Konvensi Internasional ICCRS, yang bertemakan “Love in Action” yang berlangsung dari tanggal 1-9 Juni di Kkottongnae, Eumsung-Gun, Chungbuk, Korea Selatan telah selesai. Saya pribadi merasa bersyukur dapat mengikuti pertemuan ini. Beberapa hal yang ingin saya bagikan kepada komunitas Pembaharuan Karismatik di Indonesia.
Tentang Kkottongnae: ternyata ini bukan hanya nama sebuah tempat. Kkottongnae (yang berarti “desa bunga”) adalah sebuah konggregasi religius yang menyebut dirinya sebagai “Konggregasi Kkottongnae Saudara-Saudari Yesus.” Anggota mereka sekarang lebih dari 300 orang, terdiri dari bruder, suster dan imam (baru ada 5). Mereka sudah membuka cabang di beberapa tempat. Di Korea sendiri terdapat 4 komunitas, beberapa di luar negeri termasuk Benglades, Angola dan beberapa komunitas di Amerika Serikat. Pendirinya adalah Romo Yohanes Oh yang mendapat inspirasi dari pribadi seorang pengemis Kakek Choi Gui-dong. Pada tahun 1976 Romo Oh bertemu dengan sang Pengemis ini dan kemudian ia menyaksikan bagaimana ia mengemis untuk memberi makan beberapa pengemis lainnya yang sekarat di bawah sebuah jembatan, yang tidak mampu lagi pergi mengemis. Pada waktu itu Romo Yohanes Oh menyadari “seandainya kamu punya kekuatan hanya untuk mengemis, itu pun rahmat Allah.” Dengan dana yang sangat terbatas dari sakunya sendiri, ia mulai membangun sebuah rumah sederhana untuk menampung para pengemis ini. Ia mengalami banyak tantangan dari pemerintah dan penduduk kota, karena dengan ini dikuatirkan Romo Oh akan mengundang semua pengemis dari seluruh Korea. Tapi banyak juga pihak yang memberi dukungan sehingga karya ini menjadi sebuah karya yang luar biasa, yang menampung orang-orang yang “dibuang” - mereka yang cacat, fisik dan mental, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Saya sendiri bersama teman-teman pada dua hari pertama mendapat kesempatan melayani, kerja bakti, di tempat penampungan orang-orang cacat mental. Dalam gedung bertingkat lima, terdapat lebih dari 500-an pasien. Setiap week-end atau hari libur, banyak orang terutama anak-anak muda datang sebagai tenaga sukarela membantu di komunitas ini. Romo Oh sendiri menyebut tempat mereka sebagai Sekolah Kasih, tempat orang belajar mengasih, dengan melayani mereka yang tidak berdaya. Mereka yang ikut dalam karya ini memberi kesaksian bagaimana mereka sendiri diperkaya dalam karya ini. Dengan memberi kita menerima, bahkan secara berkelimpahan.
Selama empat hari berikutnya adalah inti dari Konvensi. Banyak pembicara memberikan pengajaran, mulai dari Kardinal Albert Vanhoye seorang ahli Kitab Suci dari Pontifical Biblical Institute di Roma yang berbicara tentang “Allah adalah Kasih.” Beliau menunjukkan masalah klasik antara karisma dan kasih serta iman dan tindakan. Dalam hal ini karisma Kkottongnae sungguh asli sesuai dengan Injil dan menjadi contoh konkrit dalam pembicaraannya. Pembicara di hari berikutnya adalah Romo Robert Faricy SJ seorang teolog dari Amerika Serikat yang berbicara mengenai Ajaran Kristen tentang Roh Kudus. Salah satu point dikatakannya bahwa Roh Kudus itu dapat dibandingan dengan underwear, yang pagi hari dipakai tapi sepanjang hari dilupakan, tapi Ia selalu menyertai kita. Hari ketiga berbicara tentang Evangelisasi. Pembicara utama adalah Jim Murphy. Sharing yang menarik adalah ketika ia masih bekerja di sebuah restoran dan pada waktu itu ia tidak pernah berbicara tentang Kristus. Beberapa tahun kemudian, sesudah ia terlibat dalam pelayanan, dia bertemu kembali dengan salah satu teman kerjanya dulu, seorang perempuan yang sudah bertobat, yang dengan bangga mengatakan ia sudah menemukan Kristus tetapi kemudian menjadi kecewa ketika Jim mengatakan bahwa sejak dulu ia sudah menemukan-Nya: “Mengapa kamu tidak pernah berbicara tentang Dia? Mengapa kau biarkan aku ketika ..., mengapa ... mengapa?” Sharingnya ditutup dengan cerita tentang Pelican-man, bagaimana burung-burung pelican yang pernah mengalami pertolongan seorang pemancing membawa burung-burung yang terluka kepada si pemancing untuk disembuhkan.
