pengajaranNya pada Allah dan mengajar dengan kuasa ilahi. Itulah sebabnya sesudah para pendengarNya mendengar pengajaranNya, dikisahkan dalam Injil “… takjublah orang banyak itu mendengar pengajaranNya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang biasa mengajar mereka” (Mat 7.28-29).
Yesus memulai ajaranNya dengan Sabda Bahagia “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah mereka yang berduka cita, karena mereka akan dihibur” (Mat 5.3f). Awal pengajaran ini sendiri sudah menunjukkan bahwa Yesus sangat berbeda dengan guru-guru lain. Dia tidak mulai dengan menyerukan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dia tidak membeberkan suatu ajaran teologi yang baru, suatu system ajaran tentang Allah dan manusia, melainkan Ia menjanjikan keselamatan Allah bagi manusia. Dia mengangkat mereka dengan ajaranNya. Dia membesarkan hati mereka. Dia berbicara langsung ke hati. Mereka disentuh dan digerakkan. Ketika mereka mendengar Yesus, mereka merasa seperti diangkat, dibebaskan, diterima. Mereka disadarkan bahwa diri mereka berharga. Dan dalam pengajaran Yesus mereka mengalami Allah sebagai Allah yang menghendaki keselamatan mereka, Allah yang menjanjikan hiburan dan harapan. Allah bukanlah pertama-tama Allah yang menuntut, tapi Allah yang memberi. Dia memberi manusia suatu cara atau jalan baru untuk hidup, suatu jalan yang akan menyembuhkan keretakan yang terjadi dalam masyarakat manusia. Syarat yang mendasar dari semua pengajaran adalah bahwa kita harus tahu siapa diri kita. Dalam Kotbah di Bukit Yesus mengajarkan bahwa kita adalah putra-putri Allah.
Kotbah di Bukit adalah perincian dari doa Bapa Kami. Doa itu terletak persis di tengah-tengah dari Kotbah di Bukit. Pengajaran-pengajaran Yesus dalam Kotbah di Bukit menjelaskan apa yang kita doakan. Yesus menunjukkan bagaimana hidup kita yang berdoa mengalami Allah sebagai Bapa kita.
Permohonan pertama: “Dikuduskanlah namaMu” dijelaskan dalam Sabda Bahagia. Nama Allah dimuliakan, Allah dibuat nyata dalam kekudusanNya ketika umat manusia menjadi sehat dan utuh, ketika mereka mengalami kebahagiaan. Permohonan “Datanglah kerajaanMu” dijelaskan dalam ajaran tentang garam dan terang dunia (Mat 5.13-16). Kerajaan Allah menjadi kelihatan di atas bumi melalui hidup dan tingkah laku para murid. Selanjutnya dalam enam antitesis (Mat 5.21-48) Yesus menjelaskan kehendak Allah seperti yang sejak awal mula dikehendakiNya, yakni bila para murid menunjukkan cara hidup yang baru ini, kehendak Allah sungguh terlaksana bukan hanya di sorga tetapi juga di atas bumi. Permohonan tentang makanan yang secukupnya kemudian dijelaskan dengan menunjukkan soal berpuasa, memberi sedekah dan berdoa, dan seruan untuk tidak kuatir tetapi mempercayakan diri sepenuhnya dalam tangan rahmat Allah (Mat 6.1-34). Permohonan untuk pengampunan dosa memiliki kesejajaran dengan nasehat Yesus, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat 7.1). Dan permohonan supaya Allah jangan memasukkan kita ke dalam pencobaan tetapi membebaskan kita dari yang jahat, diuraikan dalam keterangan tentang nabi-nabi palsu yang menyesatkan kita (Mat 7.15-23). Sesungguhnya godaan bukanlah soal bahawa kita dikuasai oleh kekeliruan-kekeliruan dan kelemahan kita tetapi lebih merupakan kebingungan yang membuat kita tidak lagi tahu apa yang kita lakukan, dimana pikiran-pikiran dan perasaan kita semua tercampur aduk dan kita menjadi jauh dari Allah.
Jika kita memahami pengajaran agung dari Kotbah di Bukit ini sebagai penjabaran dari doa Bapa Kami, kita akan sadar bagaimana Yesus memahami ajaranNya ini sebagai yang pokok. Dia tidak menyampaikan ajaranNya yang terdiri dari perintah-perintah yang harus kita turuti. Namun ajaranNya juga bukan sesuatu yang boleh dianggap remeh tanpa ada konsekuensi bagi hidup kita. Tetapi ia mengandaikan suatu pengalaman baru, pengalaman bahwa kita adalah anak-anak Allah. Berdoa Bapa Kami dimaksudkan untuk menuntun kita kepada pengalaman baru ini.
Doa membawa kita masuk ke kedalaman diri kita. Doa menjadi kesempatan kita mengalami Kristus sebagai Guru kita yang sejati. Bagi St. Agustinus, kesadaran ini membawa dia ke pemahaman tentang Yesus sebagai Guru batiniah. Ketika suatu kesadaran muncul dalam diri kita, kesadaran ini tidak disampaikan oleh guru dari luar tetapi oleh Kristus, Guru batiniah kita: ‘Kita mencari Guru itu, yang telah ditunjukkan dalam sabda Kitab Suci, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta mendasar di dalam kasih (Ef 3.18) sebagaimana kuasa Allah yang tak berubah dan kebijaksanaanNya yang abadi’ (St. Agustinus, De magistro 11.38). Menanggapi latar belakang dari kata-kata St. Agustinus ini, seorang teolog, Eugen Biser menulis sebuah buku yang berjudul The Inner Teacher. Yesus ada di dalam kita. AjaranNya bukanlah suatu system doctrinal, suatu rumusan kata-kata yang dapat diperdebatkan. Guru batiniah tidak memerlukan pembetulan dan bukan pula ajaran yang kaku tetapi suatu kesediaan untuk mendengar dorongan-dorongan dari dalam diri kita. Di situlah, di dalam hati kita, Yesus tinggal sebagai seorang Guru. Yesus sebagai Guru batiniah membuat kita ambil bagian dalam pengalamanNya sendiri, dalam apa yang Ia rasakan dan dalam apa yang Ia ketahui. Dia membuka mata kita untuk melihat apa yang Ia lihat.
Apakah Anda mempunyai hubungan dengan Guru batiniah Anda? Apakah Anda mendengar “suara di dalam” yang menunjukkan jalan bagi Anda? Apa yang Yesus, guru batiniah Anda ingin ajarkan kepada Anda?Kesadaran baru apa yang muncul bagi hidup dan diri Anda, tentang Allah dan sesama, ketika Anda memandang Yesus sebagai Guru?
Bacalah Kotbah di Bukit sekali lagi dan meditasikan sabda Yesus!

Banjarmasin, 30 Mei 2008.
Dikutip dari Anselm Grün, Images of Jesus, p 127-129