(San Antonio, Agustus 2003)
Patriotisme dan semangat nasionalis menjadi istilah yang jarang terdengar sekarang di Indonesia. Sedangkan semangat kesukuan, otonomi daerah dan istilah “Putra Daerah” menjadi semakin didengung-dengungkan. Bermacam gerakan yang mendasarkan diri pada kelompok suku, agama dan kedaerahan muncul bagaikan jamur di musim hujan di mana-mana. Presiden Magawati mengingatkan bahaya perpecahan jika perbedaan yang ada semakin diperuncing. Akan berjalan ke manakah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta?
Mungkin kita bisa belajar dari Negara Amerika Serikat. Di samping banyak hal-hal negatif di negera ini, ada juga hal positif yang bisa kita hargai. Negara ini juga kurang lebih sama seperti kita, bangsa Indonesia, yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, mulai dari yang datang beberapa abad yang lalu sampai yang datang bulan lalu. Dengan cepat mereka menyebut dirinya African-american, Chinese-american, Mexican-american dan sebagainya … semua menjadi American dan memang dengan cepat pula mereka merasa diri sebagai bagian dari bangsa Amerika.
Jika kita berjalan-jalan di lingkungan, setiap hari kita akan melihat bendera-bendera dipasang di rumah-rumah pribadi dan juga di mobil-mobil atau paling tidak ada stiker bendera atau pita dengan tiga warna merah-putih-biru, warna bendera Stars and Stripes. Demikian juga di jalan-jalan utama kita akan menemukan poster atau tulisan “God bless America”. Mulanya saya mendapat kesan ada semacam kesombongan dari tulisan itu, tapi semakin saya mengenal Amerika, saya menyadari bahwa tulisan tersebut merupakan doa dan harapan. Setiap orang yang membacanya seakan-akan berdoa: semoga Tuhan memberkati Amerika. Di setiap gereja yang saya kunjungi, selalu terdapat bendera di salah satu sudut di dalam Gereja, sendirian atau bersama bendera Vatican. Singkat kata, kita bisa melihat bagaimana bangsa ini mencintai Negara dan bangsanya.
Pada tanggal 14 Juni setiap tahun merupakan Day Flag, yang bagi mereka menjadi kesempatan khusus untuk menghormati bendera dan menanamkan semangat kebangsaan. Tahun ini pada hari itu, sebuah perusahaan Catholic Life Insurance memasang sebuah bendara raksasa dengan ukuran 33.5 x 16.7 meter di gedung perusahaan mereka di San Antonio, Texas. Ukuran ini merupakan rekor nasional, menurut koran lokal.
Bendera merupakan simbol kemerdekaan dan kebebasan individu bagi mereka. Bahkan jika kebebasan itu digunakan untuk membakar bendera itu sendiri sebagai unjuk rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah hal ini masih bisa diterima. Sebaliknya suatu usaha untuk membuat undang-undang Flag Protection sudah empat kali dibatalkan oleh Senat. Dikatakan, cara yang pantas untuk menghormati bendera adalah dengan menolak rancangan undang-undang yang melarang pengunjuk rasa membakar bendera.
Mengalami situasi seperti ini di Amerika Serikat, saya berhayal dan berandai-andai. Mencermati apa yang berkembang sekarang ini di Tanah Air, ketika rasa kesatuan sebagai satu Bangsa semakin memudar, ketika bahaya perpecahan mengancam, maka alangkah baiknya jika kita memulai suatu gerakan cinta Bangsa dan Tanah Air. Hayalan saya adalah bahwa gerakan ini merupakan suatu kebiasaan baru untuk menumbuhkan kembali rasa kebangsaan kita. Saya berhayal seandainya hal ini bisa dimulai dari Gereja kita, dari paroki-paroki dan kemudian menularkannya ke mana-mana; suatu gerakan seperti yang dicanangkan di Keuskupan Banjarmasin oleh Mgr. FX. Prajasuta MSF dengan gerakan Budaya Kasih. Tapi saya rasa hal ini tidak cukup jika hanya dicanangkan di Gereja, didoakan dan dinyanyikan dalam setiap kesempatan di lingkungan kita sendiri. Kita perlu sesuatu yang memasyarakat secara luas.