Setiap sore kelompok besar dibagi dalam tiga kelompok work-shop: Healing, Charism dan Intercession. Pengajaran-pengajaran sangat memperkaya dan memberi inspirasi. Acara pokok ini ditutup dengan misa akbar, disebuah lapangan yang luas, yang menampung sekitar 50 ribu umat yang datang dari mana-mana dengan ratusan bus dan kendaraan pribadi.
Saya melihat iman yang hidup dari umat Katolik di Korea, suatu iman yang sederhana seperti yang digambarkan dalam diri seorang perempuan yang menderita pendarahan selama 12 tahun yang berkata dalam hatinya: “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh” (Mat 9:21). Peristiwa ini kita lihat ketika kita mengadakan prosesi dalam perayaan Ekaristi, umat berusaha menjamah kita para imam, bahkan banyak yang berjongkok hanya untuk dapat menjamah ujung jubah kita. Semoga terjadi menurut harapan dan keyakinan mereka.
Iman yang luar biasa ini juga dapat kita lihat dalam diri para martir mereka. Gereja Korea dengan bangga menyebut negerinya sebagai negeri seribu martir. Ternyata ini bukan hal yang dibesar-besarkan. Dua hari terakhir para peserta dibawa berziarah ke tempat suci para Martir. Hari kedua sebelum berakhir, kelompok di bagi dalam 5 kelompok untuk berziarah ke 5 keuskupan. Kelompok kami berkunjung ke keuskupan Suwon. Pertama kami mengunjungi Juksan dimana terdapat tempat Martir Keluarga, yang pada tahun 1817 dibunuh 108 orang Katolik, berupa keluarga-keluarga katolik, orang tua dan anak-anak, termasuk mertua dan menantu – yang menurut hukum pada waktu itu tidak diperbolehkan membunuh keluarga dengan mengikutisertakan keluarga besan. Tetapi terhadap orang Katolik, Raja mengatakan: “Buatlah sesuka hatimu.” Kemudian dilanjutkan ke Mirinae tempat Santo Andreas Kim Dae Gon dimakamkan. Ia adalah imam pertama Korea, yang belajar di Macau, ditahbiskan pada tanggal 17 Agustus 1845 dan menjadi martir dengan dipenggal kepalanya pada tanggal 16 September 1946 di Seoul. Seorang bapak bernama Vincentius kemudian membawa jenazahnya ke pegunungan Mirinae, tempat orang-orang Katolik menyembunyikan diri pada masa penganiayaan, untuk dimakamkan dengan pantas.
Pada hari terakhir kami menghadiri misa akbar di Chunjinam - Guangju, suatu tempat ziarah dimana dimakamkan 5 orang bapak awam Pendiri Gereja Katolik Korea. Memang suatu kasus yang langka dalam sejarah Gereja, di Korea iman dibawa secara spontan oleh orang Korea sendiri, kaum awam. Dimulai dari seorang cendekiawan atau “filsuf” yang mencari kebenaran, namanya: Yi Byok (1754-1785) bersama empat orang muridnya. Pencarian ini mendorong mereka berkontak dengan Peking, yang menurut pendengaran mereka bahwa ada beberapa orang Katolik telah mengalami pencerahan melalui iman yang baru. Mereka ini kemudian menyebarkan Injil di Korea selama 56 tahun dari tahun 1779 sampai tahun 1835 tanpa bantuan seorang imam pun selain kunjungan singkat dari 2 imam Cina. Mereka melakukan ini sampai kedatangan misionaris Perancis pada tahun 1836. Para awam ini mengorbankan hidup mereka demi iman mereka kepada Kristus. Karena mereka terutama mendapat tantangan dari lingkungan keluarga mereka sendiri.
Yang berkesan juga dalam seluruh kegiatan di Kkottongnae ini adalah kebersamaan. Kita datang dari 43 negara yang berbeda-beda tetapi kita merasa dekat satu sama lain. Di sini juga saya semakin disadari bahwa gerakan pembaharuan Kharismatik bukan hanya mewujud nyata dalam komunitas tertentu saja, melainkan sangat kaya dan bisa dalam berbagai bentuk, tetapi kita semua adalah Gereja yang satu-kudus-katolik dan apostolik.