Saya membayangkan gerakan itu sebagai suatu kebiasaan sederhana, seperti yang saya amati di sini, yaitu kebiasaan memasang bendera di kendaraan, seperti yang kita lakukan umumnya kalau kita merayakan HUT Proklamasi, tapi kali ini dilakukan sepanjang tahun. Di Palangkaraya saya mengenal Bapak Goris yang melakukan ini di vespanya. Kalau hal ini menjadi kebiasaan kita, paling tidak pada awalnya kita akan saling mengenal sebagai umat katolik, jika kita berpapasan di jalan dengan bendera di kendaraan kita. Saya berharap seandainya kebiasaan ini kemudian menular ke siapa saja yang melihatnya dan mengikutinya, apalagi jika didukung oleh pasar yang menjual bendera dan tongkat mini yang bisa di pasang pada jendela di bagian luar mobil atau di sepeda motor. Lalu khayalan saya hal ini akan menjadi budaya …semakin banyak orang menghargai bendera merah putih yang dengan sendirinya menjadi tanda cinta Bangsa dan Negara. Bendera merah putih dapat sungguh menjadi identitas kita.
Ada ungkapan: semakin saya mengenal manusia, semakin saya mencintai anjing saya. Ungkapan ini memang bernada sinis terhadap sikap dan tingkah laku manusia. Tapi dengan hayalan saya di atas saya mau mengungkapkan: semakin saya mengenal bangsa-bangsa, semakin saya mencintai Indonesia. Dengan ungkapan ini saya mau menunjukkan rasa bangga saya sebagai bangsa Indonesia sekaligus rasa optimis dan harapan saya bahwa bangsa dan negara kita dapat semakin baik dan berkembang.
Ketika saya masih bertugas di Madagascar pada tahun 1996, saya menempuh tiga hari perjalanan ke Tananarivo untuk mengikuti perayaan 17 Agustus di KBRI. Itulah ungkapan cinta saya terhadap Bangsa dan Negara Indonesia. Tetapi sesudah bermacam-macam gejolak terjadi di Tanah Air pada tahun 1999 saya berkesempatan berziarah ke Tanah Suci dan waktu itu kami bertemu dengan satu kelompok dari Negara lain, salah seorang dari mereka menanyakan: Kalian dari mana? Dengan rasa malu dan rendah diri saya menjawab: dari Indonesia. Tapi ini fakta. Baik buruknya Indonesia, itu adalah kita! Kita yang menentukannya. Kita bisa menghancurkannya tapi kita juga bisa membuatnya menjadi Negara yang dapat dibanggakan. Mari kita mulai, entah dengan cara bagaimana. Hayalan saya adalah suatu gerakan yang menjadi kebiasaan, suatu budaya yang memasyarakat luas.
Menurut ajaran Gereja, iman yang hidup harus membudaya, artinya iman terwujud dalam bentuk suatu gaya hidup dan kebiasaan yang diwarnai oleh nilai-nilai agama (injili). Suatu gerakan cinta Tanah Air juga merupakan bagian dari perwujudan iman kita. Karena tujuannya adalah untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan rasa kesatuan, yang akhirnya akan menciptakan kedamaian yang menjadi syarat mutlak untuk perkembangan menuju kebaikan dan kesejahteraan bersama. Kalau kita tidak memulai, siapa lagi yang kita harapkan? Kita tidak akan membiarkan keadaan menjadi semakin buruk. Kita ikut bertanggungjawab terhadap Bangsa dan Negara, juga jika kita tidak berbuat apa-apa. Maka sebelum terlambat mari kita melakukan sesuatu … sesuatu yang sederhana. Berhasil atau tidak, biarkan Roh yang berkarya. Kita melakukan apa yang dapat kita lakukan, selanjutnya Tuhan akan menyelesaikannya. Seandainya ada lagi bentuk lain yang dapat disumbangkan untuk memperkaya gerakan ini?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Hai Ko.... karena commentnya masih 0, tak urun comment ya,hehehe....
Membaca tulisan Koko, saya jadi ingat kalau setiap hari senin sampai jumat, pagi dan sore, saya selalu mendengar lagu Padamu Negeri. Lagu itu berasal dari kantor pemerintah yabg berada di belakang rumah. Tapi tiap kali saya dengar lagu itu, yang terlintas di kepala adalah wah... ini pegawai negeri pada masuk/pulang kantor nih...., wah enak bener sore2 udah pulang... Tak pernah saya benar2 "mendengar" lagu itu. Setelah menbaca tulisan Koko saya jadi sadar. Lagu itu mungkin untuk mengingatkan pegawainya (dan mungkin lingkungan sekitarnya)untuk bekerja sebaik2nya demi membangun negeri ini. Semoga kesadaran ini dapat tertanam di otakku setiap hari :)
Selamat Siang Romo Fut...
Syalom dr umat St. Paulus Miki, Salatiga.
Semoga selalu sehat, lama sekali tidak pernah liat Romo, dari foto sekarang, kayaknya lebih berisi ya?! :D
Tuhan memberkati
Posting Komentar