Tentang Kkottongnae: ternyata ini bukan hanya nama sebuah tempat. Kkottongnae (yang berarti “desa bunga”) adalah sebuah konggregasi religius yang menyebut dirinya sebagai “Konggregasi Kkottongnae Saudara-Saudari Yesus.” Anggota mereka sekarang lebih dari 300 orang, terdiri dari bruder, suster dan imam (baru ada 5). Mereka sudah membuka cabang di beberapa tempat. Di Korea sendiri terdapat 4 komunitas, beberapa di luar negeri termasuk Benglades, Angola dan beberapa komunitas di Amerika Serikat. Pendirinya adalah Romo Yohanes Oh yang mendapat inspirasi dari pribadi seorang pengemis Kakek Choi Gui-dong. Pada tahun 1976 Romo Oh bertemu dengan sang Pengemis ini dan kemudian ia menyaksikan bagaimana ia mengemis untuk memberi makan beberapa pengemis lainnya yang sekarat di bawah sebuah jembatan, yang tidak mampu lagi pergi mengemis. Pada waktu itu Romo Yohanes Oh menyadari “seandainya kamu punya kekuatan hanya untuk mengemis, itu pun rahmat Allah.” Dengan dana yang sangat terbatas dari sakunya sendiri, ia mulai membangun sebuah rumah sederhana untuk menampung para pengemis ini. Ia mengalami banyak tantangan dari pemerintah dan penduduk kota, karena dengan ini dikuatirkan Romo Oh akan mengundang semua pengemis dari seluruh Korea. Tapi banyak juga pihak yang memberi dukungan sehingga karya ini menjadi sebuah karya yang luar biasa, yang menampung orang-orang yang “dibuang” - mereka yang cacat, fisik dan mental, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Saya sendiri bersama teman-teman pada dua hari pertama mendapat kesempatan melayani, kerja bakti, di tempat penampungan orang-orang cacat mental. Dalam gedung bertingkat lima, terdapat lebih dari 500-an pasien. Setiap week-end atau hari libur, banyak orang terutama anak-anak muda datang sebagai tenaga sukarela membantu di komunitas ini. Romo Oh sendiri menyebut tempat mereka sebagai Sekolah Kasih, tempat orang belajar mengasih, dengan melayani mereka yang tidak berdaya. Mereka yang ikut dalam karya ini memberi kesaksian bagaimana mereka sendiri diperkaya dalam karya ini. Dengan memberi kita menerima, bahkan secara berkelimpahan.
Selama empat hari berikutnya adalah inti dari Konvensi. Banyak pembicara memberikan pengajaran, mulai dari Kardinal Albert Vanhoye seorang ahli Kitab Suci dari Pontifical Biblical Institute di Roma yang berbicara tentang “Allah adalah Kasih.” Beliau menunjukkan masalah klasik antara karisma dan kasih serta iman dan tindakan. Dalam hal ini karisma Kkottongnae sungguh asli sesuai dengan Injil dan menjadi contoh konkrit dalam pembicaraannya. Pembicara di hari berikutnya adalah Romo Robert Faricy SJ seorang teolog dari Amerika Serikat yang berbicara mengenai Ajaran Kristen tentang Roh Kudus. Salah satu point dikatakannya bahwa Roh Kudus itu dapat dibandingan dengan underwear, yang pagi hari dipakai tapi sepanjang hari dilupakan, tapi Ia selalu menyertai kita. Hari ketiga berbicara tentang Evangelisasi. Pembicara utama adalah Jim Murphy. Sharing yang menarik adalah ketika ia masih bekerja di sebuah restoran dan pada waktu itu ia tidak pernah berbicara tentang Kristus. Beberapa tahun kemudian, sesudah ia terlibat dalam pelayanan, dia bertemu kembali dengan salah satu teman kerjanya dulu, seorang perempuan yang sudah bertobat, yang dengan bangga mengatakan ia sudah menemukan Kristus tetapi kemudian menjadi kecewa ketika Jim mengatakan bahwa sejak dulu ia sudah menemukan-Nya: “Mengapa kamu tidak pernah berbicara tentang Dia? Mengapa kau biarkan aku ketika ..., mengapa ... mengapa?” Sharingnya ditutup dengan cerita tentang Pelican-man, bagaimana burung-burung pelican yang pernah mengalami pertolongan seorang pemancing membawa burung-burung yang terluka kepada si pemancing untuk disembuhkan.
Setiap sore kelompok besar dibagi dalam tiga kelompok work-shop: Healing, Charism dan Intercession. Pengajaran-pengajaran sangat memperkaya dan memberi inspirasi. Acara pokok ini ditutup dengan misa akbar, disebuah lapangan yang luas, yang menampung sekitar 50 ribu umat yang datang dari mana-mana dengan ratusan bus dan kendaraan pribadi.
Saya melihat iman yang hidup dari umat Katolik di Korea, suatu iman yang sederhana seperti yang digambarkan dalam diri seorang perempuan yang menderita pendarahan selama 12 tahun yang berkata dalam hatinya: “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh” (Mat 9:21). Peristiwa ini kita lihat ketika kita mengadakan prosesi dalam perayaan Ekaristi, umat berusaha menjamah kita para imam, bahkan banyak yang berjongkok hanya untuk dapat menjamah ujung jubah kita. Semoga terjadi menurut harapan dan keyakinan mereka.
Iman yang luar biasa ini juga dapat kita lihat dalam diri para martir mereka. Gereja Korea dengan bangga menyebut negerinya sebagai negeri seribu martir. Ternyata ini bukan hal yang dibesar-besarkan. Dua hari terakhir para peserta dibawa berziarah ke tempat suci para Martir. Hari kedua sebelum berakhir, kelompok di bagi dalam 5 kelompok untuk berziarah ke 5 keuskupan. Kelompok kami berkunjung ke keuskupan Suwon. Pertama kami mengunjungi Juksan dimana terdapat tempat Martir Keluarga, yang pada tahun 1817 dibunuh 108 orang Katolik, berupa keluarga-keluarga katolik, orang tua dan anak-anak, termasuk mertua dan menantu – yang menurut hukum pada waktu itu tidak diperbolehkan membunuh keluarga dengan mengikutisertakan keluarga besan. Tetapi terhadap orang Katolik, Raja mengatakan: “Buatlah sesuka hatimu.” Kemudian dilanjutkan ke Mirinae tempat Santo Andreas Kim Dae Gon dimakamkan. Ia adalah imam pertama Korea, yang belajar di Macau, ditahbiskan pada tanggal 17 Agustus 1845 dan menjadi martir dengan dipenggal kepalanya pada tanggal 16 September 1946 di Seoul. Seorang bapak bernama Vincentius kemudian membawa jenazahnya ke pegunungan Mirinae, tempat orang-orang Katolik menyembunyikan diri pada masa penganiayaan, untuk dimakamkan dengan pantas.
Pada hari terakhir kami menghadiri misa akbar di Chunjinam - Guangju, suatu tempat ziarah dimana dimakamkan 5 orang bapak awam Pendiri Gereja Katolik Korea. Memang suatu kasus yang langka dalam sejarah Gereja, di Korea iman dibawa secara spontan oleh orang Korea sendiri, kaum awam. Dimulai dari seorang cendekiawan atau “filsuf” yang mencari kebenaran, namanya: Yi Byok (1754-1785) bersama empat orang muridnya. Pencarian ini mendorong mereka berkontak dengan Peking, yang menurut pendengaran mereka bahwa ada beberapa orang Katolik telah mengalami pencerahan melalui iman yang baru. Mereka ini kemudian menyebarkan Injil di Korea selama 56 tahun dari tahun 1779 sampai tahun 1835 tanpa bantuan seorang imam pun selain kunjungan singkat dari 2 imam Cina. Mereka melakukan ini sampai kedatangan misionaris Perancis pada tahun 1836. Para awam ini mengorbankan hidup mereka demi iman mereka kepada Kristus. Karena mereka terutama mendapat tantangan dari lingkungan keluarga mereka sendiri.
Yang berkesan juga dalam seluruh kegiatan di Kkottongnae ini adalah kebersamaan. Kita datang dari 43 negara yang berbeda-beda tetapi kita merasa dekat satu sama lain. Di sini juga saya semakin disadari bahwa gerakan pembaharuan Kharismatik bukan hanya mewujud nyata dalam komunitas tertentu saja, melainkan sangat kaya dan bisa dalam berbagai bentuk, tetapi kita semua adalah Gereja yang satu-kudus-katolik dan apostolik.
Saya merasa beruntung selain dengan bahasa Inggris saya bisa berkomunikasi dengan bahasa Perancis. Tetapi yang menyedihkan: saya orang keturunan Cina namun tidak bisa berkomunikasi dengan peserta dari daratan Cina, karena mereka juga sulit berbahasa Inggris. Ya bagaimana lagi, orang Bangka bilang: thong-ngin mo sit thong fan (artinya: orang cina tidak makan nasi cina ... jadi tidak bisa berbahasa cina). Tapi sekurang-kurangnya kami bisa saling menyapa: saranghamnida! (I love you all) karena kami sudah makan nasi Korea. Puji Tuhan.
Banjarmasin, 18 Juni 2009
Rm. Al. Lioe Fut Khin, MSF
Banjarmasin, 18 Juni 2009
Rm. Al. Lioe Fut Khin, MSF